Penulis
Intisari-Online.com – Ke Medan tanpa menikmati Danau Toba, lebih baik tak usah cerita. Kata orang, belum lengkap bila tidak menyinggahi danau di tanah Batak, di Sumatra Utara itu.
Cerita selengkapnya bisa Anda ikuti laporan perjalanan Nurhadi Rangkuti berikut ini, Si Raja Batak Ada di Desa Tomok, yang dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1993.
Sejuknya udara plus perpaduan warna biru, hijau, merah, hitam, dan putih, itu pesona khas Danau Toba. Biru dan hijau adalah warna danau dan bukit, sedangkan merah, hitam, dan putih itu warna budaya Batak Toba.
Untuk mencapai lokasi danau dengan pulau di tengahnya yang terkenal, Samosir, Anda mesti menempuh jarak sekitar 170 km dari Medan.
Baca Juga : 180 Ton Ikan di Danau Toba Mati, Kerugian Nelayan Capai Rp2,7 Miliar
"Ke Tomok, Pak, uma dua ribu rupiah pulang-pergi," para tukang perahu berebut mencari penumpang di pinggir danau.
Sebuah perahu bermotor yang memuat lebih dari 50 penumpang, siap berlayar ke Pulau Samosir. Suara rekaman rocker wanita pribumi melantunkan lagu lewat pengeras suara, mencoba menghibur penumpang selama perjalanan.
Tidak sampai dua puluh menit, perahu sudah merapat di Tomok, satu kampung Batak Toba di Pulau Samosir. "Para penumpang satu jam lagi harus kembali ke perahu," kata awak sambil menambatkan perahunya.
Waktu yang amat pendek untuk mengenal budaya Batak Toba di pulau kecil itu.
Baca Juga : Polisi Tetapkan 4 Tersangka Dalam Kasus Tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba
Difoto minta sumbangan
Di depan pintu masuk Kampung Tomok, seseorang menghadang, "Bayar karcis masuk, Pak, seratus rupiah."
Inilah salah satu kampung di Indonesia yang pakai karcis masuk bagi para pengunjung. Selangkah melewati gerbang, di muka terhampar sebuah pasar suvenir, mirip pasar seni. Ulos, ukiran kayu, kalender Batak, gondang, alat bunyi-bunyian macam garantung, hasapi dan sordan, tas kulit, dan T-shirt bergambar Danau Toba.
"Semua barang itu banyak dijumpai di pusat perbelanjaan Kota Medan," kata seorang pengunjung dan Medan.
Baca Juga : Menyusuri Makam Tua Sepanjang Tepi Danau Toba, Ada Pusaranya Pahlawan Nasional Juga Lho
Mendaki bukit sebentar, terdapat rumah adat Batak yang terkenal dengan bentuk dan hiasannya. Rumah-rumah Batak berhadap-hadapan utara-selatan.
Sebelah kiri rumah tinggal atau yang disebut ruma, di kanannya adalah rumah sopo, biasanya untuk lumbung padi, tempat menginap tamu, dan wanita bertenun ulos. Di tengah-tengahnya terhampar pelataran yang lebar, berfungsi ganda sebagai tempat bermain anak-anak, tempat acara kampung, dan juga tempat menjemur.
"Difoto minta sumbangan!" tiba-tiba seseorang di sebuah rumah tinggal berteriak ketika rumah adat itu akan dipotret. Pada sebuah rumah sopo, seorang lelaki tua melantunkan lagu-lagu Batak.
Di dekatnya berdiri termangu sigale-gale, boneka kayu yang terkenal itu. "Difoto minta sumbangan" adalah kalimat lazim di kalangan penduduk.
Baca Juga : Disebut Danau Terdalam Kedua di Indonesia, Inilah Rekaman Video Dasar Danau Toba
Maklum saja, Tomok adalah kampung terkenal dalam pariwisata internasional Danau Toba. Kampung yang paling banyak dikunjungi wisatawan dibandingkan dengan kampung-kampung Batak lainnya.
Yang khas dari rumah adat Batak Toba, arsitekturnya menggambarkan seekor kerbau. Atapnya yang melengkung di bagian depan seperti tanduk kerbau, dan tiang-tiang pada kolong rumah menggambarkan kaki-kaki kerbau.
Konon, bentuk rumah ini melambangkan kosmologi. Atap rumah adalah benua atas tempat dewa, lantai dan dindingnya lambang benua tengah tempat manusia, dan kolong rumah adalah benua bawah sebagai tempat kematian.
Dalam keseharian, kolong rumah berfungsi sebagai tempat binatang piaraan seperti kerbau, sapi, babi, dan kuda. Dinding depan rumah menjadi pusat perhatian.
Baca Juga : Kapal Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba Ditemukan di Kedalaman 450 Meter
Merah, putih, dan hitam yang menjadi wama Batak, menyemarakkan ukir-ukiran kayu yang terpajang. Warna itu telah kusam dan luntur karena matahari, hujan, dan atap yang bocor. Ragam hias geometris, flora, fauna, danalam didptakan dengan teknik ukir dan lukis.
Drs. S.P. Napitupulu dkk, dalam bukunya Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara (1986) menulis, segala ragam hias yang dibuat mempunyai arti dan makna. Ada hiasan simeol-eol, seperti sulur-suluran tumbuhan dengan putaran garisnya melengkung ke dalam dan meliuk ke luar.
Hiasan ini mencerminkan perasaan yang senantiasa gembira dari si penghuni. Atau hariara sudung ni langit, ragam hias seperti pohon dan burung di rantingnya, mengungkapkan sumber kehidupan.
Ada juga hiasan biawak kecil dengan ekor bercabang dua yang disebut boraspati, melambangkan kekuatan yang melindungi kekayaan pada manusia dan pengharapan agar harta kekayaan berlipat ganda.
Baca Juga : Sedang Berlibur ke Medan dan Mengunjungi Danau Toba, Jangan Lupa Oleh-oleh Sirop Markisa ‘Pohon Pinang’
Ada juga ragam hias berbentuk kerucut dengan warna-warni merah, hitam, dan putih. Ragam hias ini biasanya terdapat di atas kolong tangga masuk ke dalam rumah, melambangkan kesuburan, juga sebagai lambang kasih sayang ibu. Inanta parsonduk bolon, kata orang Batak Toba.
Tradisi prasejarah
Jalan ke atas semakin ramai dengan pengunjung dan pedagang. Tak lama kemudian sampai ke sebuah tempat agak tinggi. "Ini kompleks makam Raja Sidabutar," seorang pemandu wisata keturunan Sidabutar mulai menerangkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Yang mencolok dari kompleks makam itu adalah sebuah wadah kubur dari batu dengan panjang lebih dari 2 m. Dalam kalangan arkeolog, benda kematian itu disebut sarkofagus. Bentuknya mirip kapal dengan bagian depan dan belakang dipahat melengkung ke atas.
Baca Juga : Apa yang Memicu Meletusnya Supervolcano Toba yang Memunculkan Danau Toba Masih Misterius hingga Sekarang
Bagian depan ada pahatan topeng manusia. Pada bagian atas di belakang dipahat pula manusia dalam sikap duduk dengan kedua tangan memegang lutut.
Ada lagi sarkofagus yang pada bagian belakangnya dipahatkan seorang tokoh dalam posisi menunggang sambil menjunjung dan memegang suatu benda. Inilah wadah kubur Raja Sidabutar yang pernah memerintah di Pulau Samosir.
Sarkofagus bukan hanya ditemukan di Tomok. Di Balige, di sebelah tenggara Danau Toba, banyak ditemukan kuburan macam itu.
Menurut seorang arkeolog, bentuk kubur macam makam Raja Sidabutar lambat laun berkembang menjadi bangunan kubur berbentuk punden berundak, seperti makam Raja Parluhutan Siahaan di Kampung Sosor, dan makam Raja Unggul II.
Baca Juga : Sudah Ada 15 Kasus Kapal Tenggelam di Indonesia Sejak 2003, Termasuk yang Terbaru Terjadi di Danau Toba
Perkembangan bentuk terakhir wadah kubur yang berlangsung sampai sekarang adalah bentuk persegi empat yang dibangun dari bahan batu dan semen; dan tidak menggunakan bahan batu besar lagi.
Wadah kubur macam ini biasanya berhiaskan topeng, kepala kerbau atau binatang yang menakutkan, seperti terdapat pada wadah kubur Raja Marsundung Simanjuntak di Kampung Huta Bulu.
Di sebelah sarkofagus Raja Sidabutar terdapat sarkofagus berhiaskan gambar salib di bagian depan. Ini berasal dari masa yang lebih muda. Hiasan pahatan binatang dan topeng sudah tidak ada lagi karena tokoh yang dikuburkan di dalamnya telah memeluk agama Kristen, agama yang pertama kali masuk ke tanah Batak di Sibolga pada tahun 1820.
Wadah kubur Raja Sidabutar di Tomok mengungkapkan konsepsi kepercayaan orang Batak, yaitu pemujaan pada arwah nenek moyang.
Baca Juga : Kisah Kerajaan Kuno di Pulau Samosir yang Tak Segan Menyantap Musuh, Bikin Gentar Orang Jahat!
