Penulis
Intisari-online.com - "Good morning," sapa saya ke para perawat yang sudah bersiap akan pulang. Waktu menunjukkan pukul 21.00.
Sapaan "good morning" biasa kami – para perawat yang bertugas shift malam – ucapkan sebagai bahan candaan, karena waktu kerja kami baru saja dimulai.
Untuk beberapa orang malah ada yang baru saja bangun dari tidurnya seharian. We're the night owls, the nocturnals.
Lalu saya duduk di ruang handover, mendengarkan kejadian dari para pasien hari ini, hal-hal yang mesti dikerjakan malam ini, serta instruksi-instruksi khusus yang harus dikerjakan untuk masing-masing pasien. “Ny. Smith (nama disamarkan) di kamar 214, berumur 91 tahun dirawat sejak minggu lalu karena infeksi paru-paru."
"Pernah mengidap sakit PE (emboli paru-paru), COAD (chronic obstructive airways disease, penyakit pernapasan yang biasanya akibat merokok), mantan perokok, DVT (deep vein thrombosis, penggumpalan darah di kaki), tekanan darah tinggi, kanker paru-paru, pikun dan statusnya NFR (not for resuscitation).“
“Beliau sudah menolak makan, minum dan obat sejak hari Rabu. Memakai selang oksigen untuk 3 liter, dan morfin untuk membuatnya tenang. Beliau merespons suara tapi lebih banyak tidur, dan keluarganya sudah paham akan keadaannya yang makin memburuk."
"Anak perempuannya tinggal sekitar satu jam dari sini, dan minta dikabari kalau saatnya sudah dekat.“
Sejurus kemudian, kami, para perawat saling berpandangan. Menghubunginya ketika saatnya sudah dekat? Dan Kepala Perawat yang bertugas sebelum kami itu mengangguk lagi.
“Ya, saatnya sudah dekat.” Dengan kata lain, anak perempuan dari pasien yang sekarat itu tahu ibunya sedang sekarat tapi hanya minta dikabari pada saat ibunya hampir menghembuskan napas terakhir. Oh dear.
NFR atau Not For Resuscitation, artinya pasien sudah menandatangani pernyataan apabila keadaannya memburuk, misalnya sekarat atau kena serangan jantung (cardiac arrest), maka pasien tidak bersedia untuk dibantu apa pun.
Biasanya ini terjadi pada pasien yang sudah sangat tua, karena intervensi yang berlebihan malah membuat akhir hidup mereka lebih menderita.
Mereka berhak menolak obat-obatan dan penangangan medis jika sudah dekat waktunya dengan kematian. Seperti Mrs. Smith ini. "Menurutmu bagaimana?" tanya saya kepada seorang perawat yang sudah senior tentang kondisi Mrs. Smith.
AROMA ORANG AKAN MENINGGAL
Mereka yang sudah kerja bertahun-tahun, biasanya lebih ahli dalam menebak kapan seorang pasien akan meninggal.
Selain dari penampakan klinis, katanya orang yang mau meninggal itu akan mengeluarkan aroma tertentu.
Seperti apa aromanya, katanya susah diterangkan. Makanya, ada cerita kalau hewan-hewan biasanya lebih dapat mengetahuinya, karena penciumannya yang tajam. “Kemungkinan, malam ini,” jawab perawat itu.
Singkat cerita, saya tidak kebagian Mrs. Smith sebagai pasien saya. Tapi karena malam itu cukup sibuk, saya sering diminta tolong menengok Mrs. Smith setiap setengah jam sampai satu jam sekali.
Tugas menengok ini pun sebenarnya sedih sekali : memastikan apakah dia sudah meninggal atau belum.
Setiap saya datang menengok, di tengah kegelapan ruangan, saya membawa senter dan mendekatkan wajah saya ke wajah Mrs. Smith.
Masih adakah napas yang keluar masuk. Lalu saya lihat dadanya, masih naik turunkah. Lalu saya pegang kulitnya, sudah dingin atau masih hangat. Lalu saya mengecek popoknya dan selang oksigennya.
