Penulis
Intisari-Online.com -Korban gempa Donggala Sulteng yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Poso, Sulteng, memilih untuk menginan di halaman rumah sakit.
Selain karena kondisi bangunan yang rusak seperti dinding yang retak, para pasien ini juga mengaku masih trauma setelah mengalami gempa dengan guncangan yang sangat kuat.
Bahkan, seperti dilaporkankompas.com,hingga tengah malam rasa trauma dan ketakutan masih terus dirasakan oleh para pasien.
Mereka masih bertahan dan harus menjalani perawatan di luar ruangan atau halaman.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Benarkah Hewan Mampu Memprediksi Terjadinya Gempa?
Ini wajar. Semua bencana alam tentu meninggalkan trauma bagi siapa saja yang mengalaminya.
Tapi kasus trauma dalam hal gempa bumi sedikit berbeda. Tingkatannya biasanya lebih berat dibandingkan dengan bencana alam yang lainnya.
Salah satu penyebabnya adalah karena gempa bumi datang tanpa peringatan dan kebanyakan warga tidak mempersiapkan diri serta mental mereka untuk menghadapi gempa.
Sebuah penelitian yang dilakukan psikolog di University of Canterbury menunjukkan sebuah efek buruk dari gempa bagi otak manusia.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Inilah Tsunami Terburuk Sepanjang Sejarah
Proyek penelitian ini dilakukan setelah gempa berkekuatan 7,1 melanda Selandia Baru pada 2010 silam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa rata-rata mengalami penurunan kognitif dalam tugas yang sama setelah mereka menghadapi gempa bumi.
Ini menjadi bukti bahwa setiap bencana dapat menurunkan kompetensi mental para korban.
Studi juga menemukan beberapa pengemudi lebih mudah terlibat kecelakaan setelah terkena gempa bumi karena pikiran mereka teralihkan dari jalanan.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Rumah Tahan Gempa Ini Bukti Nyata Nenek Moyang Kita 'Bersahabat' dengan Gempa
Saat itu, warga Selandia Baru mengalami kegelisahan sepanjang waktu karena gempa dan gempa susulan yang terus terjadi.
Rasa trauma ini bisa membekas selama bertahun-tahun dan terus mengalihkan pikiran mereka dari fokus yang seharusnya.
Gempa susulan yang terjadi lebih sering bisa lebih mengganggu bagi kesehatan mental dan kemampuan otak warga,
Ini membuat otak terus terjaga, bersiap jika ada gempa yang akan terjadi dan mungkin saat tidak ada gempa, muncul halusinasi yang membuat otak merasa seolah-olah merasakan goyangan gempa bumi.
Dilansir dari ABCNews, sebagian besar penelitian tentang gangguan kesehatan mental pasca-bencana menunjukkan hasil yang sama.
Gangguan stres pasca-trauma dapat bertahan hingga bertahun-tahun setelah kejadian bencana itu. Depresi juga rentan terjadi, apalagi saat stres tidak ditangani dengan baik.
Orang-orang yang mengalami kecemasan sangat besar cenderung bersifat impulsif (reflek yang dilakukan tanpa berpikir lebih dulu). Misalnya, ada goncangan kursi karena kendaraan lewat di depan rumah, mereka segera berlari dan menyelamatkan diri karena cemas akan gempa.
Berdasarkan penelitian ini, korban gempa tak hanya perlu diberi bantuan secara materi dan infrastruktur, tapi juga didampingi oleh orang-orang yang mampu menenangkan mereka.
Ini penting, agar siapa pun yang mengalami musibah bisa tetap bertahan dengan kesehatan mental yang baik dan lebih mengurangi tingkat stres serta trauma pasca-bencana.
(Aulia Dian Permata)
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Ini Cara Menghitung Kekuatan Gempa, Semakin Kuat Semakin Mengerikan