Sejarah Genjer-genjer, Lagu Rakyat yang Jadi Lagu Terlarang Karena PKI

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Jika ada sebuah lagu yang lekat dengan nuansa seram dan menggidikkan, mungkin salah satunya adalah Genjer-genjer.

Intisari-online.com - Jika ada sebuah lagu yang lekat dengan nuansa seram dan menggidikkan, mungkin salah satunya adalah Genjer-genjer.

Dalam adegan film Pengkhianatan G 30/S PKI, terdapat sebuah adegan anggota Gerwani mengelilingi para jenderal yang ditawan. Mereka kemudian menyileti wajah para jenderal diselingi nyanyian Genjer-genjer.

Sampai saat ini film Pengkhianatan G 30/S PKI masih ramai diperdebatkan apakah adegan penyiksaan oleh Gerwani tersebut nyata atau tidak.

Ada yang menganggapnya sekadar propaganda Orde Baru, namun tidak sedikit pula yang mempercayainya.

Baca Juga : Genjer, Lagunya Dianggap Lekat dengan PKI, Sayurnya Kaya Manfaat

Terlepas dari benar atau tidaknya adegan tersebut, fakta yang tak terbantah adalah lagu Genjer-genjer menjelma menjadi sebuah lagu yang menyeramkan pasccagerakan G30S.

Genjer-genjer menjadi lagu yang identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Jadi, semasa Orde Baru dan bahkan hingga kini, orang yang menyanyikan lagu tersebut rentan dituduh berafiliasi dengan PKI.

Padahal lagu Genjer-genjer bukanlah lagu mars PKI dan juga bukan lagu yang diciptakan khusus untuk mereka.

Baca Juga : Saat Kunjungan Pertamanya sebagai Presiden RI, Soeharto Justru Disuguhi Tari 'Genjer-genjer' di Kamboja

Genjer-genjer sebenarnya adalah lagu populer berbahasa Osing (suku di Banyuwangi).

Diciptakan pada 1942 oleh Muhammad Arief, seorang seniman Osing sebagai gambaran kondisi warga Banyuwangi saat penjajahan Jepang.

Lagu ini menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia selama dijajah jepang.

Sebelum penjajahan Jepang, genjer (Limnocharis flava) adalah tumbuhan untuk makanan ternak.

Ketika Jepang jadi penjajah, banyak warga kelaparan dan terpaksa memakan tumbuhan yang awalnya dianggap hama itu.

Biasanya warga memasak sayur genjer dan dimakan dengan nasi ditambahi sambal jeruk.

Petikan lagu Genjer-genjer adalah sebagai berikut:

Emake jebeng padha tuku nggawa welasahGenjer-genjer saiki wis arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulakSetengah mateng dientas ya dienggo iwakSego sak piring sambel jeruk ring pelancaGenjer-genjer dipangan musuhe sega

Artinya dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut.

Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambuGenjer-genjer sekarang akan dimasak

Genjer-genjer masuk periuk air mendidihSetengah matang ditiriskan untuk laukNasi sepiring sambal jeruk di dipanGenjer-genjer dimakan bersama nasi

Lagu Genjer-genjer menjadi populer setelah dinyanyikan Bing Slamet.

Karena begitu populer, PKI lantas memanfaatkan lagu ini untuk berkampanye.

Saking seringnya lagu ini dinyanyikan PKI dan simpatisannya, tak ayal Genjer-genjer jadi lekat dengan partai komunis tersebut.

Setelah G30S pecah dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, Genjer-genjer juga ikut dimasukkan sebagai lagu terlarang di Indonesia oleh Orde Baru.

Baca Juga : Ternyata, Sebenarnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik Saat G30S/PKI

NESTAPA KELUARGA PENCIPTA LAGU

Setelah pemberontakan PKI pecah pada 30 September 1965, Muhammad Arief sang pencipta lagu menghilang.

Seperti dilansir Kompas.com (30/9/2014), keluarga Arief hidup dalam penderitaan karena dicap PKI.

Sinar Syamsi , anak dari Muhammad Arief, mengisahkan, setelah rumah ayahnya di Jalan Kyai Shaleh Nomor 47, Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi, dihancurkan oleh massa pada 30 September 1965, Muhammad Arief pamit keluar rumah.

Belakangan diketahui, ayahnya ditangkap Corps Polisi Militer (CPM).

Syamsi bersama Suyekti, ibunya, kemudian membakar buku-buku bacaan yang berbau aliran kiri milik ayahnya.

Dia bersama ibunya juga sempat menjenguk Muhammad Arief di Markas CPM.

"Bapak ditahan tentara, dan itu terakhir saya bertemu dengan dia. Sempat dengar, katanya bapak dipindah ke Kalibaru, dan dengar lagi bapak sudah dipindah ke Malang," urainya.

Terakhir, ia mengetahui bahwa Muhammad Arief ditahan di Lowokwaru, Malang.

"Teman bapak yang cerita. Sampai saat ini saya tidak tahu bapak ada di mana. Dia tidak pernah kembali," kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Sementara itu, ibunya, Suyekti, yang asli Jawa Tengah, memilih untuk tinggal di Banyuwangi di rumah warisan keluarga.

"Kasihan ibu saya. Stigma sebagai keluarga PKI membuat ia tertekan. Ibu meninggal pada tahun 1997," ujarnya.

Baca Juga : Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI tentang Baku Tembak di Rumah Ahmad Yani

Artikel Terkait