Intisari-Online.com - Malam itu Sobron Aidit mengaku tidak bisa tidur. Ia masih gelisah menunggu abangnya, DN Aidit, memanggilnya.
Waktu itu sekitar Agustus 1965, Aidit sedang melakukan kunjungan ke Beijing, China.
Siang sebelumnya Aidit menyuruh Sobron tidur di tempatnya menginap. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan kepada adiknya itu.
Setelah menunggu semalaman, Sobron baru bisa bertemu abangnya itu besok paginya, saat waktu sarapan tiba. Itu pun tidak berlangsung lama.
Baca Juga : Belum 15 Tahun, DN Aidit Kecil Sudah Melunasi Seluruh Utang Ayahnya di Toko Tionghoa
“Ketika matanya terpancang kepada saya… lalu dia datang ke kursi saya. Dan saya berdiri, kami berpelukan, sudah tiga tahun saya tak bertemu dengannya,” tulis Sobron dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit.
Aidit lalu menggoncang badan adiknya itu, lalu menampar kedua pipinya dengan tamparan manja seorang kakak.
Sejurus kemudian Bang Amat, panggilan akrab Sobron kepada Aidit, bilang, “Apa kabarmu? Bagaimana Wati (istri Sobron) dan dua anakmu…?”
Keduanya lalu menuju ke tempat yang agak terpisah dengan rombongan lain dari Indonesia.
Tak jauh dari situ ada beberapa kursi kosong. Aidit menggamit adiknya itu menuju sebuah kursi kosong.
Di situlah Aidit berbicara kepada Sobron beberapa kalimat.
“Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang… tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini,” kata Aidit.
Ia melanjutkan, “Bekerjalah baik-baik memenuhi tugas yang dipercayakan tuan rumah. Jangan mengecewakan siapa pun, apalagi tuan rumah yang sudah begitu baik kepada kita.”
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR