Penulis
Intisari-Online.com – Waktu itu tentu tidak bisa kita bandingkan dengan zaman sekarang: dalam hal fasilitas maupun jumlah shuttlecock yang boleh dipakai.
R. Khoe Tiong Djian, salah seorang pemain bulu tangkis menceritakan pengalamannya di Majalah Intisari edisi Mei 1981.
Namun tanpa "pelopor-pelopor" ini, dunia perbulutangkisan kita mungkin tidak semaju sekarang. Khoe Tiong Djian (71) salah seorang jago bulutangkis zaman itu, menceritakan sejarah perbulutangkisan di Semarang antara 1933 dan4940. Kini ia hanya mengikuti olahraga kegemarannya ini lewat televisi.
Semarang mulai bergerak dalam bulutangkis, kalau tidak salah pada tahun 1933. Pada waktu itu orang masih main di lapangan terbuka (outdoor court) karena lapangan tertutup (indoor court) belum ada, di Semarang maupun kota-kota di sekitarnya seperti Pekalongan, Pati, juana, Brebes, Ambarawa, Magelang, Muntilan dan Sala.
Baca juga: Ini Jadwal Lengkap dan Link Live Streaming Bulu Tangkis Asian Games 2018 Hari Ini
Seringkali permainan bulutangkis dipengaruhi oleh angin, kecuali di waktu malam sebab angin waktu itu tidak begitu banyak dan keras seperti pagi atau sore. Penerangan lampu waktu malam juga tidak begitu sempurna seperti sekarang di Istora Senayan.
Perkataaan "bulutangkis" dan istilah perbulutangkisan seperti tunggal pria, tunggal wanita, ganda pria, ganda wanita, ganda campuran tidak ada tempo dulu.
Yang dipakai istilah dalam bahasa Inggris seperti badminton, men's single (tunggal pria), men's double (ganda pria), mixed double (ganda campuran). Ladies single (tunggal wanita), ladies double (ganda wanita) dan mixed doulbe (ganda campuran).
Dari 21 point turun ke 15
Baca juga: Atlet Kidal Dikatakan Lebih Cerdas, Inilah 5 Atlet Bulu Tangkis Kidal di Indonesia
Perlu saya sebut di sini bahwa untuk ganda putra, ganda putri dan ganda campuran, perhitungan adalah 21 point dan bukan 15 point seperti sekarang. Saya sendiri tidak tahu mulai tahun berapa perhitungan internasional 15 point untuk tiga jenis permainan bulu tangkis ini mulai dilaksanakan di Indonesia.
Saya masih ingat zaman Jepang waktu diadakan pertandingan bulu tangkis untuk merayakan hari ulang tahun Tenno Heika tahun 1944 di Pasuruan. (Jawa Timur) Waktu itu permainan ganda putra/putri/campuran masih memakai 21 point.
(Perhitungan 21 point ini berlanigsung hingga Indonesia bertanding dengan pemain luar negeri - dengan Malaya tahun 50-an. Apalagi setelah aktivitas internasional meningkat awal tahun 50-an, perhitungan 15 point yang memang digunakan dalam kejuaraan All England, dan dalam turnamen-turnamen resmi IBF seperti Piala Uber, Piala Thomas, semakin populer sehingga perhitungan 21 point praktis hilang. Namun, di Asian Games 2018 sudah memakai perhitungan 21 poin kembali – Red)
Berita dalam surat kabar "Djawa Tengah" yang terbit di Semarang bulan Juni 1936 menunjukkan bahwa perhitungan tiga ganda ini masih memakai perhitungan 21. Waktu itu diadakan Open Tournament Badminton Bond Semarang. (B.B.S).
Yang disebut di situ ialah nama Yap Kian Soei (asal Ketanggung Bara dekat Cirebon) juara tunggal putra dan Tan Khoen San (asal Pekalongan) juara ke II. Dalam ganda putra Yap Kian Soei/Yap Kian Ling (kakak beradik) menjadi juara I dan Khoe Tiong Djian (asal Singapura)/Lie Kiem Tjiang (asal Batavia) juara II.
Selain kakak beradik Yap Kian Soei dan Yap Kian Ling, pemain tunggal pria yang kuat ialah Tan Soe Tiong (asal Pati), Tan Khoe San, Oei Tien Hong (asal Pekalongan), Oei Boen Swie (asal Semarang), Lie Kiem Tjiang dan Kwa Poo Tiong (asal Pati).
Pasangan ganda putra kuat adalah Yap Kian Soei/Yap Kian Ling, Khoe Tiong Djian/Lie Kiem Tjiang, Oei Boen Swie/Kho Hok Hiang dan Kwa Poo Tiong/Tjan Ping Kay (asal Pati). Pemain tunggal putri adalah Liem Gwat Ing, Lily Go, Tan Ing Nio dan Sie Kries.
Pemain, ganda campuran adalah Yap Kian Soei/Flora Tee, Khoe Tiong Djian/Liem Gwat Ing dan Lie Kiem Tjiang/Tan Ing Nio.
Baca juga: Rudy Hartono, Maestro Bulu Tangkis 'Buka Kartu' (2)
Dalam Open Tournament Badminton Bond Semarang 1936 yang pertama kali diadakan di Jawa Tengah antara perkumpulan dan sekolah, Chinese English School (C.E.S.), Semarang keluar sebagai juara pertama.
