Penulis
Intisari-Online.com – Tanggal 24 Oktober adalah Hari Dokter Nasional. Menjadi dokter seperti apakah yang diinginkan oleh dokter itu sendiri dan oleh masyarakat?
Simak tulisan Alan Kusuma tentang kisah Dr. Lie Dharmawan yang bekerja tanpa pamrih berikut ini, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2016.
“Tek Bie, kalau kamu jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin. Mungkin mereka akan membayar kamu berapa pun. Tetapi diam-diam mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras.”
Pesan dari ibu yang diucapkan puluhan tahun silam, terus melekat di benak dr. Lie Augustinus Dharmawan. Kata-kata itu pula yang kemudian melandasi keputusan dokter lulusan Jerman ini untuk mengabdikan diri kepada kemanusiaan.
Bekerja tanpa pamrih, bahkan tanpa berharap pembayaran sekali pun, di lokasi-lokasi terpencil di pelosok-pelosok Indonesia.
Mengapa harus orang-orang miskin? Karena berbagai pengalaman dan latar belakangnya, Lie memilih untuk menaruh perhatian tersendiri terhadap kaum papa itu.
“Jangankan berobat, jika makan sehari-hari pun sulit,” tutur Lie tentang kenyataan yang hampir selalu dijumpainya setiap hari di berbagai wilayah Indonesia itu.
Atas kesadaran itulah Lie bersama Lisa Suroso, seorang aktivis pergerakan 1998, mendirikan doctorSHARE. Organisasi nirlaba yang juga dikenal dengan nama Yayasan Dokter Peduli ini memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan dengan tetap bekerja berdasarkan etika medis.
Baca Juga : Selamat Hari Dokter, Inilah Biaya Pendidikan Dokter di Universitas Negeri
Bersama doctorSHARE pula, Lie mewujudkan impiannya untuk mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta bernama KM RSA dr. Lie Dharmawan.
RSA inilah yang membawanya ke pelosok-pelosok di berbagai penjuru Nusantara, untuk mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis.
Sekilas terdengar begitu megah, namun sebenarnya RSA hanya berupa kapal kayu sederhana. Bagian dalam kapal ini disekat-sekat menjadi bilik untuk merawat pasien-pasien rawat inap maupun pasien pasca-operasi.
Kesederhanaan inilah yang membuat Lie sering dianggap kurang waras karena berani menggunakan kapal kayu untuk mengarungi berbagai wilayah di Indonesia dengan beragam tantangannya.
Baca Juga : Kok Dokter Mengoperasi Boneka Beruang? Ternyata Ada Alasan Menyentuh di Baliknya
Tiga hari dua malam
Pemikiran membuat RSA, kenang Lie, berawal dari sebuah peristiwa di Pulau Kei Kecil, Maluku Utara. Di wilayah yang terasa begitu jauh dari ingar-bingar “Pulau Jawa” itu, ia merasa Tuhan telah memanggilnya untuk melayani orang-orang miskin yang lebih membutuhkan pertolongan.
Hari itu, 26 Maret 2009, hari terakhir Lie melakukan pelayanan medis gratis. Usai melakukan sebuah operasi, datang seorang ibu membawa anak perempuannya berusia sembilan tahun.
Menurut pastor yang mendampingi, si ibu datang dari Samlaki, tiga hari dua malam melintasi laut hanya untuk menemui Lie.
Rupanya anak perempuan itu menderita hernia dengan usus terjepit dan harus segera dilakukan pembedahan. Dalam 8-9 jam ususnya harus diselamatkan.
Baca Juga : Sumbangkan ASI-Nya Sebanyak 15 Lemari Es, Sosialita Thailand ini Dikritik Para Dokter
Kalau sampai terlambat, usus bisa pecah dan menyebabkan kematian. Setelah sukses melakukan operasi, Lie tiba-tiba merasakan ada kekuatan supernatural yang melindungi anak itu. Suatu mukjizat yang luar biasa.
Sejak itulah Lie bertekad untuk menolong orang-orang yang berada di kawasan terpencil yang karena hambatan finansial, transportasi, dan sebagainya, tidak memiliki akses ke pertolongan medis.
Bahkan ia bertekad akan menjemput bola. “Kalau mereka tidak bisa kemari, kenapa bukan kami yang ke sana,” tuturnya.
Terkecil di dunia
Meski gagasan pembuatan RSA sudah ada di benak Lie sejak 2008, namun realisasinya baru pada 2013. Maklum, sempat ada pro-kontra terhadap rencana ini. Apalagi kala itu belum ada referensi tentang rumah sakit apung yang dikelola swasta.
