Find Us On Social Media :

Usut Asal Mitos Putri Duyung: Nyanyian Pemikat Maut bagi Para Pelaut dari Sang Putri Laut

By Ade Sulaeman, Jumat, 5 Mei 2017 | 16:00 WIB

Putri Laut alias Putri Duyung

Intisari-Online.com – Sudah sejak kecil kita diperkenalkan dengan dongeng Putri Duyung. Tidak mengherankan bahwa sesudah dewasa, kita ingin tahu lebih ilmiah, benarkah putri itu ada? Kalau memang ada, di mana tempat tinggalnya?

--

Orang Eropa menyebut makhluk itu Mermaid (Putri Laut) karena tinggalnya di dasar laut. Tetapi kita di Indonesia menyebutnya Putri Duyung. Dari mana asal-usul nama duyung ini?

(Baca juga: Caitlin Nielsen, Wanita yang Memilih Hidup Seperti Putri Duyung)

Mestinya Putri Laut

Orang yang pertama kali menulis tentang Mermaid ialah penyair Homerus dari Yunani tahun 750 SM.

Ketika ia menulis epos Odyssey yang mengisahkan kepahlawanan Odysseus sesudah perang Troya, ia menyisipkan kisah Sirena, seorang putri cantik setengah manusia setengah burung yang kerjanya cuma memikat awak kapal dengan nyanyian merdu dari langit.

Nyanyian ini menjerumuskan kapal ke batu karang sampai pecah. Seluruh awaknya mati tenggelam, tetapi nyawanya tidak masuk ke kayangan, melainkan ke kerajaan Mermaid di dasar laut.

Menurut Homerus, Odysseus yang menjadi tokoh epos itu dapat selamat melewati tempat Sirena karena sudah berjaga-jaga, mengambil langkah pengamanan.

(Baca juga: Putri Duyung Ini Berenang dalam 10.000 Plastik untuk Menunjukkan Betapa Parahnya Polusi di Bumi)

la mengikuti petunjuk nenek sihir Circe, agar telinga semua awak kapalnya disumpal dengan lilin. Jadi, tidak bisa mendengar nyanyian pemikat maut. Odysseus selamat dan Sirena yang kecele bunuh diri.

Dari cerita inilah, di Eropa abad kapal kayu dulu kemudian beredar kepercayaan bahwa di dasar laut ada makhluk setengah orang setengah ikan di kerajaan air Poseidon.

Poseidon seorang dewa Yunani, tetapi oleh bangsa Romawi kemudian disebut Dewa Neptunus. Atributnya yang tak pernah ketinggalan berupa tongkat berujung garpu.

(Baca juga: [Foto] Hannah Fraser, Putri Duyung di Dunia Nyata yang Berani Berenang di Lautan Lepas dengan Hiu dan Paus (1))

Sampai sekarang, setiap kapal yang berhasil melintasi garis katulistiwa akan dikunjungi oleh dewa pembawa garpu ini.

Soalnya, beliau berkenan membagikan ijazah kepada para awak kapal yang sudah diguyur air di atas geladak. Itu simbol bahwa mereka berada di kerajaan basah kuyup.

Upacara pembagian ijazah ini masih dilestarikan sampai sekarang, oleh awak setiap kapal yang selamat melintasi garis katulistiwa.  Tetapi juru baginya Dewa Neptunus-neptunusan.

Kaum pria di kerajaan dasar laut itu disebut Mermen dan kaum wanitanya Mermaid. Diterjemahkan secara harafiah namanya menjadi Putri-Laut karena mer istilah Prancis berarti laut. Sedangkan prianya tidak pernah diterjemahkan karena mukanya menyebalkan.

Mendebarkan jantung

Sang putri Mermaid bertubuh setengah gadis setengah ikan. la suka memikat orang, terutama pelaut yang agak belang sedikit hidungnya.

Ia akan duduk di atas batu karang, lalu menanggalkan topi gaibnya untuk ditaruh di sampingnya.

Kemudian ia menyisir rambut yang tergerai panjang sekali. Ketika sedang menyisir inilah, lengan dan tubuhnya yang indah benar-benar mendebarkan jantung.

Kalau ada pelaut yang terpikat, dan ia juga tertarik, Putri Laut itu akan mengenakan topinya di kepala orang pilihan hatinya ini. Lalu pemuda yang beruntung dipilih itu hidup bersamanya di istana Dewa Neptunus (abahnya) di dasar laut.

Kok bisa? Bisa saja karena ia mengenakan topi si Putri Laut.

Berabad-abad kemudian dongeng fantastis ini menjadi kenyataan. Orang bisa hidup di dasar laut asal mengenakan topi penyelam yang dialiri udara.

Belakangan bukan topi baja yang dipakai tapi topi karet. Udaranya dialirkan langsung ke mulut penyelam sebagai oksigen murni dari tabung aqualung.

Oleh John William Waterhouse, Putri Laut itu diabadikan dengan indah. Lukisannya menghebohkan masyarakat pada zaman itu karena dinilai agak "gawat", tetapi tidak sampai dicekal dengan undang-undang subversi.

Sampai sekarang lukisan itu masih disimpan di museum Royal Academy of Dramatic Arts, London.

(Seperti ditulis oleh Slamet Soeseno di Intisari edisi Agustus 1998)