Penulis
Intisari-Online.com - Masa transisi dari pemerintahan yang lama ke pemerintahan yang baru yang terjadi di Indonesia sebenarnya sering diwarnai aksi kekerasan.
Ketika Indonesia dijajah kembali oleh Belanda pada 1948 padahal sudah menyatakan kemerdekaan pada 17Agustus 1945, untuk memperoleh kembali kemerdekaan itu ternyata harus melalui pertempuran yang berdarah-darah.
(Baca juga: Yang Selamat dari Tragedi Trisakti: Kubur yang Sudah Digali Ditutup Lagi)
Soeharto yang kemudian jadi Presiden RI Kedua, merupakan salah satu komandan pasukan gerilya RI yang terlibat pertempuran berdarah melawan pasukan Belanda.
Demikian pula ketika pemerintahan Orde Lama berganti ke pemerintahan Orde Baru, Indonesia diwarnai terlebih dahulu oleh gerakan G-30-S-PKI yang menimbulkan puluhan ribu korban jiwa rakyat Indonesia.
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad merupakan tokoh kunci untuk menumpas gerakan G-30-S-PKI.
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang berlangsung lebih 30 tahun aksi kekerasan juga ada.
Seperti tragedi dalam bentuk peperangan melawan rakyat yang mau memisahkan diri dari RI , yakni aksi gerilya Fretilin di Timor-Timur dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, juga memakan korban jiwa yang cukup banyak.
(Baca juga: Trisakti, Wiji Thukul, & Malala Yousafzai)
Tapi aksi kekerasan yang paling menonjol dan mewarnai pemerintahan Orde Lama dan Orde Reformasi adalah kerusuhan pada 21 Mei 1998 yang terjadi di Jakarta.
Kerusuhan yang juga memakan korban jiwa cukup banyak itu membuat Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke Mesir memutusakn untuk segera pulang ke Indonesia.
Presiden Soeharto terkejut ketika dari pesawat kepresidenan yang sedang terbang di atas Jakarta untuk persiapan mendarat melihat seluruh kota Jakarta mengepulkan asap seperti sedang perang.
Tapi akhirnya Presiden Soeharto memutuskan untuk lengser dari kursi kepresidenan dan diganti oleh BJ Habibie.
(Baca juga: Mun'im Idries Saksi Korban Trisakti)
Soeharto memutuskan lengser untuk mencegah skala kerusuhan sosial menjadi meluas.
Atau dalam strategi politik , Soeharto sudah merasa gagal untuk melaksanakan transisi kekuasaan ke pemerintah yang baru tanpa melalui kekerasan.
Tapi Soeharto tidak mau menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya karena rakyat pasti akan jadi korban.
Pasalnya Pak Soeharto sadar rakyat Indonesia yang sudah “diikat” selama lebih dari 30 tahun itu akan menjadi makin “liar” jika ikatannya tidak segera dilepas.
Jadi intinya transisi kekuasaan dari pemerintah lama kepada pemerintahan yang baru, jika sampai digugat oleh rakyat, cenderung menimbulkan aksi kekerasan.
Oleh karena itu tragedi-tragedi yang sudah terlanjur terjadi terkait transisi pemerintahan, kedepannya harus bisa dihindari.
Tapi itu tergantung dari kedewasaan rakyat dan pemerintah dalam berpolitik terutama dalam mematuhi peraturan hukum negara.