Wadah kubur ini merupakan penguburan kembali dalam bentuk permanen agar tercipta hubungan yang dekat antara keturunan yang masih hidup dengan si mati.
Roh si mati dianggap masih melindungi dan menyertai keturunannya. Boleh jadi penguburan sekunder ini wujud penghormatan dari keturunannya, agar si mati dapat diterima di dunia arwah.
Ini adalah kepercayaan dari masa prasejarah orang Batak. Setelah masuknya agama Kristen, sarkofagus sudah tidak dibuat lagi. Cukup batu dan semen dengan hiasan yang dipengaruhi unsur budaya Kristen.
Selesai menjelaskan soal kompleks makam Raja Sidabutar, sang pemandu wisata lalu secara profesional menggiring wisatawan ke pintu keluar. Di sana sudah berdiri dua lelaki penjaga kotak sumbangan. "Sumbangan buat memugar makam, Pak!" kata mereka.
Baca Juga : Lakukan 5 Hal Ini Saat Wisata Ke Samosir
Marcos keturunan Batak?
Semua pengunjung kembali ke perahu masing-masing. Pulau Samosir, tanah leluhur orang Batak, sebentar lagi ditinggalkan. Di pulau ini 3.000 tahun lalu, nenek moyang Toba telah bermukim di sekitar Gunung Pusuk Buhit, letaknya di dekat Kota Pangururan.
Mereka lama mengisolasi diri, lalu mulai menyebar berangsur-angsur ke daerah lain di sekitar Danau Toba, dan sekarang orang Batak dapat dijumpai di berbagai pelosok Nusantara.
Menurut catatan S.P. Napitupulu, mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos itu keturunan suku bangsa Batak di Propinsi Ilocos Utara di Pulau Luzon. Di pulau itu ada dusun bernama Bataq.
Baca Juga : Kontroversi Ferdinand Marcos, Jenazah Koruptor Filipina yang Dikubur di Makam Pahlawan
Menurut dongeng, nenek moyang suku bangsa Ilocon berasal dari Sumatra yang terdampar di Pulau Luzon ketika mengarungi Laut Cina. Ditilik dari potongan, tampang, gerak-gerik, dan gaya bicara, orang Ilocon mirip dengan penduduk di sekitar Danau Toba.
Di kaki Pusuk Buhit tinggal si Raja Batak dengan keturunannya. Banyak orang Batak yang yakin, si Raja Batak yang menurunkan marga-marga ini adalah keturunan dewa.
Dikisahkan Dewa Mula Jadi Na Bolon mengirim putrinya, si boru Deak Parujar, dari langit untuk menciptakan bumi dari segumpal tanah.
Namun pekerjaan ini mendapat gangguan dari si Raja Padoha, sehingga sang putri terpaksa merantainya di bawah bumi (kalau terjadi gempa bumi, orang Batak percaya hal itu disebabkan oleh Naga Padoha yang menggoyangkan kepalanya karena digigit nyamuk).
Baca Juga : Awas, Pekan Ini Gelombang Setinggi 5-7 Meter Akan Melanda Perairan Selatan Sumatra, Jawa, Hingga Sumbawa
Setelah tugasnya berhasil, sang putri kawin dengan si Raja Odap-odap, juga putra Dewa Mula Jadi Na Bolon yang diturunkan ke bumi. Dari perkawinan kembar ini lahirlah si Raja Batak.
Keturunan si Raja Batak ini diakui memiliki kebudayaan yang tinggi, dan bukanlah bangsa primitif yang hidup nomaden. Orang Batak kuno telah memiliki kasara (huruf Batak), buku pustaka, ilmu perbintangan, ilmu pertanian, kalender, dan telah mengenal konsep kedewaan seperti Trimurti pada agama Hindu.
Bila Tuhan telah menganugerahkan sebuah danau biru yang luas dan pegunungan yang indah, orang Batak melengkapinya dengan arsitektur rumah adat, ukir-ukiran, tortor, ulos, pantun turi-turian, doa puitis tonggo-tonggo, serta musik kecapi yang indah.
Perpaduan karunia Tuhan dan isi budaya Batak ini benar-benar mampu mencengangkan wisnu dan wisman yang datang ke Danau Toba.
Baca Juga : Cerita Indah dari Tepian Danau Toba: Ketika Togu Simorangkir Mengubah Pamrih Menjadi Kasih
Semua itu ada di Tomok, sebuah desa tradisional yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata internasional di Propinsi Sumatra Utara.
Baca Juga : Bukan Danau Toba, Inilah Danau Terdalam di Indonesia, Ada Gua Tengkorak di Dalamnya