Dilema Pilot Ketika Take Off: Harus Mengambil Keputusan dalam Hitungan Detik dengan Risiko Tinggi

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Dilema pilot ketika take-off, harus mengambil keputusan dengan limit waktu dalam hitungan detik dengan risiko yang tinggi.

Intisari-Online.com – Pekerjaan pilot itu mengelola risiko dengan limit waktu dalam hitungan detik.

Kasus kecelakaan pesawat terbang Fokker 28 MNA dengan identitas pengenal PKGKK di landasan pacu Bandara Kendari, 15 Mei 1998, pukul 11.30 WITA, bisa menjadi cermin, betapa risiko kecelakaan bisa mendera seorang pilot yang sudah mengantungi 5.000 jam terbang sekalipun.

Simak tulisan dari Suryanto, pemerhati penerbangan, Dilema Pilot Ketika Take-Off, berikut ini yang dimuat di Majalah Intisari edisi September 1998.

Apa sih menariknya berita tentang sebuah kecelakaan pesawat terbang?

Bisa jadi berita tentang sebuah kecelakaan pesawat terbang selalu menarik perhatian karena mengundang kekhawatiran akan jatuhnya banyak korban jiwa atau kerusakan materi dalam skala besar.

Baca Juga : Orangtua Bhavye Suneja, Pilot Lion Air JT 610 di New Delhi Murung, Tak Mau Bicara dan Terus Mengurung Diri di Kamar

Tak heran, meski di tengah ingar-bingar berita politik soal reformasi, harian Kompas masih menyisakan lahan untuk berita mengenai kecelakan pesawat F-28 MNA yang naas sewaktu mau tinggal landas.

Pesawat itu rencananya mengudara dengan tujuan Ujungpandang, setelah sebelumnya menempuh rute Denpasar - Ujungpan- - Kendari.

Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Tapi ada empat orang yang perlu dirawat di rumah sakit; seorang penumpang yang mengidap penyakit jantung karena “trauma mental” dan tiga orang lantaran kaget serta cedera ringan.

Pesawatnya sendiri terhempas dalam kondisi rusak berat dengan kategori total-loss. Sayap kirinya hancur, sirip ekor {stabilo) patah, dan roda hidung terlempar sejauh 30 m dari badan pesawat.

Baca Juga : Kisah 2 Pilot Bernama Sama yang Selamat dari Kecelakaan Pesawat yang Sama Pula

Penyebabnya, pintu bagasi belum terkunci. Hal itu diketahui ketika pesawat sedang melaju di landasan pacu. Timbul pertanyaan, mengapa mereka baru mengetahui lampu indikator di panil instrumen justru ketika pesawat sedang kencang-kencangnya melaju?

Padahal pilot, Kapt. Ketut Aryono, termasuk senior dan kopilotnya, Michael Uneputy, sudah lima tahun terbang.

Tapi, yang menjadi persoalan di sini, apa yang harus dilakukan pilot dalam kondisi demikian? Di sinilah manajemen risiko harus dilakukan dengan cepat.

Channelling of attention

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Ini Tips dari Pilot yang Bisa Membantu Anda Menyelamatkan Diri Saat Terjadi Kecelakaan Pesawat

Menurut pelbagai sumber, kecepatan F-28 MNA saat itu berada pada tingkat V1. V1 ini, bersama dengan V2 (V = velocity, kecepatan), melambangkan kecepatan laju pesawat ketika akan tinggal landas.

Dari saat awal roda pesawat menggelinding perlahan-lahan hingga tercapai kecepatan V1 dan diteruskan ke V2 - saat pesawat sudah siap dan harus tinggal landas, apa pun yang terjadi.

Selain kecepatan tadi, keberhasilan tinggal landas tergantung juga pada berat muatan dan panjangnya landasan. F-28 yang menyediakan kursi untuk sekitar 80 orang saat itu terisi penumpang 57 orang, satu jenazah, isian bagasi penumpang, serta barang kiriman.

Perhitungan berat pesawat ini penting mengingat panjangnya landasan pacu relatif pendek, 1.850 m, sehingga mempersyaratkan batas berat maksimal pesawat terbang untuk dapat tinggal landas secara normal.

Baca Juga : Inilah 'Permintaan Terakhir' Pilot Pesawat Lion Air JT 160, Sebelum Dinyatakan Hilang dan Lost Contact

Selain itu, landasan baru saja terguyur air hujan sehingga di sana-sini terdapat genangan air. Dalam kondisi demikian, serta mengingat terbatasnya panjang landasan pacu, bandara itu bisa dikategorikan restricted atau memiliki keterbatasan tertentu.

Dalam kasus ini belum jelas apakah bandara masuk kategori landasan yang wet-runway. Yang pasti, pihak bandara mengizinkan pesawat untuk tinggal landas.

