Find Us On Social Media :

Jadi Pilot itu Tak Gampang Karena Dunia Penerbangan Itu Luas

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 30 Oktober 2018 | 18:00 WIB

 

Intisari-Online.com – Ingin selalu  berkembang dengan cara merencanakan setiap tahap dalam menjalankan profesinya. Aktivitasnya sekarang bukan cuma jadi pilot tapi juga berbisnis, walaupun “terbang” tetap menjadi “jiwanya”.

Berikut ini hasil wawancara Majalah ANGKASA dengan Capt Kardibaldi Wardaja, yang dimuat di Majalah ANGKASA edisi Juni 2016, Capt Kardibaldi Wardaja; Jadi Pilot itu Tak Gampang

Setiap lima tahun ada target yang ingin dicapai Capt Kardibaldi Wardaja. Dimulai ketika menjadi pilot Merpati Nusantara Airlines tahun 1994.

Waktu itu, ia dikontrak 10 tahun karena menjadi salah seorang pilot beasiswa Merpati yang disekolahkan di Australian Aviation College Batch 13 tahun 1993-1994.

Baca Juga : Orangtua Bhavye Suneja, Pilot Lion Air JT 610 di New Delhi Murung, Tak Mau Bicara dan Terus Mengurung Diri di Kamar

“Semua benar-benar gratis dari Merpati. Jadinya dikontrak 10 tahun wajar. Yang sekarang kan beda,” katanya.

Baldi, begitu ia disapa, memang cukup prihatin dengan kondisi pilot-pilot baru di Indonesia. Sekolah bayar sendiri dengan biaya sangat mahal, masuk kerja dikontrak dengan waktu yang sangat lama pula.

Untuk memberikan sumbang saran, ia ikut berkontribusi di Ikatan Pilot Indonesia (IPI). Bersama beberapa rekannya, ia juga berkiprah di Aerotek Aviation dengan akan membangun situs recruitment training online.

Rupanya target dalam mengembangkan profesinya tidak berjalan mulus. Merpati yang dipandangnya sebagai maskapai penerbangan besar, kenyataannya berbeda.

Baca Juga : Kisah 2 Pilot Bernama Sama yang Selamat dari Kecelakaan Pesawat yang Sama Pula

Sampai lebih dari tujuh tahun, ia tetap menjadi FO (First Officer) di pesawat Fokker F-28 dengan jam terbang yang minim. “F-28 itu pesawat favorit saya,” ucapnya.

Walaupun begitu, ketika tahun 2001 Merpati sudah hampir collapse (bangkrut) –Baldi menyebutnya sudah collapse—direkturnya mengatakan bahwa siapa saja pilot yang akan keluar dipersilakan tanpa harus membayar sisa training bond karena belum selesai masa kontrak, ia pun keluar.

“Saya termasuk batch pertama yang keluar,” ungkapnya.

Baldi menjelaskan, “Waktu saya join, Merpati itu kan sebuah perusahaan besar. Karena krisis, semuanya jadi slow down. Terbang jarang, up date juga nggak ada. Mau nggak mau kita bengong saja karena terikat kontrak. Makanya kita dikasih kesempatan untuk keluar, itu kan juga mengurangi biaya Merpati.”

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Ini Tips dari Pilot yang Bisa Membantu Anda Menyelamatkan Diri Saat Terjadi Kecelakaan Pesawat

Sekarang, ia adalah pilot di Emirates Airlines yang berpusat di Dubai, Uni Emirate Arab. Baldi memiliki double rating untuk menerbangkan pesawat A330 dan A340. “Harusnya tahun lalu saya captaincy A380, tapi harus selesaikan A330 dan A340 dulu,” ungkapnya.

Pesawat A340 rencananya akan phased out dari Emirates pada akhir tahun ini, sedangkan A330 pada Maret 2017. Targetnya memang agak meleset dari awal. Rencana menjadi FO 1,5 tahun, karena kedatangan A380 tertunda, akhirnya menjadi 4,5 tahun.  Walaupun akhirnya menjadi captain pesawat A330 dan A340 sejak lima tahun lalu.

Sejak Januari 2007 ia menjadi pilot Emirates. “Di Emirates tak ada sistem pegawai kontrak. Kami masuk menjadi pegawai tetap dan bekerja sampai pensiun,” tutur pilot yang sudah mengantongi 13.000 jam terbang ini.

Ada lima pilot Indonesia, termasuk dirinya, di Emirates. Tidak banyak, seperti juga di Etihad Airways yang sekitar tujuh pilot Indonesia, sementara di Qatar Airways ada sekitar 30 pilot Indonesia.

Baca Juga : Inilah 'Permintaan Terakhir' Pilot Pesawat Lion Air JT 160, Sebelum Dinyatakan Hilang dan Lost Contact

Baldi mengaku betah menjadi pilot Emirates. Alasannya ia ceritakan kepada Reni Rohmawati di sela-sela acara Communication Forum 2016 yang diselenggarakan Tripilar pada akhir Maret lalu di Jakarta.

