Penulis
Intisari-Online.com -Di tengah perang dagang yang semakin meningkat, ketagangan antara Amerika Serikat dan China semakin meningkat.
Hal ini diperparah dengan tragedi hampir bertabrakannya kapal perang kedua negara dan perangkap FBI terhadap agen China yang membuat marah Beijing.
AS dan China telah melanggar aturan untuk saling tidak bersaing secara global di abad ke-21.
Tak sekadar dalam ranah perdagangan, naga-naganya konflik keduanya juga akan merembet ke hal yang lebih pelik: adu senjata.
Seperti dilaporkan The Guardian pada Selasa (16/10) kemarin, para pejabat China menuduh Washington telah memulai Perang Dingin Gaya Baru.
Baca Juga : Kerajaan Bawah Tanah Kaisar China, Sampai-sampai Pengawal dan Binatang pun Dibawa ke Alam Kubur
Jika tidak ada tindakan antisipatif yang diambil keduanya, bukan tidak mungkin saling unjuk kekuatan antarkeduanya akan terjadi.
Dalam beberapa minggu terakhir, ketika kedua negara terlibat dalam perang dagang, seperti disinggung di awal, kapal perang kedua negara hampir bertabrakan di Laut China Selatan.
Belum lagi, agen FBI telah menjebak intelijen senior China di Belgia lalu mengekstradisinya ke AS.
Hal ini tentu saja semakin memprovokasi kemarahan Beijing.
Sementara itu, Washington secara signifikan meningkatkan retorika penuh semangat yang menggambarkan China sebagai musuh yang berbahaya.
Dalam pertemuan dewan keamanan PBB bulan lalu, Donald Trump menuduh China—tentu tanpa menyebut bukti—berusaha menggulingkannya dengan ikut campur dalam pemilu AS.
Beberapa hari kemudian, wakil presidennya, Mike Pince, memperluas tuduhan itu dengan mengatakan bahwa China ingin “terlibat” dalam setiap kebijakan AS.
Pance, seperti halnya persidennya, tidak menyertakan bukti tuduhannya itu.
Sementara itu, sebagian ahli mengatakan bahwa China—meskipun sebagai yang utama dalam hal spionasi ekonomi—tidak pernah mencoba meretas pemilu AS seperti yang dilakukan oleh Moskwo.
Meski begitu, masih menurut The Guardian, pemerintah China kabarnya telah mengakhiri genjatan senjata perang siber yang pernah disepakati oleh presiden Xi Jinping dan Barack Obama pada 2015 silam.
Mereka juga dikabarkan sudah mengirim tentara perang siber untuk menyerang perusahan-perusahan dagang milik AS.
Baca Juga : Hubungan Dengan Rusia-China Memanas, AS Aktifkan Armada Laut Era Perang Dingin
Di sisi lain, Beijing telah mengerahkan angkatan lautnya menggunakan taktik yang lebih agresif untuk menghentikan kapal-kapal AS dan sekutunya di dekat pulau-pulau karang sekitar Laut China Selatan.
Lebih dari itu, China juga menjadikan pulau-pulau yang diklaimnya itu sebagai pos-pos militer untuk menegaskan kendali atas wilayah penuh sengkata tersebut.
Memang, gencatan senjata siber yang disepakati pada 2015 lalu itu tidak menghentikan spionase dunia maya kedua negara.
Tapi paling tidak, cara itu bisa meminimalkan upaya pencurian kekayaan intelektual besar-besaran yang dilakukan oleh China.
Dan genjata senjata siber itu saat ini benar-benar telah berakhir.
“CrowdStrike saat ini bisa mengonfirmasi bahwa China kembali menjadi ancaman intrusi negara-negara besar dalam hal melawan industri negara-negara Barat,” ujar Dmitri Alperovitch, pendiri firma keamanan siber CrowdStrike.
Beberapa bulan setelah gencata senjata siber itu, tambah Alperovitch, pihaknya melihat adanya penurunan hingga 90 persen terkait pelanggaran yang disponsori China terhadap sektor komersial Barat.
Tapi mereka melakukannya kembali pada 2017—dan semakin membabi-buta sejak itu.
Christopher Painter, seorang diplomat maya kelas atas AS di bawah pemerintahan Obama, mengatakan, Beijing menyetujui kesepakatan dunia maya 2015 karena mereka tak ingin terkena sanksi yang tentu merugikan negara.
Terkait aksi bajak-membajak China yang kambuh lagi, Amerika langsung merespon dengan cepat—selain memperkuat keamanan siber.
Baca Juga : Survei Pemimpin Internasional yang Dipercaya, Trump Kalah dari Putin dan Xi Jinping
Pekan lalu, departemen kehakiman AS, untuk pertama kalinya, sukses mengekstradisi seorang perwira intelijen senior China, Yanjun Xu, setelah sebelumnya ia dijebak di Belgia.
Xu berpikir bahwa ia akan mendapatkan informasi rahasia dagang dari perusahaan penerbangan AS. Eh, ternyata dia terkena tipu.
Tak hanya dalam perdagangan, China juga menantang Amerika melalui angkatan bersenjatanya.
Militer China telah mendorong zona pengaruhnya ke Pasifik, merebut pulau-pulau yang disengketakan juga terumbu karang di Laut China Selatan.
Lebih dari itu, seperti yang disebut di awal, mereka juga membangun pos-pos militer di pulau-pulau itu.