Penulis
Intisari-Online.com - Bukan sekali-dua kali masyarakat dibikin resah oleh materi di buku pelajaran sekolah anak-anak mereka.
Contohnya, Juli 2013, di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6, ada cerita tentang pria yang gemar ke warung “remang-remang”.
(Baca juga: Jalan Berliku Lahirnya Jendela Ilmu: Siapakah yang Boleh Menulis dan Menyusun Buku Pelajaran?)
Yang membuat mata orangtua terbelalak, cerita itu menggambarkan secara eksplisit tindakan si pria terhadap lawan jenisnya.
Tak sampai setahun, Februari 2014, buku Pendidikan Jasmani untuk kelas 11, memuat bacaan tentang “Memahami Dampak Seks Bebas”.
Bacaan itu mungkin niatnya baik, mengingatkan siswa agar berhati-hati ketika bergaul dengan lawan jenis.
Namun, sebagian kalangan justru menganggap, itu sama saja membolehkan anak-anak untuk berpacaran. Walhasil, diprotes oleh orangtua.
Lalu bagaimana mekanisme penyusunan dan penulisan buku teks pelajaran sekolah yang benar?
Di Kemdikbud, pengurusan buku pelajaran sekolah ini dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk).
“Lembaga inilah yang akan meninjau penyusunan buku teks pelajaran dari seleksi kontributor naskah, penyusunan buku teks pelajaran sesuai SOP, sampai pencarian tim penilai yang akan memverifikasi buku,” tutur Supriyatno, MA, Kepala Bidang Perbukuan Puskurbuk Balitbang Kemdikbud.
(Baca juga: Hardiknas: Cara Maman Suherman Jadi Provokator Minat Baca Buku di Tengah Gempuran Gadget)
Buku yang sudah selesai disusun akan dinilai kelayakannya terlebih dahulu oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Lembaga ini yang bertindak dalam hal administrasi serta menetapkan standarisasi dari penyusunan buku teks pelajaran.
Namun karena berbagai keterbatasan, buku pelajaran yang dipakai di sekolah saat ini bukan dari Puskurbuk saja.
Misalnya untuk buku teks pelajaran K13, Purkurbuk tidak menerbitkan buku teks pelajaran Matematika dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan kelas 5 dan 6. Begitu juga dengan buku peminatan untuk SMA/SMK.
Pada celah itulah penerbit swasta berkesempatan menawarkan bukunya. Buku dari swasta juga harus melalui verifikasi oleh BSNP dan Puskurbuk yang berlangsung setahun sekali.
Sistemnya memang masih “top-down”, yakni Kemdikbud mengumpulkan semua penerbit terlebih dahulu, baru kemudian buku-buku karya mereka diverifikasi.
Di masa depan, menurut Supriyatno, sistem akan diperbaiki sehingga penerbit bisa mengajukan bukunya kapanpun. Dalam setahun juga bisa dilakukan beberapa kali verifikasi, agar optimal.
Maklum, verifikasi ini bukan pekerjaan sederhana, karena setidaknya untuk satu buah buku melibatkan tiga penilai yakni ahli materi, ahli pembelajaran, dan ahli grafika.
Nah, bagaimana ceritanya bisa ada buku-buku ternyata yang mengandung konten negatif?
Supriyatno menjamin, kasus seperti itu terjadi karena buku-buku itu tidak melalui tahap verifikasi.
“Ketika diperiksa memang buku tersebut tidak pernah melalui penilaian dan tahap yang seharusnya. Kebanyakan langsung dijual di toko buku atau media online,” ungkapnya.
Sayangnya, Puskurbuk tidak memiliki wewenang untuk menghukum penerbit atau perorangan yang melakukan penyimpangan di buku pelajaran. Termasuk untuk menarik buku sekalipun.
Lembaga ini sebatas menginformasikan kepada penerbit. Selanjutnya, penerbit dan sekolah sendirilah yang menentukan.
Akan tetapi jika sebuah sekolah masih didapati menggunakan bukuyang tidak direkomendasikan, maka Kemdikbud berhak memberikan sanksi. Sanksinya bermacam-macam.
Mulai dari melarang buku pemerintah beredar di sekolahnya, melarang guru dari sekolah tersebut ikut pelatihan, bahkan bisa saja sekolah itu ditutup.
Karena itulah Supriyatno mengingatkan pentingnya peran sekolah dan guru dalam sistem pembelajaran.
Sekolah dan guru harus pandai memilih dan memilah buku yang layak digunakan peserta didik berdasarkan lingkungan sekolah dan daerah tempat tinggalnya.
Jangan hanya karena murah dan diskon sebuah buku dipilih. Carilah buku teks yang sudah terekomendasi.
“Sebab, buku teks tetap alat integrasi bangsa yang mempesatukan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,” imbaunya. (Majalah Intisari Edisi Februari 2017)