Penulis
Intisari-Online.com -Nama Klender, Jakarta Timur, sedang ramai dibicarakan. Sebuah kebakaran hebat terjadi di stasiun di wilayah itu Jumpat (19/5) pagi. Meskipun tak memakan korban, kebakaran ini sukses menghanguskan 10 ruanga yang adadi stasiun itu.
Pada masa revolusi fisik, Klender adalah wilayah yang strategis. Banyak jawara Klender yang memainkan peran utama dalam Revolusi 1945 di Jakarta dan sekitarnya.
Salah satu nama legendaris adalah Haji Darip.
(Baca juga:Kebakaran di Stasiun Klender, 10 Ruangan Hangus, Sonder Korban Jiwa)
Tak banyak literatur yang mengulas tentang sosok ini. satu dari sedikit literatur adalah Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1946 karya Robert Cribb.
Haji Darip adalah sosok yang unik sekaligus misterius. Perannya bagi perebutan kota Jakarta dari Belanda dan Jepang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Bersama kelompok bawah tanah yang ia pimpin, sosok Haji Darip menjadi kekuatan yang menakutkan bagi tentara kolonial; baik itu Belanda dan atau Jepang.
Meskipun cuma sekilas saja Cribb memunculkan sosok kharismatik asal Klender ini, tetap tidak menghilangkan peran besar sang haji di antara nama-nama beken kaum revolusioner lainnya.
Haji darip terlahir dengan nama Muhammad Arif. Ia berasal dari keluarga ulama tradisional Betawi, tepatnya Klender. Lahir dari pasangan Haji Kurdin dan Hj. Nyai, Haji Darip merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Sebagai anggota dari keluarga ulama tradisional, Haji Darip tidak mengenal pendidikan formal membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis justru dia dapatkan saat berada di penjara, dan sebagian lainnya belajar dari teman-temannya.
Sebagai keluarga ulama, Haji Darip kecil tentu tidak lepas dari pelajaran-pelajaran agama. Meskipun demikian, tidak ada sumber yang jelas mengenai riwayat pendidikan dan kepada siapa ia berguru agama.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Haji Darip pernah menimba ilmu di Mekah.
(Baca juga:Keberadaan Rumah Bordil saat Batavia Batu Berdiri)
Seperti kebanyakan orang Indonesia yang memilih belajar di Mekah, Haji Darip selama kurang lebih dua tahun menetap di kota kelahiran Nabi Muhammad itu.
Sepulang dari Mekah, Haji Darip memulai aktifitas berdakwahnya. Tidak berlebihan jika Ahmad Fadli memasukkan nama Haji Darip dalam daftar Jaringan Ulama Betawi yang berkontribusi terhadap penyebaran Islam abad 19-20.
Selain berdakwah, Haji Darip juga terlihat mulai getol dalam perjuangan melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Cribb dalam buku itu menyebut Haji Darip sebagai berikut: Darip adalah putra pemimpin “gerombolan” setempat yang sangat terkenal.
Mengamini apa yang dikatan oleh Akhmad Fadli, Cribb memperjelas status Haji Darip sebagai seorang ulama lokal.
Soal berapa lama Haji Darip berada di Mekah, Cribb mempunyai versi yang berbeda dengan Fadli. Ia menyebut Haji Darip berada di Mekah selama tiga tahun sebelum akhirnya kembaki ke Klender.
Sembari berdakwah, Haji Darip bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api pemerintah.
Selain itu, Darip juga aktif dalam perdagangan di tingkat lokal. Masyarakat sekitar mengenal Haji Darip sebagai sosok pemuka agama yang mempunyai kekuatan memberikan jimat dan kekebalan kepada para pengikutnya.
(Baca juga:Oey Tamba Sia, Palyboy Jutawan dari Batavia)
Pada 1923 ia memimpin sebuat pemogokan buruh kereta api di Jakarta, akan tetapi, karena sedikitnya massa dan kurangnya dukungan dari kaum nasionalis, gerakan ini segera dipadamkan, dan Jakarta kembali aman.
Meskipun demikian, Haji Darip tidak lantas terbuang dari Jakarta dan komunitasnya. Sepertinya, kegagalan ini menjadi pelajaran berharga bagi pergerakan bawah tanah yang banyak berafiliasi dengan tokoh nasionalis garis keras.
Untuk memperkuat jaringannya, Haji Darip membentuk Barisan Rakyat Indonesia, yang lebih sering disingkat dengan BARA.
Dengan organisasi ini, Haji Darip melakukan pengawasan ketat di wilayah jalanan Jakarta bagian barat. Sekali lagi, ia berhasil memadukan kriminalitas dan patriotisme hanya dengan melakukan penjarahan terhadap pada pedagan dari Cina, Eurasia, dan tentunya Eropa.
Bagi Darip dan kelompoknya, barang siapa yang berkulit agak terang dari kulit kebanyakan maka “halal” baginya untuk dirampok dan dijarah habis-habisan.
Selain itu, orang-orang Indonesia Timur macam Ambon dan Maluku juga boleh dirampok. Alasannya cukup klise, karena kebanyakan dari mereka menjadi antek (baca Marsose) bikinan pemerintah Kolonial Belanda.
(Baca juga:Bohong atau Tidak? Mari Kita Ketahui Lewat Gerak Tubuhnya!)
Namun, nasib Darip dan orang-orang sekitarnya berakhir dengan sangat ironis. Dunia perbanditan yang “patriotik” tidak tidak selalu berumur panjang.
Nampaknya, konotasi jelek kadung melekat erat di tiap-tiap sendi kehidupannya. Pergantian pemerintahan justru tidak mendatangkan kebahagiaan bagi mereka.
Haji Darip dan kelompoknya disingkirkan dan perlahan dienyahkan. Parahnya lagi, jasa-jasa mereka yang sebenarnya tidak sedikit coba dikaburkan.
Meski demikian, sejarah Indonesia jelas tidak bisa begitu saja lari dari dunia “perbanditan”. Mau tidak mau, dunia bandit telah menjadi salah satu aktor utama segala bentuk perlawanan masyarakat Pribumi kepada pemerintah Hindia-Belanda.