Saya panggil namanya, tapi Mrs. Smith sudah seperti ada dan tiada. Mulutnya terbuka lebih lebar setiap mengambil napas.
Berat, dan napasnya sudah satu-satu. Jarak antara napas satu dan berikutnya sudah cukup lama. Matanya tertutup, tangannya mengepal.
Lalu saya keluar ruangan untuk mengurus delapan pasien yang lain. Saya sedih.
Andai keluarga Mrs. Smith seperti keluarga-keluarga pada umumnya di Indonesia, mungkin mereka sudah menunggui Mrs Smith malam ini.
Anak-anak dan keluarga terdekatnya pasti sudah bergantian menuntunnya untuk mengucap kalimat doa, atau talqin untuk orang Islam.
Mereka akan memegang tangannya, dengan air mata membasahi bajunya, dan ruangan akan hangat dengan kerabat yang mendoakan kesembuhan jika Tuhan memang berkehendak.
Atau merelakan kepergian dengan tenang jika memang hari itu adalah hari terakhirnya.
TIDAK BERGEGAS
Tak terasa malam terus bergulir. Sekitar pukul 03.00, koridor bangsal saya tiba-tiba terasa sepi. Dua rekan saya tidak terlihat.
Saya masuk ke satu2 ruangan untuk mencari mereka. Ternyata keduanya ada di ruang Mrs. Smith. "She's gone," kata mereka sewaktu saya masuk ke ruangan. “Baru saja.”
“Kami sudah menelepon putrinya tadi sekitar tengah malam, katanya dia akan datang. Sekitar sejam lalu kami telepon lagi, dia masih di rumah, katanya sedang bersiap-siap,” tutur rekan perawat saya itu. Jleb. Makin miris mendengarnya. Sudah diberi tahu bahwa ajal ibunya sudah semakin dekat, namun putrinya tak segera bergegas.
Ah, tapi apalah saya ini sudah menghakimi dia. Mungkin ada cerita-cerita yang saya tidak tahu. Saya buang jauh-jauh prasangka itu. Sekarang tinggal mengurus jenazah Mrs. Smith. Kami membersihkan tubuhnya, mengelap dengan air hangat dan sabun.
Kami gantikan bajunya dengan baju yang bersih, kami sisir rambutnya dan merapikan barang bawaannya ke dalam tas. Lalu menelpon kamar jenazah untuk mengatur pengambilan jenazah.
Kami juga menelpon dokter untuk datang menandatangani surat kematiannya. Mengurus dokumentasi discharge untuk administrasi rumah sakit.
Pasien yang lain jadi agak terabaikan karena kesibukan ini. Untungnya kondisi pasien yang lain tidak ada yang kritis dan membutuhkan perhatian khusus.
Mendekati pukul 06.00, petugas dari kamar jenazah datang, membungkus Mrs. Smith ke dalam kantung jenazah dan membawanya ke ruangan yang memiliki pendingin.
Saya sudah sibuk dengan rutin pagi dengan pasien saya yang lain. Obat, cek tekanan darah, membantu ke toilet, ada yang minta mandi pagi-pagi. Dan akhirnya pukul 07.30 saatnya saya bersiap pulang.
"Apakah putrinya sudah datang?" tanya saya kepada salah satu perawat sesaat sebelum melangkah keluar ruangan.
"Belum. Sudah saya telepon dan dia bilang dia akan langsung ke kamar jenazah saja pagi ini.”
Rasanya begitu berat langkah saya menuju ke mobil. Apalagi setelah menyaksikan sebuah drama tentang akhir hidup yang sepi untuk Mrs. Smith. Kasihan.
Seandainya putrinya itu tahu bagaimana rasanya seseorang yang menghadapi sakaratul maut. Dan seandainya putrinya tahu bahwa tugas terakhirnya sebagai anak adalah menuntun orang tuanya saat mengembuskan napas terakhir.
Ah, tapi sudahlah. Just another day at work. Time to go home now.
(Dikisahkan oleh Nungky Sari, seorang perawat Registered Nurse (RN) berkewarganegaraan Indonesia yang pernah bertugas di beberapa rumah sakit di Australia di Melbourne)