Larangan Menikah di Bulan Suro Bukan Hanya tentang Buang Sial, tapi Ada Maksud Lain di Baliknya

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Pantangan itu bukan hanya pernikahan, tetapi juga hajatan lain termasuk pendirian rumah, sunatan, pindah rumah dan lainnya.

Intisari-Online.com - Pada beberapa kalangan masyarakat Jawa, bulan Suro (atau dalam penanggalan Islam disebut Muharram)dianggapsalah satu bulan yangdikeramatkan.

Hal itu membuat beberapa masyarakat Jawa pantang untuk melakukan beberapa hajatan, salah satunya pernikahan.

Mereka menganggap jika hal ini dilanggar akan ada nasib buruk di waktu mendatang.

Lalu, bagaimana kepercayaan tentang pantangan menikah di bulan Suro ini bermula?

Baca juga:Sejarah Malam 1 Suro Kenapa Dianggap Punya Makna Mistis dan Misterius

Soal pantangan menikah di bulan Suro, pengamat budaya Jawa, Han Gagas, memberi keterangannya.

Melalui WhatsApp Han Gagas menjelaskan, menurut kepercayaan Hindu, dikisahkan Suro dikuasaiBatara Kala. Suro adalah penguasa waktu yang menjalankan hukum karma atau sebab akibat.

"Suro, dewanya Batara Kala, yang suka makan manusia, dalam arti nasibnya. Sehingga buruk nasibnya,"kata Han Gagas.

"Untuk itu, hal tersebut harus dihindari agar auranya menjadi baik," tambahnya.

Dijelaskan bahwa Suro suka makan manusia (dalam arti nasib), sehingga dipercaya apabila menyelenggarakan hajatan di bulan Suro akan menghadapi nasib yang buruk.

Akan lebih baik jika hajatan di bulan Suro tersebut dihindari agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Han Gagas menambahkan bahwa pantangan itu bukan hanya pernikahan, tetapi juga hajatan lain termasuk pendirian rumah, sunatan, pindah rumah dan lainnya.

Baca Juga:Sering Dianggap Unggul, Ternyata Teknologi dan Militer Nazi Jerman Tak Sehebat yang Kita Kira

Menikah di bulan Suro memang sebuah pantangan untuk menghindari nasib buruk, namun bukan berarti menggelar resepsi pernikahan di bulan ini juga dilarang.

Han Gagas mengatakan, "Tetapi, kalau nikah ijab kobul sebelum Suro, lalu pesta resepsi syukuran bulan Suro bisa."

Tak melulu dikaitkan pada kepercayaan Hindu, namun ada maksudlain di balik pantangan menikah di bulan Suro.

Han Gagas berkata, "Budaya Suro bisa dianggap bulan spiritual sehingga waktunya untuk ibadah dan membersihkan dari sifat, sikap, watak nafsu angkara, aluamah, sufiyah, mutmainah, dan bisa dianggap sebagai bulan rehat dan refleksi renungan, bukan untuk membuat hajat yang berdampak pada pengeluaran keuangan terlalu banyak."

Hal ini tentubermakna bahwa di bulan spiritual ini, alangkah lebih baik jika menggunakannya untuk beribadah, untuk merehatkan diri dari hingar-bingar dunia, bahkan untuk merenungkan kehidupan agar berjalan lebih baik.

Sedangkan, jika hajatan pernikahan atau hajatan lain digelar, masyarakat akan cenderung mengeluarkan biaya yang banyak untuk hajatan tersebut.

Hal ini tentu membuat bulan spiritual tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena kesempatan untuk beribadah dan renungan berkurang atau malah hilang sama sekali berganti dengan pesta hajatan.

Selain darisegi spiritual, pantangan menikah di bulan Suro bisa pula dikaitkan dari segi sosial dan ekonomi.

Baca Juga:Fakta Unik Geisha, Wanita Penghibur Jepang: Makin Tua, Tarifnya Makin Mahal!

"Orang Jawa perlu let(jeda), termasuk kondisi keuangan. Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif. Ini versi yang modern ke manajemen uang," tambahnya.

Dalam masyakarakat Jawa, menikah bisa dilakukan sepanjang tahun, kecuali pantangan pada bulan Suro.

Hal ini dikaitkan dengan adanya rehat dari pengeluaran untuk biaya hajatan, bukan hanya dari pihak penyelenggara, tetapi untuk orang yang menghadiri hajatan.

Jika tak ada rehat dalam satu bulan, dipastikan sepanjang tahun masyarakat akan mengadakan atau menghadiri hajatan, sehingga perlu kerja yang lebih keras untuk memenuhi pengeluaran tersebut.

Hal itu tentu membuat orang sebal karena menghadiri hajatan pernikahan atau hajatan lain yang tak ada hentinya.

Beda halnya jika ada rehat satu bulan, dengan begitu akan ada uang yang bisa disimpan.

Sesungguhnya, jika semua hal itu dilakukanakan masuk dalam kearifan lokal karena akan memunculkan toleransi, meningkatkan spiritual, atau lebih memahami keadaan sekitar.

Bahkan, dalam Islam, ada sunah untuk berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram (Suro).

Hal ini mengindikasikan bahwakita bisa mengambil hikmah dari puasadengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu, bukannya membuat hajatan pesta.

Selain itu pada puasa, kita juga dapat belajar untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak berlebihan.

Apa pun perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang pantangan hajatan di bulan Suro, semuanya memiliki tujuan yang baik.

Baca Juga:Fabius Maximus Hanya 6 Bulan Jadi Diktator Romawi tapi Sukses Bentuk 2 Legiun Baru

Artikel Terkait