Baca Juga : Dokter Temukan Paku Ukuran 4,8 cm di Kepala Pria yang Berulang Kali Mengeluh Sakit Kepala Ini, Mengerikan!
Rumah sakit terapung yang ada adalah milik TNI Angkatan Laut. Itu pun hanya digunakan pada saat perang.
Awalnya tim doctorSHARE sulit menemukan kapal yang sesuai. Berbagai jenis kapal dikaji, namun dirasa kurang cocok jika harus menghadapi berbagai kondisi medan di pelosok Indonesia.
Akhirnya diputuskan untuk memakai perahu nelayan yang sederhana dan berbahan kayu, karena dianggap lebih memadai.
Kapal ini memang kecil. Bahkan mungkin, kata Lie, rumah sakit apung terkecil di dunia. “Tapi semangat kebaikannya begitu menggebu dan tidak pernah putus asa,” tutur dokter yang memiliki empat spesialisasi bedah yaitu bedah umum, bedah jantung, bedah toraks, dan bedah pembuluh darah ini.
Baca Juga : Kisah Dokter 106 Tahun: Pernah Lakukan Eksperimen Obat pada Diri Sendiri dan Masih Aktif hingga Kini
Layak disebut terkecil di dunia, karena RSA ini hanya berukuran panjang 23,5 m, lebar 6,55 m dan bobot mati 114 ton. Kapal terbagi atas tiga dek.
Dek atas untuk nakhoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan steril dan ruang operasi, sedangkan dek bawah adalah laboratorium.
Meski sudah hampir tiga tahun berlayar, Lie masih menyebut aksi sosialnya ini sebuah “kegilaan”. Sebab, ternyata kapal ini hingga kini belum memiliki izin sebagai rumah sakit. Sudah ada upaya mengurusnya, tapi ternyata undang-undangnya malah belum ada.
Contoh, kalau ditanya di mana alamat rumah sakitnya? Jawabannya, di seluruh laut di Indonesia. Lie tidak bisa menunggu peraturan, karena orang sakit tidak bisa menunggu.
Baca Juga : Setelah Operasi Plastik Bengkak: Dokter Beberkan Penyebab dan Lamanya Masa Pemulihan Pacaoperasi
Cap “gila” juga didapat dari para kolega Lie sesama dokter. Mungkin lantaran para dokter itu tahu, dana rumah sakit ini sangat terbatas. Apalagi dengan sebuah kapal kecil mereka berani berlayar sampai ke lautan di Indonesia Timur yang terkenal ganas.
Namun terbukti hingga kini kapal masih terus berlayar dengan selamat. Malahan dalam waktu dekat akan ada dua penerus RSA ini yakni kapal Nusa Waluya I dan Nusa Waluya II.
Kesenjangan kaya-miskin
Selama melakukan misinya, Lie merasa kehadiran pemerintah masih belum bisa dirasakan di berbagai pelosok di Indonesia. Memang ada Puskesmas misalnya, tapi belum tentu ada dokternya. Atau sebaliknya, ada dokter tapi tidak ada Puskesmas dan peralatannya.
Belum lagi masalah infrastruktur seperti jalanan atau sarana komunikasi yang tidak memadai.
Baca Juga : Inilah Hubungan Pil KB dan Munculnya Kanker Payudara Menurut Dokter
“Anda boleh punya smartphone yang bagus dan uang jutaan di kantong, tapi kalau tidak ada sinyal, Anda bisa berbuat apa?” kata Lie yang melihat lebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin di negeri ini setelah merasakan hidup di Indonesia Timur.
Beruntung masih ada orang-orang yang peduli dengan doctorSHARE melalui sumbangan uangnya. Menariknya, kata Lie, kebanyakan mereka justru masyarakat biasa dari kalangan menengah ke bawah.
Sumbangan mereka memang tidak besar, tapi setidaknya ada 1.000 orang yang rutin memberi setiap bulannya.
Bantuan kadang juga datang dalam bentuk tenaga sukarelawan. Mereka bisa dari tenaga medis maupun awak kapal, tapi umumnya merupakan tenaga tidak tetap.
Baca Juga : 30 Dokter Lakukan CPR Selama 5 Jam Demi Selamatkan Nyawa Bocah 8 Tahun Penderita Gagal Jantung Akut
Dalam catatan doctorSHARE setidaknya ada 250 orang yang setiap saat bisa dikontak jika ingin dilibatkan dalam misi di berbagai daerah.
Untuk menunjang pembiayaan, doctorSHARE juga berencana untuk membuka sebuah klinik di Jakarta yang penghasilannya bisa digunakan untuk menunjang biaya operasional RSA.
”Kami belum tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Tapi satu yang menjadi concern kami, masyarakat tidak akan kami bebani dengan pembayaran,” ungkap Lie tentang rencana mulianya itu.
