Penulis
Intisari-Online.com -Kecelakaan yang terjadi di kawasan Jalan Raya Puncak, tepatnya di Ciloto, Cianjur, Jawa Barat, hari ini (30/4), diduga akibat fungsi rem bus yang tidak berjalan baik.
Akibatnya bus yang sedang melaju di turunan menghantam sejumlah kendaraan di depannya sebelum akhirnya terjungkal di pinggir jalan.
Sekitar 12 orang meninggal dan puluhan lainnya luka berat dan ringan akibat kecelakaan maut—yang sebenarnya merupakan peristiwa yang terulang itu.
(Baca juga:Martin Bormann, Sekretaris di Balik Keperkasaan Nazi dan Hitler)
Benar, ini adalah peristiwa yang berulang. Kita tahu, seminggu yang lalu, tepatnya Sabtu (22/4) juga terjadi kecelakaan serupa di kawasan Megamendung, Puncak, Bogor yang mengakibatkan sejumlah orang tewas dan luka.
Kecelakaan yang terjadi di Megamendung juga diakibatkan oleh rem bus yang tidak berfungsi sehingga bus terus melaju di jalan yang menurun dan menghantam sejumlah kendaraan di depannya.
Pascakecelakaan di Megamendung polisi dan Dinas Perhubungan Bogor memang telah melakukan razia guna mencegah kendaraan bus dan truk yang tidak beres jangan sampai melintasi jalur Puncak.
(Baca juga:Minum Kopi Bisa Mengurangi Resiko Kanker Prostat, Syaratnya: Seduh Pakai Racikan ala Italia)
Dalam operasi gabungan itu ditemukan sejumlah kendaraan yang tidak laik jalan dan kemudian dilarang melintasi jalur Puncak.
Akan tetapi razia untuk mendeteksi dan sekaligus mencegah kendaraan tidak laik jalan melintasi jalur Puncak jelas tidak bisa dilakukan tiap hari.
Apalagi kultur penanganan bencana di Indonesia dalam berbagai musibah, apa pun bentuknya, cenderung baru ada tindakan taktis dan strategis setelah ada kejadian.
Tindakan atau penganganan itu pun cenderung tidak berkesinambungan apalagi berlangsung tiap hari.
Terkait kecelakaan di Jalan Raya Puncak yang terulang itu sebenarnya juga mencerminkan disiplin lalu lintas yang kendor.
Umumnya orang Indonesia, tingkat disiplin atau kewaspadaannya terhadap kepatuhan suatu aturan atau prosedur keamanan di jalan raya akan cepat mengendor jika tidak ada polisi yang mengawasi.
Maka seperti diterapkannya syarat kendaraan harus laik jalan ketika melintasi jalur Puncak, karena tidak bisa dilakukan tiap hari maka banyak juga yang melanggarnya.
(Baca juga:Fadli Zon: Sebaiknya Karangan Bunga di Depan Balai Kota Diganjar Rekor MURI)
Apalagi jika yang melanggar itu adalah kendaraan seperti bus dan truk yang berbadan besar.
Begitu ada ketidakberesan dari kendaraan besar yang sedang melaju di jalur Puncak berakibat pada kecelakaan, musibah yang sebenarnya merupakan tragedi kemanusiaan tidak bisa dihindari.
Umumnya pengendara atau orang-orang yang berada di Jalur Puncak adalah warga yang sedang berkendara sekaligus berekreasi sambil menikmati pemandangan gunung yang elok.
Tapi suasana rekreasi itu berubah menjadi tragedi ketika kendaraan yang lebih besar mengalami rem blong dan menghantam kendaraan di depannya.
Dalam sekejap mata kendaraan besar untuk angkutan massal itupun berubah menjadi monster pencabut nyawa.