Find Us On Social Media :

Kerbau Bule Kiai Slamet yang Diarak di Malam 1 Suro, Kotoran dan Kutunya pun Diburu karena Dianggap Sakti

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 4 September 2018 | 17:00 WIB

Dianggap sudah jadi sejoli, tombak Kiai Slamet tidak mungkin dikirabkan tanpa kawalan Kiai Slamet yang kerbau. Dengan kata lain, tanpa Kiai Slamet dan anak bininya, bagaimanapun kirab tak bisa dilaksanakan.

Beberapa kali pernah terjadi, upacara kirab terpaksa batal gara-gara Kiai Slamet ngadat, mendadak tak mau ikut arak-arakan.

Anehnya, setiap kali hal ini terjadi, ada saja musibah yang menimpa keraton. Pernah suatu kali kirab tak bisa dilaksanakan, tahu-tahu Sri Sunan PB XII mendapat kecelakaan lalu-lintas dalam perjalannya ke tempat bermain boling.

Konon, kebakaran besar yang menghanguskan Keraton Solo beberapa tahun yang lalu juga terjadi pada hari yang sama dengan gagalnya upacara kirab yang seharusnya dilaksanakan.

RAJA-RAJA JAWA KETURUNAN PETANI

Bukan hal yang aneh kalau orang menganggap kerbau milik keraton bisa membawa berkah. Dalam kebudayaan Jawa tradisional, semua hal yang punya hubungan dengan raja, entah itu orang, binatang ataupun barang, diyakini punya kesaktian dan bertuah.

Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan mungkin adalah mengapa Keraton Solo sampai memelihara kerbau, jenis hewan yang sesungguhnya jauh dari citra kekuasaan dan keagungan sebuah keraton.

Kerbau 'kan selalu dianggap hewan berharkat rendah, perlambang kebodohan. Ia lebih lazim dipelihara kaum tani ketimbang para raja.

Budayawan Solo, KRT Hardjonagoro alias Go Tik Swan, punya hipotesis menarik tentang asal-muasal dipeliharanya kerbau di Keraton Solo. Menurutnya, kebudayaan keraton-keraton di Jawa sesungguhnya berakar pada kebudayaan petani.

Nenek moyang yang menurunkan dinasti-dinasti raja Mataram, seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Selo dan sebagainya, adalah kaum petani.

Begitu keturunan para petani ini berkuasa dan menjadi raja, dengan sendirinya kebudayaan petani yang terwarisi ikut terbawa masuk ke dalam lingkungan keraton.

Hanya saja lalu diperhalus dan diperindah, disesuaikan dengan citra raja dan keraton.

Kerbau Kiai dan Nyai Slamet, misalnya, yang tadinya hanya penarik bajak biasa dari Ki Ageng Selo, kemudian diangkat statusnya menjadi semacam maskot penjaga benda-benda pusaka.

Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1989

Baca juga: (Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi