Find Us On Social Media :

Dilema Pilot Ketika Take Off: Harus Mengambil Keputusan dalam Hitungan Detik dengan Risiko Tinggi

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 30 Oktober 2018 | 19:00 WIB

Intisari-Online.com – Pekerjaan pilot itu mengelola risiko dengan limit waktu dalam hitungan detik.

Kasus kecelakaan pesawat terbang Fokker 28 MNA dengan identitas pengenal PKGKK di landasan pacu Bandara Kendari, 15 Mei 1998, pukul 11.30 WITA, bisa menjadi cermin, betapa risiko kecelakaan bisa mendera seorang pilot yang sudah mengantungi 5.000 jam terbang sekalipun.

Simak tulisan dari Suryanto, pemerhati penerbangan, Dilema Pilot Ketika Take-Off, berikut ini yang dimuat di Majalah Intisari edisi September 1998.

Apa sih menariknya berita tentang sebuah kecelakaan pesawat terbang?

Bisa jadi berita tentang sebuah kecelakaan pesawat terbang selalu menarik perhatian karena mengundang kekhawatiran akan jatuhnya banyak korban jiwa atau kerusakan materi dalam skala besar.

Baca Juga : Orangtua Bhavye Suneja, Pilot Lion Air JT 610 di New Delhi Murung, Tak Mau Bicara dan Terus Mengurung Diri di Kamar

Tak heran, meski di tengah ingar-bingar berita politik soal reformasi, harian Kompas masih menyisakan lahan untuk berita mengenai kecelakan pesawat F-28 MNA yang naas sewaktu mau tinggal landas.

Pesawat itu rencananya mengudara dengan tujuan Ujungpandang, setelah sebelumnya menempuh rute Denpasar - Ujungpan- - Kendari.

Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Tapi ada empat orang yang perlu dirawat di rumah sakit; seorang penumpang yang mengidap penyakit jantung karena “trauma mental” dan tiga orang lantaran kaget serta cedera ringan.

Pesawatnya sendiri terhempas dalam kondisi rusak berat dengan kategori total-loss. Sayap kirinya hancur, sirip ekor {stabilo) patah, dan roda hidung terlempar sejauh 30 m dari badan pesawat.

Baca Juga : Kisah 2 Pilot Bernama Sama yang Selamat dari Kecelakaan Pesawat yang Sama Pula

Penyebabnya, pintu bagasi belum terkunci. Hal itu diketahui ketika pesawat sedang melaju di landasan pacu. Timbul pertanyaan, mengapa mereka baru mengetahui lampu indikator di panil instrumen justru ketika pesawat sedang kencang-kencangnya melaju?

Padahal pilot, Kapt. Ketut Aryono, termasuk senior dan kopilotnya, Michael Uneputy, sudah lima tahun terbang.