Find Us On Social Media :

Awas! Ada ‘Tuyul’ Jadi Driver Ojek Online

By Agus Surono, Rabu, 7 Juni 2017 | 15:00 WIB

Dengan aplikasi fake GPS pengemudi ojek online bisa lebih cepat memperoleh pelanggan.

Intisari-Online.com – Tentu yang dimaksud tuyul di sini bukanlah tuyul yang berbau mistis. Sekarang kan sudah abad digital.

Untuk memberi gambaran soal tuyul ini, kira-kira begini kisahnya.

Kita sebagai konsumen ojek online (daring) mau memesan ojek. Dari layar aplikasi kita melihat ada pengojek yang posisinya tak jauh dari dirinya. Kita bisa memperkirakan kira-kira berapa lama harus menunggu.

Namun ternyata pengojek yang sudah menerima order kita itu datang lebih lama yang diperkirakan. Bahkan bisa tiga kali lipat dari perkiraan kita.

Lalu, saat sudah membonceng di jok belakang, kita pun iseng bertanya. “Kok lama sekali Bang? Bukankah dari tempat mangkal ke tempat saya order tak sampai lima menit. Ini kok hampir 20 menit.”

Pengojek itu pun lalu bercerita bahwa ia sebenarnya masih di rumah yang cukup jauh dari tempat kita mengorder.

“Yang mangkal tadi tuyul itu,” kata si pengojek tersenyum.

Jadi, tuyul ojek daring hanya istilah atau sebutan yang merujuk pada aplikasi tambahan yang dipasang pada ponsel pengojek, seperti aplikasi Fake GPS dan beberapa aplikasi pendukung lainnya.

Pro dan kontra mengenai "tuyul" tersebut sampai saat ini masih cukup sering menjadi perbincangan oleh sebagian besar pengemudi ojek daring. Bahkan tak jarang menimbulkan perdebatan di antara mereka yang pro dan yang kontra tersebut.

Mereka yang pro berpendapat bahwa dengan menggunakan tuyul bisa membuat pengemudi tidak perlu lagi ngetem di pinggir jalan, stasiun, mal, dan lain sebagainya yang tak jarang menyebabkan terjadinya kemacetan. Fenomena ojek daring mangkal ini sudah bisa kita lihat di seputaran pusat keramaian.

Sedangkan salah satu alasan atau pendapat yang juga sering dilontarkan oleh mereka yang kontra adalah bahwa penggunaan tuyul bisa merugikan pengemudi yang polos (tidak pakai tuyul). Karena misalnya pengemudi yang polos tersebut sudah lama ngetem di sebuah lokasi seperti mal atau stasiun namun orderan tak kunjung masuk, karena keduluan oleh mereka yang menggunakan "tuyul".

Hal tersebut dikarenakan titk GPS pengguna "tuyul" terbaca lebih dekat dengan lokasi pelanggan yang order, meskipun sebenarnya pengemudi yang menggunakan tuyul tersebut tidak berada di titik tersebut. Seperti dalam cerita di awal.

Menurut seorang pengemudi Grab, penggunaan tuyul sendiri sebenarnya menyalahi atau melanggar aturan atau kode etik dari perusahaan. Bisa juga dengan perusahaan lainnya seperti Gojek dan Uber. Hal tersebut juga bisa menyebabkan akun pengemudi di suspend ataupun putus kemitraan. Jadi, pengemudi juga harus siap dengan segala resiko yang terjadi dengan penggunaan aplikasi "fake GPS" atau tuyul tersebut.

Butuh modal modem 4G

Seperti diceritakan Kuswanto (33), seorang pengojek daring kepada kompas.com, "Sekarang makin banyak yang melihara tuyul. Itu ngurangin jatah kita yang pakai paket standar."

Untuk memelihara tuyul memang butuh modal. Kalau tidak memakai ponsel yang sudah menggunakan menangkap sinyal 4G, ya menggunakan modem 4G. Sebab, dengan modem internet berkecepatan tinggi, mereka dengan cepat menangkap pesan ketimbang yang menggunakan paket internet standar dari provider GSM.

Penggunaan layanan internet yang berbeda tersebut berpengaruh pada kemampuan menjaring para pengorder. Pasalnya, para pengojek berbasis aplikasi lebih memilih order yang bernominal tinggi, khususnya order di atas Rp 50.000.

Ibarat sedang memancing ikan, kata Kuswanto, pengojek menyebut order besar dengan istilah "kakap" atau "paus". Sedangkan order dengan nominal di bawah Rp 50.000 dengan sebutan "teri".

"Kalau cuma teri, biasanya diabaikan. Kecuali kalau sepi banget, baru ambil," ujar Kuswanto.

Untuk order kakap, kata Kuswanto, lebih mudah masuk ke ponsel pengojek yang menggunakan modem 4G. Mereka berpendapat, jika menggunakan modem, peluang untuk mendapat order kakap juga lebih Besar. Hal itu karena pemilik ponsel yang menggunakan paket internet standar hanya kebagian order teri.

"Soalnya rebutan, Bang. Mirip cerdas cermat. Mencet tombol ordernya harus cepat. Tapi gimana mau mencet, kalau ordernya telat masuk (ke aplikasi)," ujar Kuswanto sambil tertawa.

Hal tersebut juga diamini pengojek lainnya, Fahri (25). Warga Bekasi itu rela merogoh kocek lebih untuk membeli modem 4G. Sebab, paket internet standar dari provider berpengaruh pada order yang terlambat masuk.

"Ordernya kan muncul per 30 detik. Kalau paket (internet) biasa, nongolnya teri, jarang kakap karena masuknya lama. Tapi, kalau yang pake tuyul (modem), masih banyak order kakap yang masuk," ujar Fahri.

Fahri mengatakan, beberapa pengojek ada yang membeli modem untuk dirinya sendiri, ada juga yang membeli secara patungan dan dipakai beramai-ramai.

"Enaknya bisa pakai ramai-ramai, maksimal sepuluh orang. Tapi, kalau sudah ambil order, modemnya tinggal. Paling yang pegang yang patungan paling mahal," ujarnya.

Meski demikian, tak sedikit dari pengojek yang tetap bertahan dengan paket internet standar. Dengan pertimbangan, harga modem 4G yang dinilai mahal dan layanan sinyal yang tidak memfasilitasi seluruh wilayah.

"Ada teman yang ngajak patungan beli tuyul (modem), tapi saya belum mau, mahal. Lagian, kadang-kadang sinyalnya suka hilang di tempat-tempat tertentu," kata seorang pengojek, Burhan.

Burhan tidak mempermasalahkan jika dia hanya mendapat order teri. "Enggak masalah, kan rezeki Allah yang atur. Jalani aja ikhlas," ucapnya.

Alasan Burhan itu sejalan dengan alasan orang zaman dulu yang tak mau memelihara tuyul alias pesugihan. Rezeki sudah ada yang mengatur.