Penulis
Intisari-online.com- Secara umum glaukoma terbagi menjadi glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma primer biasanya terjadi tanpa diketahui penyebab pastinya.
Namun kemungkinan besar adalah faktor keturunan.
Sebaliknya, glaukoma sekunder bisa diketahui penyebabnya.
Misalnya akibat trauma (kecelakaan), katarak yang terlalu tebal, tumor, diabetes, dan penggunaan obat-obatan yang mengandung stereoid.
(Baca juga:Tragis! Gara-gara Telur Ulang Tahun, Mata Pemuda 19 Tahun Ini Jadi Buta)
Disebutkan risiko tertinggi terjadi pada orang yang berusia di atas 40 tahun. Tetapi, glaukoma juga bisa terjadi pada bayi dan anak-anak karena gangguan perkembangan organ mata.
Untuk mengenali glaukoma pada bayi dapat dikenali melalui pengamatan terhadap bentuk bola mata bayi.
Ciri-ciri glaukoma kongenital (glaukoma pada bayi) adalah bola mata lebih lebar, mata berair, dan pandangannya tidak fokus.
Jika tekanan bola mata yang tinggi ditemukan lebih cepat, kemungkinan besar glaukoma masih bisa dikendalikan dengan terapi obat-obatan.
Pengendalian lainnya bisa dilakukan dengan laser glaukoma. Jika glaukoma ternyata lebih parah, maka penanganannya dilakukan dengan operasi.
Proses perburukan pada setiap penderita glaukoma berbeda.
Tergantung pada tingginya tekanan bola mata dan kerusakan yang diakibatkannya. Karena itu sekali lagi, lebih cepat lebih baik untuk mendeteksi kondisi tidak normal tekanan bola mata.
Jika sudah terjadi kerusakan saraf, operasi glaukoma dilakukan bukan untuk memperbaiki saraf tersebut. Namun untuk mengontrol dan mengendalikan tekanan bola mata yang terlalu tinggi.
Sehingga perburukan penglihatan dapat dicegah dan kerusakan saraf mata tidak bertambah berat. Karena itu, penderita glaukoma memang harus berhubungan dengan dokter mata seumur hidupnya.
(Baca juga:Glaukoma, si Pencuri Penglihatan yang Wajib Selalu Diwaspadai)
“Mirip dengan penderita hipertensi dan diabetes yang harus mengontrol makanan dan minum obat seumur hidup, jika terkena glaukoma juga sama, mereka harus menjalani terapi kontrol seumur hidup,” kata dr. Zeiras Eka Djamal, SpM, dari Jakarta Eye Center Kedoya, Jakarta Barat.
Bagi kita yang tidak memiliki faktor risiko seperti diabetes misalnya, tidak bisa mengupayakan apapun untuk menjaga agar tekanan bola mata tetap normal. Satu-satunya cara menjaganya adalah dengan pemeriksaan tekanan mata berkala.