Status pintu bagasi bisa dilihat dari indikator pada panil instrumen di kokpit yang mudah terlihat. Sayangnya, mengapa dua pilot baru menyadari adanya peringatan (lampu merah) justru ketika pesawat sedang melaju.

Apakah lampu indikator menyala baru saat itu atau sudah menyala sejak sebelum take-off tapi luput dari pengamatan kedua pilot?

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Pesawat Baru Berusia 3 Bulan, Layak Terbang dan Pengalaman Pilot Sudah Ribuan Jam Terbang

Atau mungkin pilot sedemikian terpakunya dengan landasan yang basah, bobot pesawat, serta pendeknya lintasan sehingga secara psikologis pilot mengalami channelling of attention, yakni terfokusnya perhatian hanya pada hal-hal yang amat mendesak saja.

Kondisi semacam itu sering menimpa seseorang yang secara mendadak dihadapkan pada saat-saat kritis atau terancam keselamatannya.

Kompartemen bagasi F-28 adalah suatu ruangan tertutup yang pressurized atau bertekanan, mirip dengan kabin pesawat. Bagasi maupun kabin memang dirancang bertekanan (terbatas berketinggian tekanan sekitar 6.000 kaki) karena pesawat tipe itu dalam terbang jelajahnya akan berketinggian lebih dari 10.000 kaki.

Dengan begitu, kenyamanan dan keselamatan penumpang selalu terpelihara dengan tekanan 6.000 kaki, seolah manusia masih berada dalam lingkungan darat.

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Pesawat Baru Berusia 3 Bulan, Layak Terbang dan Pengalaman Pilot Sudah Ribuan Jam Terbang

Selalu ada risikonya

Dalam keadaan pesawat sedang melaju, lalu tiba-tiba ada yang tidak beres, apa yang harus dilakukan? Itulah yang dialami kedua pilot F-28 MNA. Keputusan membatalkan take-off ketika pesawat sedang dalam keadaan V1 bukanlah keputusan yang keliru.

Akan tetapi, mengingat landasan yang basah dan pendek serta bobot pesawat yang lumayan, keputusan itu tetap mengandung risiko. Dalam keadaan demikian, apakah para pilot sudah mengoperasikan rem dengan cara yang tepat?

Apakah remnya berfungsi dengan baik? Ini tentu tanpa mengesampingkan salah satu prosedur pilot di setiap penerbangan, yakni selalu mencoba rem. Semisal waktu pesawat line-up atau bersiap di landasan setelah taxiing untuk rolling melaju siap take-off.

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Ini 5 Kecelakaan Pesawat Paling Tragis di Indonesia, Salah Satunya Pilot Diduga Bunuh Diri

Pilihan lain adalah tetap meneruskan take-off dengan bagasi terbuka dan kembali mendarat setelah mencukupi persyaratan untuk mendarat kembali.

Dari segi kemungkinan akan terjadinya gangguan pressurized ruang bagasi, sebenarnya tidak masalah kalau pesawat tidak terbang melebihi 10.000 kaki.

Meskipun bagasi terbuka, secara keseluruhan pesawat tidak akan mendapat imbas apa pun selama belum terbang melampaui ketinggian 10.000 kaki.

Jika pesawat itu take-off dan selanjutnya akan mendarat kembali, maka cukup dengan terbang pada ketinggian sekitar 2.000 atau 3.000 kaki saja sebelum turun ke landasan. Hanya saja, bisa jadi setelah mengudara dan melakukan manuver "bang" atau miring dan menurun, isi bagasi berjatuhan.

Baca Juga : Kisah Mantan Pilot Ratu Elizabeth yang Jadi Spesialis Pencuri 'Pakaian Dalam' Wanita dan Pelaku Pelecehan Seksual

Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa biasanya barang di bagasi diikat dengan baik. Jenazah yang diangkut umumnya diletakkan di kompartemen barang di bawah kabin.

Dengan begitu, dalam kasus ini keputusan apa pun yang diambil pasti memiliki risiko. Tinggal bagaimana mengolahnya sehingga keputusan yang diambil memiliki risiko minimal.

Kalau fungsi rem atau mekanisme pengereman berjalan normal, mungkin pesawat dapat berhenti sebelum ujung landasan (sambil melihat pertimbangan kebasahan landasan dan berat muatan).

Kalau pilihannya terus take-off, ada kemungkinan kompartemen bagasi terbuka dan isinya yang tak terikat kuat akan berjatuhan. Dalam hal ini, beban psikologis bertambah dengan adanya muatan jenazah.

Baca Juga : Bukan Cuma karena Kesalahan Teknis , Kecelakaan Pesawat Juga Bisa Terjadi Gara-gara Logat Pilot

Jadi, mana yang harus dipilih?

