Punya Banyak Peran Besar dalam Perang, Intelijen Militer (Seharusnya) Juga Mampu Cegah Serangan Teroris

Ade Sulaeman

Penulis

Ledakan di Terminal Kampung Melayu

Intisari-Online.com - Berkat informasi intelijen yang sangat akurat upaya untuk meraih kemenangan tempur yang semula dianggap tidak mungkin atau mustahil bahkan bisa ditempuh secara sederhana tapi cerdas sehingga hasil yang bisa dicapai benar-benar optimal.

(Baca juga: Terjadi Dua Ledakan di Terminal Kampung Melayu, Diduga Aksi Bom Bunuh Diri, Lalu Lintas Bus TransJakarta pun Dialihkan)

Motto yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang tidak realistis menjadi masuk akal, rupanya perlu diterapkan dalam kinerja seorang intelijen demi melaksanakan tugas yang kadang merupakan mission imposible itu.

Sebagai contoh kasus ketika pasukan Sekutu berencana melancarkan operasi tempur untuk membebaskan Perancis (Operation Overlord) berdasarkan masukan intelijen ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar operasi tempur secara besar-besaran (D’Day) melalui pendaratan pasukan amfibi itu berlangsung lancar.

Pertama, operasi tempur harus memperhatikan cuaca yang berpengaruh terhadap gelombang laut.

Jangan dipilih ketika gelombang laut sedang tidak ganas karena gelombang yang sedang tenang justru sudah diprediksi oleh musuh sebagai waktu yang tepat untuk melancarkan operasi amfibi.

(Baca juga: Sejarah Aksi Bom Bunuh Diri: Ada yang Jadi Pahlawan, Ada Pula yang Mengganggu Ketenteraman)

Jadi supaya musuh terkecoh laksanakan operasi pendaratan amfibi saat cuaca buruk tapi masih bisa ditoleransi karena dalam cuaca buruk itu musuh tidak berpikir akan diserang dan akibat cuaca buruk itu kesiagaan musuh biasanya melemah.

Akibat cuaca buruk juga akan membuat pesawat-pesawat musuh tidak terbang sehingga operasi pendaratan amfibi lolos dari serangan udara.

Kedua, panglima perang Nazi Jerman yang saat itu bertanggung-jawab terhadap pertahanan semua garis pantai di Perancis adalah Marsekal Erwin Rommel yang dikenal sebagai panglima berpengalaman dan telah membuat pertahanan pantai yang sangat kuat, Atlantic Wall.

Mersekal Rommel juga dikenal sebagai komandan pasukan lapis baja yang brillian dan merupakan tokoh kunci kemenangan pasukan Nazi di berbagai front khususnya Eropa Barat dan Afrika Utara melalui taktik serbuan kilatnya (blitzkrieg) pada awal PD II (1941-1942).

Melalui tim intelijennya, para petinggi pasukan Sekutu kemudian mempelajari semua perkubuan yang digelar pasukan Jerman di sepanjang garis pantai Perancis melalui pemotretan udara.

(Baca juga: Ada ‘Gaya ISIS’ dalam Ledakan di Konser Ariana Grande yang Diduga Berasal dari Bom Bunuh Diri)

Tim intelijen juga mempelajari karakter dan mental serta kebiasaan Marsekal Rommel yang dikenal sangat disiplin dan cerdas itu. Hasil foto-foto pemotretan udara menunjukkan bahwa pantai yang aman untuk melancarkan operasi amfibi pasukan Sekutu adalah Pantai Normandia.

Sedangkan hasil penelusuran secara psikologis oleh tim intelijen terhadap karakter Rommel adalah pada tanggal 6 Juni 1944, Jenderal kesayangan Hitler itu dipastikan pulang ke Jerman untuk merayakan hari ulang tahun istrinya.

Berdasarkan perhitungan intelijen yang sangat matang bahwa pertahanan pasukan Jerman akan melemah ketika cuaca sedang memburuk dan panglima tertingginya sedang tidak memegang kendali komando, serta pilihan lokasi serbuan amfibi yang tidak diduga musuh, pasukan Sekutu akhirnya sukses melancarkan Operation Overlord.

Operasi pendaratan amfibi yang semula dianggap imposible menjadi operasi yang sukses dilaksanakan sekaligus menjadi pijakan untuk meraih kemenangan dalam PD II.

Contoh lain betapa peran intelijen militer berfungsi sangat luar biasa terhadap pencapaian tertinggi adalah Serangan Umum Maret 1949 di Yogyakarta.

Serangan yang terencana baik itu tidak bisa terlaksana tanpa peran Keraton Yogykarta yang telah menjalankan fungsi intelijennya tanpa diketahui militer Belanda.

Semua rencana serangan militer besar-besaran yang bertujuan membangun opini dunia untuk mengakui kedaulatan RI itu tidak akan terlaksana tanpa restu dari penguasa Keraton Yogyakarta, Sultan HB Ke-9.

Secara politik internasional pada tahun 1949 Belanda memang tidak mau mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan dianggap masih merupakan jajahannya.

Tapi sebagai negara kerajaan, Pemerintah Belanda juga sangat menghargai Keraton Yogyakarta, dan khusus untuk wilayah Keraton yang ada di dalam benteng Keraton, pasukan Belanda tidak akan mengintervensi.

Secara politis, Belanda bahkan memberlakukan wilayah dalam keraton (Njeron Beteng) sebagai wilayah “merdeka”. Sikap Belanda yang sangat menghargai Keraton Yogyakarta, khususnya Sultan HB Ke-9, secara politis dan intelijen diharapkan agar Keraton Yogyakarta proaktif terhadap Belanda sekaligus memberi dukungan terhadap agresi militernya.

Namun, para intelijen militer Belanda ternyata keliru. Meskipun diperlakukan secara khusus, sebagai Raja Keraton Yogyakarta, Sultan HB Ke-9 ternyata mendukung RI sekaligus membantu secara maksimal rencana Serangan Umum 1 Maret yang akan dilancarkan oleh TKR (TNI) secara gabungan.

Sultan bahkan turun tangan sendiri untuk melancarkan Serangan Umum dan mengizinkan fasilitas keraton untuk digunakan sebagai tempat pertemuan rahasia dan rapat-rapat intelijen.

Langkah counter intelligent (kontra intelijen) yang dilaksanakan Sultan dan kemudian diaplikasikan oleh pasukan TNI akhirnya menghasilkan operasi tempur gemilang.

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang didominasi pasukan Angkatan Darat berhasil membuka mata dunia internasional (PBB), pasukan Belanda ditarik mundur, dan kedaulatan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 pun pulih ( Mochtar Lubis Dkk : Tahta Untuk Rakyat).

Berdasar pengalaman sejarah kinerja tim intelijen baik dalam PD II maupun Serangan Umum (Perang Kemerdekaan) sebenarnya bisa diterapkan di era terkini demi menghadapi masalah-masalah krusial yang sedang dihadapi oleh negara.

Apalagi peran intelijen militer juga sangat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan tantangan sesuai zamannya. Peran intelijen harus diletakan pada barisan terdepan, sebagai ujung tombak, demi meraih pencapaian tertinggi.

Dengan demikian ancaman serangan dalam bentuk terorisme bisa diantipasi sebelum terjadi dan korban jiwa pun bisa dicegah.

(Agustinus Winardi, kontributor pada Majalah Angkasa dan Intisari)

Artikel Terkait