Berdoa untuk menjadi dokter
Terlahir dengan nama Lie Tek Bie, pria kelahiran Padang 16 April 1946 ini sudah sejak kecil bercita-cita menjadi dokter.
Baca Juga : Dokter Predator Seks di Malaysia Itu Akhirnya Diskor 2 Bulan, Lisensi Medisnya Juga akan Dicabut
Sewaktu Lie kecil, selain belajar dengan tekun, setiap pukul 06.00 ia selalu pergi ke gereja di dekat sekolahnya. Di sana, ia berdoa dengan kata-kata yang sama dan diulang-ulang selama bertahun-tahun: Tuhan saya mau jadi dokter yang kuliah di Jerman.
Pada 1965, Lie lulus SMA dengan prestasi yang cemerlang. Namun berkali-kali mendaftar di fakultas-fakultas kedokteran di Pulau Jawa, ternyata ia tidak pernah diterima.
Kesempatan kuliah akhirnya didapatkannya ketika diterima masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (URECA).
Sayangnya, karena situasi politik saat itu, universitas yang didirikan oleh Badan Permusyawaratan KewarganegaraanIndonesia ini dihancurkan massa. Padahal Lie baru beberapa hari kuliah.
Baca Juga : Mengeluh Sakit, Wanita Ini Kejutkan Dokter Setelah Kura-kura Mati Ditemukan dalam Organ Intimnya
Tak ada pilihan, Lie akhirnya menjadi pekerja serabutan. Uang penghasilannya ditabung untuk membeli tiket ke Jerman, sesuai cita-citanya.
Menginjak usia 21 tahun, Lie diterima di Fakultas Kedokteran Free University di Berlin Barat. Untuk membiayai kuliah dan kehidupannya, ia bekerja sebagai kuli bongkar muat barang.
Lie juga bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.
Sekalipun sibuk bekerja, Lie tetap berprestasi, sehingga ia mendapat beasiswa. Semua itu ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya.
Baca Juga : Dokter Malaysia Dihukum Seumur Hidup dengan Tuduhan Membunuh Istri dan Anaknya, Diduga Ini Motifnya
Pada 1974, ia berhasil mendapat gelar Medical Doctor. Pendidikan selanjutnya dilaluinya di University Hospital, Cologne, Jerman. Sementara gelar Ph.D-nya didapat di Free University Berlin.
Semua pendidikan itu ditempuhnya selama sepuluh tahun.
Merasa berutang kepada Tuhan
T: Orangtua Anda mengajarkan apa sehingga muncul tekad untuk menolong sesama?
J: Mama saya pernah berkata, “Kalau kamu suatu saat menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi ketika pulang mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras.”
Akan selalu saya ingat, bagaimana ibu saya menangis ketika saya minta makan (tapi tidak bisa memberikan, Red), dan itu sesuatu yang tidak bakal saya lupakan seumur hidup saya.
T: Anda sudah sukses di Jerman, apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia?
J: Saya bekerja di sebuah rumah sakit di salah satu universitas besar di Jerman. Saya punya jenjang karier yang baik. Kalau saya tetap di Jerman, saya jadi tenaga pengajar. Ilmu yang saya peroleh akan diterapkan sebagian besar untuk ilmu kedokteran.
Saya satu dari sekian ratus ribu dokter di sana. Kalau saya pulang, ilmu kedokteran yang saya pelajari benar-benar bisa diaplikasikan untuk kemanusiaan. Terutama untuk mereka yang membutuhkan pertolongan tapi tidak memiliki akses.
Baca Juga : Seorang Calon Dokter Donorkan 67 Persen Hatinya untuk Guru SD-nya
T: Bagi Anda apa arti kesederhanaan?
J: Saya puas dengan kehidupan saya sekarang. Saya tidak mau berlebihan. Istri saya pernah bertanya ketika kehidupan saya masih belum semapan sekarang, cukupkah uang yang kita berikan untuk orang-orang? Kalau kurang, kan tinggal tambah lagi, kita enggak kelaparan ini.
Sering saya kasih contoh kepada keluarga saya, kalian tahu kita setiap hari bernapas? Coba lihat di ICU, berapa oksigen yang harus kita bayar? Kita seumur hidup bernapas gratis, sudah berapa kita berutang pada Tuhan?
T: Masih punya mimpi apa lagi?
J: Saya tidak akan berhenti di rumah sakit apung. Saya ingin membangun rumah sakit tanpa kelas, low cost hospital. Saya ingin membahagiakan manusia. Saya tidak akan berhenti berpikir.
Baca Juga : Bukan Cuma Lulusan Keguruan, Lulusan Kedokteran Juga Banyak yang Nganggur!