Bisa menjurus ke obsesif kompulsif

Pilot, dalam waktu amat singkat, dihadapkan pada suatu dilema dan harus segera membuat keputusan. Pada kasus F-28 MNA, pilot mengambil keputusan pertama, yakni mengerem.

Risikonya seperti yang sudah digambarkan di atas. Selain itu, lampu-lampu isyarat yang berada di ujung landasan tersapu pesawat. Pesawat terperosok dan tertahan oleh semak-semak dan gundukan tanah.

Baca Juga : Tragedi Silk Air Terjun Bebas ke Sungai Musi, Pilot Diduga Ingin Ajak Penumpang Bunuh Diri Bersama

Manajemen risiko pilot sangat tergantung kualitas, profesionalisme, dan pengalaman pribadinya. Untuk memperoleh pilot yang cakap dan berkualitas diawali dengan seleksi yang ketat.

Kesamaptaan fisik dan mental serta bakat keterampilan disaring secara sungguh-sungguh. Kemudian upaya lanjutan, yaitu pengecekan berkala terhadap kondisi fisik mental dan kemampuan teknik terbang dilakukan setiap enam bulan.

Tidak kalah pentingnya adalah peran Pendidikan dan Pelatihan dari perusahaan di mana kapten penerbang bekerja. Penyelenggara pendidikan harus berada di tangan orang-orang yang cakap, profesional, berpengalaman luas, dan berdedikasi tinggi. Seharusnya, hal-hal itu menjadi obsesi setiap perusahaan penerbangan.

Kondisi pilot yang menjadi perhatian khusus dalam disiplin ilmu "human factors" memerlukan pengelolaan dan perhatian. Sebagai manusia, penerbang tak lepas dari kekurangan.

Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng : Cerita Pilot Batik Air Saat Melihat Gelombang Aneh di Pesisir Pantai Palu

Untuk itu, pilot harus senantiasa melatih dan menyiapkan kemahiran teknis terbangnya. Juga kondisi fisik kesehatan dan ketenangan jiwanya.

Kondisi penerbang yang sedang menghadapi masalah, semisal kelelahan atau menanggung beban mental dalam tugasnya, niscaya akan mempengaruhi perilakunya, termasuk dalam mengambil keputusan.

Persoalan keseharian pun tak urung membebani sang pilot. Entah persoalan di kantor atau rumah tangga. Atau kejelasan masa depannya sehubungan derigan krisis moneter saat ini.

Bagaimana dengan kelangsungan nafkahnya, juga pemenuhan harapan-harapannya? Semua persoalan itu bisa saja terbawa dalam pikiran penerbang saat bertugas.

Baca Juga : Kisah Pilot Helikopter yang Harus Terbang Maut Demi Satu Nyawa di Anjungan Pengeboran

Peraturan perusahaan penerbangan mengharuskan pilot tetap ekstra waspada sebelum pesawat dalam posisi straight and level (menjelajah dalam ketinggian 10.000 kaki).

Pilot dilarang bicara persoalan lain kecuali pembicaraan teknis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengoperasian pesawat sampai penerbangan mencapai ketinggian aman itu. Pada saat-saat kritis, awak kabin atau pramugari dan penumpang tidak boleh mengganggu konsentrasi pilot.

Melihat kasus F-28 MNA tadi, temyata pilot terbang pada leg (bagian alur penerbangan) terakhir karena, bila berhasil melakukan perjalanan dari Kendari ke Ujungpandang, mereka akan beristirahat untuk terbang pada hari berikutnya.

Landasdn terbang yang pendek dan berair memerlukan teknik terbang dan pertimbangan khusus.

Baca Juga : Pengalaman Mencari Helikopter yang Jatuh di Laut Jawa, Pilotnya Ditemukan 'Sarungan' dan Sedang Main Bola

Penumpang yang hampir penuh (70%) serta angkutan barang dan bagasi yang cukup sarat - plus membawa jenazah - memberikan faktor lain; membuat kedua penerbang harus ekstra hati-hati.

Namun kehati-hatian yang amat sangat juga bisa menjurus ke perilaku obsesif kompulsif yang rawan.

Meskipun sebuah penerbangan melibatkan banyak orang (petugas bandara, pengamat cuaca, petugas bahan bakar, dll.), ketika penumpang sudah selesai boarding, pintu kabin ditutup, dan pesawat diizinkan berangkat, semua tanggung jawab keselamatan penerbangan yang menyangkut pesawat berada di pundak kapten pilot.

Sungguh tragis, ketika ia menuju ke langit kebebasan, kesalahan kecil bisa berakibat fatal!

Baca Juga : Hanya Seorang Diri, Pilot Pesawat Tempur P-51 Ini Lindungi Seluruh Skuadron dari 30 Jet Tempur Jerman

Artikel Terkait