Kenapa senang bekerja di Emirates?

Saya terbang wide body ke luar negeri. Itu memang keinginan saya sejak mulai jadi pilot. Rumah dikasih. Anak-anak sekolah dibayarin. Gaji lumayan lah.

Sebelumnya bekerja di mana?

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Pesawat Baru Berusia 3 Bulan, Layak Terbang dan Pengalaman Pilot Sudah Ribuan Jam Terbang

Keluar dari Merpati saya masuk Lion Air. Masih baru waktu itu. Kalau ke Garuda (Indonesia) nggak minat. Waktu pertama masuk, kontraknya lima tahun untuk kompensasi pelatihan. Saya menjadi FO untuk MD-80. Pesawat ini lebih fun to fly dibanding A330 atau A340.

Saya Batch 2 type rating MD-80. Dua tahun jadi FO, saya disekolahkan lagi untuk captaincy MD-80. Kena lagi kontrak lima tahun. Akhir kontraknya sampai 2009.

Kenapa keluar dari Lion Air?

Saya itu punya planning lima tahun-lima tahun ke depan. Saya mau jadi apa? Tahun 2007, Emirates buka lowongan untuk FO pesawat A330 via online.

Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Ini 5 Kecelakaan Pesawat Paling Tragis di Indonesia, Salah Satunya Pilot Diduga Bunuh Diri

Kualifikasi saya cukup tinggi untuk jadi FO, jadi langsung dipanggil. Saya waktu itu sudah mengantongi 3.000 jam terbang. FO kan waktu itu requirement 2.550 jam terbang. Dipanggil ke Dubai, dikasih business class. Semua biaya ke Dubai gratis.

Jadi, berapa lama di Lion Air?

Total saya jadi FO, captain, sekaligus instruktur, di Lion Air lima tahun kurang dua minggu. Waktu keluar kena pinalti. Saya bayar 22.500 dolar AS. Waktu join initial contract, nilai kontraknya 26.000 dolar AS untuk training FO di MD-80. Waktu captaincy dikasih cash lagi 36.000 dolar AS. Bayar pinalti sebesar itu sih sesuai.

Apa target Anda?

Buat saya, sebagai manusia, sebagai pilot, kita harus punya target. Untuk mencapainya, langkahnya ke mana dulu. Kan nggak mungkin baru masuk langsung meraih target. Ada tahapannya.

Baca Juga : Kisah Mantan Pilot Ratu Elizabeth yang Jadi Spesialis Pencuri 'Pakaian Dalam' Wanita dan Pelaku Pelecehan Seksual

Makin berkembang, harga jualnya jadi lebih tinggi. Saya ingin tetap menjadi pilot, sampai batas usia pilot yang dipersyaratkan.

Menjadi pilot sampai tua memang impiannya sejak kecil. “Sejak SMA saya tak pernah terpikir kuliah. Saya suka mengemudi mobil dan Bapak mendorong saya menjadi pilot,” kata Bapak dari dua anak, putra dan putri yang sudah remaja ini.

Baldi menyebut bahwa pilot itu profesi yang menyenangkan. Menjadi pilot di mana pun, di  maskapai penerbangan reguler atau carter, bisa dinikmati karena keduanya memiliki dunia sendiri-sendiri yang berbeda.

“Mungkin waktu muda ingin terbang di maskapai dengan pesawat besar bersama pramugari-pramugari cantik. Namun begitu menginjak usia tertentu, mendingan terbang di carter,” tuturnya.

Baca Juga : Bukan Cuma karena Kesalahan Teknis , Kecelakaan Pesawat Juga Bisa Terjadi Gara-gara Logat Pilot

Selain pilot, ia ternyata senang berbisnis. “Saya suka dagang kecil-kecilan,” ucapnya, seperti menawarkan berbagai barang fesyen bagi rekan-rekannya, termasuk komunitas Gazpoll di Jakarta yang anggotanya pemain golf. Baldi memang hobi golf dan beberapa kali pernah menang dalam turnamen.

Bisnis apa yang sedang dikerjakan?

Sekarang sedang set up Aerotek Aviation, sharing dengan teman-teman. Dulu pernah mau bikin air charter khusus kargo, tapi kepentok soal bisnisnya. Aturan di Kementerian Perhubungan juga makin nggak jelas. Kita nggak berani.

Kalau bicara penerbangan Indonesia, apa pandangan Anda?

Saya concern pada safety. Sekarang ini salah satunya menyangkut pilot baru. Menurut saya menjadi pilot itu nggak gampang. Diperlukan bakat terbang dan knowledge yang nggak habis-habis karena dunia penerbangan itu luas.

Kalau mereka inginnya mendapat gaji besar, motivasinya uang, jadinya nggak bagus.

Baca Juga : Kisah Pilot Helikopter yang Harus Terbang Maut Demi Satu Nyawa di Anjungan Pengeboran