Penulis
Intisari-Online.com – Aksi para suporter Jepang kembali menjadi perbincangan media sosial.
Setelah sebelumnya mereka melakukan aksi bersih-bersih di stadion dalamgelaran pesta sepakbola World Cup 2018 di Rusia pada Juni 2018 kemarin, kini mereka melakukannya lagi di Asian Games 2018 di Jakarta.
Baru-baru ini, foto-foto di manasuporter Jepang yang memungut puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah di komplek Stadion Gelora Bung Karno jadi viral.
Foto-foto itu telah diunggah ke media sosial dan dibagikan oleh banyak warganet.
Tentu saja, aksi bersih-bersih ini mendapat pujian dari warga Indonesia dan jugabanyak warga internasional.
Tapi ternyata, kebiasaan baik ini tidak hanya mereka lakukan di luar Jepang. Sejatinya, mereka melakukannya di mana pun mereka berada.
Berikut ceritanya.
Seperti halnya Jakarta, Tokyo adalah kota yang sibuk. Setiap harinya orang-orang berlalu lalang dengan langkah yang tergesa.
Ada juga kaum komuter yang membuat kereta selalu padat pada jam masuk dan pulang kerja.
Setiap orang tampak memiliki kesibukan sendiri, entah dengan ponselnya maupun pikirannya.
Namun, jika kita kebingungan arah dan menegur mereka untuk bertanya maka tampaklah perbedaannya dengan yang biasa dirasakan di kota-kota sibuk Indonesia.
Cukup dengan kata sumimasen yang artinya maaf atau permisi, maka siapa pun orangnya pasti segera tersigap, berhenti dari kegiatan mereka, dan berfokus pada pertanyaan yang hendak kita katakan.
Orang-orang tua biasanya lebih ramah lagi. Pernah saya dan keluarga hendak mengunjungi Tokyo Camii Mosque, masjid tertua di Jepang untuk salat Jumat di sana.
Ketika kami tampak kebingungan melihat peta petunjuk arah, tiba-tiba ada nenek yang sedang lewat di kejauhan setengah berteriak menyapa kami, “Mosque?” katanya.
Tanpa diminta dia menghampiri dan menjelaskan arah dengan bahasa Jepang.
Baca juga: Kapal Jepang yang Penumpangnya Tewas oleh Sekutu Itu Akhirnya Menjadi 'Kapal Hantu'
Sopan santun khas Jepang
Penduduk asli Jepang memiliki adab kesantunan yang khas.
Misalnya, dalam memperhatikan orang asing. Tidak sopan bagi mereka menatap orang asing secara langsung.
Jadi, walaupun penasaran, mereka hanya akan mencuri-curi lihat dari sudut mata.
Hal ini juga berlaku terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus, seperti cacat fisik atau cacat mental.
Jepang sepertinya sangat menginginkan semua orang diperlakukan sama.
Sehingga, saya sempat heran ketika bertemu orang-orang yang bertingkah laku aneh namun reaksi orang di sekitarnya biasa saja.
Padahal, jika di Indonesia, biasanya sudah menjadi tontonan.
Baca juga: Onna Bugeisha, Prajurit Wanita Jepang yang Ahli Gunakan 2 Pedang Sekaligus saat Bertarung
Pada dasarnya, hal terpenting bagi orang Jepang adalah jangan sampai mengganggu orang lain. Hal ini membuat masing-masing individu dapat hidup nyaman dengan berdampingan.
Di Jepang, rasanya jarang sekali merasa kesal dengan orang lain. Jika secara tidak sengaja bersenggolan di jalan, masing-masing akan membungkukkan badan sambil mengucapkan sumimasen.
Orang-orang di sini juga tidak terbiasa jalan bergerombol sehingga menghalangi jalan orang lain.
Sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis bahwa orang-orang yang berjalan santai di sebelah kiri, dan orang-orang yang terburu-buru bisa mengambil ruang di bagian kanan. Kebiasaan ini terutama terlihat di ekskalator.
Lain halnya di lift dan kereta. Saat berada di sana, orang dilarang menelepon dengan suara yang dapat mengganggu orang lain. Cara duduk di kereta pun ada aturannya.
Kaki diusahakan selalu tertekuk ke dalam. Sehingga tidak ada orang yang menyelonjorkan kakinya dan menghalangi orang lain meskipun sudah lelah berjalan seharian.
Jangan tanya soal kesal dengan asap rokok.
Di Jepang, meskipun laki-laki dan perempuannya banyak yang merokok, namun tidak pernah ada asap rokok berseliweran di tempat-tempat umum.
Masing-masing secara tertib merokok di ruang yang telah disediakan.
Baca juga: Mengintip Wanpaku, Sumo Anak-anak di Jepang yang Diharapkan Jadi Pesumo Handal Masa Depan
Tertanam sejak dini
Pernah saya bertanya kepada orang Jepang tentang kehati-hatian mereka menjaga hubungan dengan orang lain.
Ia sempat kesulitan mencari jawaban karena bagi dia hal itu memang sudah seharusnya terjadi.
Menurutnya, orang Jepang mencintai kedamaian dalam komunitasnya. Maka, mereka berusaha sebisa mungkin tidak mengganggu orang lain.
Masing-masing individu memang memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut juga dibatasi oleh hak-hak orang lain.
Pemikiran tersebut sudah dibiasakan sejak kecil melalui pelajaran sekolah dan pendidikan di rumah. Jepang memang serius dalam mengembangkan karakter sejak dini.
Penanaman pertama dimulai dari keluarga. Sudah hal yang lumrah ketika seorang wanita Jepang menikah, mereka akan memilih keluar dari kariernya dan fokus mendidik anak-anaknya.
“Meskipun sekarang ada juga wanita berkeluarga yang masih bekerja, pada zaman saya dulu hampir setiap wanita keluar dari pekerjaannya setelah menikah,” begitu ujar seorang ibu rumah tangga Jepang yang saya kenal.
Pendidikan kedua setelah keluarga berlangsung di sekolah, terutama sekolah dasar. Kurikulum sekolah dasar Jepang memiliki visi yang menarik.
Fokus pembelajaran tidak terpaku pada pelajaran sekolah, tapi juga pada budi pekerti.
Oleh karena itu, rapor dan hasil belajar tidak dituliskan dengan nilai namun dengan uraian yang menjelaskan tentang keseharian anak tersebut.
Dengan terbinanya karakter sejak dini, maka mudah bagi Jepang mengembangkan komunitas yang dapat saling menghargai satu sama lain.
(Tulisan Dien Nurdini, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2013)