Waktu C.E.S. Semarang mengadakan tour pada tahun 1936/1937 ke beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Pekalongan, Ambarawa, Muntilan, Magelang, Sala dan kota-kota lain, C.E.S. selalu menang dengan angka menyolok dan tidak pernah kalah.
Pada zaman itu Jawa seperti Surabaya belum "terkenal" dalam bidang perbulutangkisan. Di Jakarta sudah ada "jago Betawi" bernama Then Giok Soci dalam tunggal putra. Sayang sekali Yap Kian Soci yang tidak pernah dikalahkan dalam tunggal putra oleh siapa pun di Jawa Tengah, belum pernah berhadapan dengan "jago Betawi" itu.
"Tempo doeloe", shuttlecock yang dipakai mereknya "Crown" dan "Jupiter" bikinan Bumiayu, dekat Tegal. Entah apakah pabrik shuttlecock ini masih ada atau sudah tutup.
Baca juga: Anthony Ginting Cedera Saat Bertanding, Ini 6 Cedera yang Paling Sering Menimpa Atlet Bulutangkis
Raket terbaik dan termahal pada waktu itu adalah merk "Slazenger" dan "Fulcrum", dua-duanya buatan Inggris. Harga raket "Fulcrum" kurang lebih 15 atau 16 gulden, uang Hindia Belanda. Raket "Fulcrum" yang pernah saya pakai kini masih baik, hanya "out of form".
Raket itu saya "wariskan" pada cucu lelaki saya. Harga raket bikinan Jepang hanya 3 gulden waktu itu.
Pelopor serve tinggi
Saya pemain pertama di Jawa Tengah, mungkin juga dari seluruh Indonesia, yang mulai serve tinggi sekali. Saya belajar cara serve tinggi ini, dari pemain Inggris Devlin lewat S.K. Straits Times yang terbit di Singapura.
Devlin terkenal pada tahun 1934an. Di Singapura Devlin 1934 dikalahkan oleh Lauw Kim Fatt yang pernah menjadi juara tunggal di Singapura (zaman Ong Poh Lim/Marjan dari Singapura yang kuat dalam ganda putra).
Devlin mempunyai anak perempuan yang pernah menjadi juara tunggal putri di Inggris beberapa kali dan kalau tidak salah ingat menjadi Ny. Hasham.
Waktu saya mulai serve tinggi, saya disebut “onsportif” karena lawan menghadap matahari, jika main di waktu pagi di lapangan terbuka. Kalau main malam hari mata juga "silau" karena penerangan belum sesempurna sekarang.
Tetapi lama kelamaan pemain meniru serve tinggi saya dan saya tidak disebut "onsportif" lagi. Kecuali serve tinggi, saya serve pendek seperti biasa. Sebelum Devlin datang di Singapura, pemain Singapura belum pernah serve tinggi.
Baca juga: 5 Hal yang Belum Anda Ketahui Tentang Bulutangkis, di Antaranya Senar Raket dari Perut Kucing
Kalau saya melihat pertandingan lewat TV sekarang, selain wasit (umpire) juga ada "service jugde". Dulu wasit juga menjalankan tugas sebagai service judge. Dulu kami hanya memakai dua linesmen, satu duduk di utara lapangan dan yang lain di selatan court, tetapi sekarang ada 6 linesmen, tiga di utara dan 3 di selatan. Cara ini lebih baik.
Dulu dalam permainan ganda putra/putri/campuran, jika satu pemain serve, partnernya harus berdiri di sebelahnya (di kotak lain) tidak boleh seperti sekarang berdiri di tengah-tengah court, satu kaki di kotak kiri dan kaki lain di kotak kanan.
Saya juga pernah melihat dalam permainan ganda putra/putri/campuran, jika satu pemain serve sudah memperoleh 2, atau 4 atau 6 point dan sebagainya (angka genap) bukan saja dia berdiri di kotak kanan, tetapi juga kadang-kadang berdiri di kotak kiri.
Sebaliknya jika pemain memperoleh angka 3 atau 5 atau 7 dan sebagainya (angka ganjil) bukan saja dia berdiri di kotak kiri, tetapi kadang-kadang boleh berdiri di kotak kanan dan serve dari situ. Entah, apa saya keliru melihat di TV.
Pemain sekarang sangat "royal" memakai shuttlecock yang dapat diganti-ganti sampai puluhan biji. Tidak demikian dulu. Kita dalam satu set hanya memakai satu shuttlecock atau paling banyak dua biji, baik dalam permainan tunggal maupun ganda.
Ini dapat dimengerti: karena pada waktu itu tidak dipungut bayaran dari penonton karena pertandingan dilakukan di lapangan terbuka. Penontonnya juga hanya ratusan.
Semua berdiri atau duduk di kursi sekeliling court, tidak seperti sekarang permainan dilakukan di lapangan tertutup (indoor court) dengan kurang lebih 12.000 orang yang membanjiri Istora Senayan, Jakarta. Belum terhitung penonton lewat televisi.
Waktu C.E.S Semarang menjadi juara pertama antar perkumpulan dan sekolah di Jawa Tengah pada Juni tahun 1936, sekolah itu hanya memperoleh piala kecil sekali. Tingginya tak lebih dari 18 cm.
Beda dari piala modern yang mewah, bagus dan mahal zaman sekarang. Tempo dulu benar-benar merasa "miskin" bukan saja dalam pemberian piala tetapi juga dalam pemakaian shuttlecock.
Baca juga: Tontowi Ahmadi Sempat Ogah-ogahan jadi Pebulutangkis Kelas Dunia