Di Tengah Gencatan Senjata, Belanda Hampir Saja Melakukan Agresi Militer Ketiga

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Ketika dilakukan gencatan senjata atas aksi militer kedua yang dilakukan Belanda, ternyata Belanda sebetulnya ingin melakukan aksi militernya yang ketiga.

Intisari-Online.com - Aksi militer kedua dilakukan tepat bulan Desember tahun 1948. Namun ternyata Belanda sebetulnya ingin melakukan aksi ketiga.

Kepastian dari Belanda diperoleh dari memoar Dr. J.G. de Beus, sedangkan dalam memoarnya Jenderal Nasution ternyata juga mempunyai firasat yang sama.

Tulisan berikut ini ditulis oleh Machfudi Mangkudilaga yang dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1983.

Desember 1948, pasukan payung Belanda terjun di Lapangan Maguwo (Adi Sucipto), Yogyakarta.

Penerjunan ini merupakan awal dari suatu serangan militer yang dilancarkan Belanda terhadap Republik Indonesia, yang sekarang kita kenal sebagai serangan/agresi militer Belanda yang kedua.

Agresi Militer pertama sendiri terjadi pada Juli 1947.

Serangan yang kedua ini sudah banyak ditulis oleh para penulis Indonesia maupun asing, seperti misalnya Jenderal Nasution, Simatupang atau Kahin.

Baca juga: Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta Jadi Kocar-Kacir Akibat Serbuan Pasukan Siluman di Siang Bolong

Saya tidak akan mengulangi apa yang telah mereka tulis, tetapi ingin menunjukkan bahwa dalam kalangan tentara Belanda pernah ada pikiran untuk mengadakan suatu serangan militer yang ketiga.

Setelah Belanda mengadakan serangan militer kedua, perlawanan secara gerilya timbul dari Tentara Nasional Indonesia. Hal itu mungkin telah diduga Belanda, tetapi kurang diperhitungkan konsekuensinya secara matang.

Dugaan Belanda, dengan direbutnya ibu kota Yogyakarta dan ditawannya pimpinan politik Republik Indonesia, dengan sendirinya tentara kita hancur.

Selain itu dunia internasional juga menentang pihak Belanda. Di India segera diadakan Konperensi Bangsa-Bangsa Asia yang mengecam tingkah laku Belanda.

Baca juga: Ingin Selalu Menyerang, Hal Inilah yang Membuat Tentara Korut Punya Mental Bertempur yang Agresif dan Bikin Lawan Ketar-ketir

Dewan Keamanan PBB juga mencela sikap Belanda dan mengimbau kedua belah pihak untuk mengadakan gencatan senjata.

Hasilnya telah kita ketahui secara umum. Karena gerilya Tentara Nasional Indonesia di satu pihak dan tekanan internasional di lain pihak, akhirnya Belanda terpaksa mencari penyelesaian politis dalam sengketanya melawan Indonesia.

Kita kemudian mengenal Perjanjian van Royen — Roem, yang kemudian mengakibatkan kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta (sekarang Daerah Istimewa Yogyakarta), yang disusul dengan diadakannya suatu gencatan senjata yang mulai berlaku tanggal 10 Agustus 1949.

Rupanya pimpinan tentara Belanda kurang puas dengan pelaksanaan gencatan senjata itu dan melaporkan pada pemerintahnya bahwa pihak Indonesia sering "melanggar" gencatan senjata itu, sehingga dalam suatu rapat komandan-komandan militer Belanda yang diadakan Wakil Tinggi Makota Belanda Lovink, para komandan militer Belanda mendesak dan merasa perlu untuk melakukan suatu serangan militer yang ketiga.

Baca juga: Ketika Jepang Sudah Angkat Kaki, Belanda Ingin Kuasai Indonesia Lagi, Tapi Mereka Salah!

Hal ini dapat kita baca dalam buku karangan Dr. J.G. de Beus, Morgen, bij het aanbreken van de dag (Besok, di kala fajar menyingsing) yang juga merupakan suatu memoar.

Siapakah Dr. de Beus?

Dari keterangan yang didapat di bukunya, Dr. de Beus adalah seorang diplomat Belanda yang pada tahun 1939, ketika Perang Dunia II meletus dengan serangan Hitler pada Polandia, ditempatkan di Keduataan Belanda di Berlin.

Ketika Jerman menyerang Belanda bulan Mei 1940, sesuai dengan kebiasaan intenasional, beliau diberangkatkan dengan diplomat Belanda lainnya ke Swis, untuk kemudian bergabung dengan pemerintah dalam pengasingan Belanda di London.

Baca juga: Dari Hindia Belanda Hingga Menjadi Indonesia, Ternyata Beginilah Asal-usul Nama Indonesia

Pada tahun 1948, ketika Belanda mengadakan serangan militernya yang kedua terhadap Republik Indonesia, beliau adalah anggota staf perwakilan Belanda di PBB, di bawah Duta Besar van Royen, sehingga beliau mengikuti perdebatan-perdebatan dalam Dewan Keamanan PBB, ketika membahas peperangan antara Belanda dengan Indonesia.

Ketika kemudian van Royen ditunjuk untuk memimpin delegasi Belanda dalam perundingan menghadapi Republik Indonesia, maka Dr. de Beus menjadi anggota delegasi Belanda sambil merangkap menjadi Kepala Cabang Departemen Luar Negeri Belanda di Jakarta pada waktu itu.

Dengan demikian ia mengikuti perundingan-perundingan van Royen — Roem hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai akibat KMB.

Dalam bukunya itulah Dr. de Beus mengemukakan fakta bahwa dalam rapat pimpinan militer Belanda, tokoh-tokoh militer Belanda pada waktu itu mendesak dilakukannya aksi militer ketiga.

Namun, berkat wibawa Lovink hal itu dapat dihindarkan, yaitu dengan mengajukan alasan bahwa suatu serangan militer baru secara internasional tidaklah menguntungkan, bahkan sangat merugikan pihak Belanda.

Baca juga: Meski Hanya Bermodal Pesawat Tua, Para Kadet AURI yang Belum Lulus Ini Sukses Gempur Sejumlah Markas Belanda

Juga harus diperhitungkan bahwa Amerika akan menekan terus pihak Belanda, sehingga usul serangan militer baru itu tidaklah diterima.

Apakah pihak Indonesia menduga juga bahwa Belanda akan menyerang lagi? Hal ini dapat kita baca dalam autobiografi Jenderal Nasution yang baru terbit, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 2, yang mencakup kenangan masa gerilya, yaitu pada halaman 195: bahwa pihak Indonesia tetap dalam keadaan siap siaga, walaupun telah diadakan gencatan senjata.

Malahan di halaman itu tertulis, "Instruksi saya tetap mengutamakan persiapan menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda yang ketiga".

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pihak kita pun telah "mencium bau" rencana serangan militer Belanda itu.

Demikian beberapa catatan mengenai suatu hal yang mungkin belum banyak diketahui orang, yaitu rencana pihak militer Belanda pada tahun 1949 untuk mengadakan suatu serangan militer yang ketiga terhadap Republik Indonesia.

Baca juga: Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta

Artikel Terkait