Ultah Ke-180 Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal dan Ingatan tentang Esensi Kebhinekaan Negeri Kita

Ade Sulaeman

Penulis

Ukiran naga pada perangkat gong Naga Mulia

Intisari-Online.com - Kelenteng Tek Hay Kiong menjadi saksi bisu berlangsungnya proses akulturasi antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal.

Didirikan pada tahun 1837 atas prakarsa Kapitan Tionghoa Tan Koen Hay, arsitektur bangunan utama kelenteng ini boleh dikatakan masih asli.

(Baca juga: Jadi Kota Kuliner, Tegal Lahirkan Sushi Ubi dan Soto Taoco)

Namun, menurut penelusuran peneliti Prancis, Claudine Salmon, kelenteng pertama di Tegal adalah Tjin Djin Bio, didirikan pada tahun 1760.

Kelenteng Tek Hay Kiong didirikan untuk menggantikan kelenteng pendahulunya tersebut.

Selama perayaan, orang dapat melihat dua papan pengumuman dari kayu jati berdiri gagah di sisi pintu masuk kelenteng.

(Baca juga: Nahas, Hendak Hadiri Kartinian, Pelawan Sarwoto Ditusuk Orang Tak Dikenal di Kompleks Lokalisasi Tegalpanas)

Di situ dalam aksara Tionghoa yang dipahat dipaparkan peresmian berdirinya kelenteng ini seratus delapan puluh tahun yang lalu.

Ditulis secara rinci kontribusi umat termasuk tokoh-tokoh dari kota lain untuk menggalang dana pembangunan.

Dua papan prasasti penanda berdirinya Keleneteng Tek Hay kiong pada tahun 1837

Dulu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa

Di dalam kelenteng masih berdiri papan serupa yang merupakan papan peringatan perayaan usia kelenteng yang ke-60 pada tahun 1897.

Di meja-meja altar keluarga tampak sinci-sinci, atau papan arwah (ancestral tablet).

Papan itu tidak hanya berfungsi sebagai perangkat sembahyang namun juga memuat catatan nama, tanggal lahir, dan data arwah yang didoakan, berikut data asal-usulnya di Tiongkok, juga nama istri berikut anak-cucunya.

Dari sinilah, misalnya, ditemukan bahwa kapitan pertama yang memimpin komunitas Tionghoa di Tegal adalah Souw Tjwan Heng (1699 - 1770) bergelar Kapitan Souw Pek Gwan.

Oleh karena dulu kelenteng merupakan pusat kegiatan komunitas Tionghoa, catatan di kelenteng merupakan sumber informasi berharga tentang sejarah orang-orang Tionghoa di suatu kota.

Naga Mulia ditabuh

Bukti nyata terjadinya akulturasi yang kental antara budaya Tionghoa dan lokal (Jawa) adalah perangkat gamelan Naga Mulia.

Pada perangkat gendernya tercetak besar-besar tulisan: MOELAI BOELAN NOVEMBER 1861 POERWOREDJO.

Pada perangkat gong terukir naga yang dalam mitologi Tionghoa dipandang sebagai hewan yang suci, penuh wibawa dan bertuah.

Dulu, pagelaran wayang dan gamelan termasuk menu wajib dalam perayaan-perayaan di kalangan masyarakat Tionghoa.

Sampai hari ini, masih banyak orang Tionghoa yang tinggal di Jawa, tak dapat melepaskan diri dari perhitungan "hari baik/buruk" menurut penanggalan Jawa.

Perangkat gamelan antik ini pun dikumandangkan lagi kemerduannya dalam pagelaran pada hari Senin, 20/03, masih dalam rangkaian perayaan.

Bangunan bersejarah

Kelenteng Tek Hay Kiong kini lebih merupakan bangunan keagamaan ketimbang pusat kegiatan komunitas Tionghoa seperti pada zaman kolonial.

Kendati demikian, perayaan ultahnya ini mengingatkan kembali akan esensi kebhinekaan negeri kita.

Perayaan itu tak hanya menjadi magnet bagi banyak orang Tionghoa asal Tegal untuk pul-kam.

Warga Tegal sendiri, dari berbagai komunitas, rela berpanas-panas dan berhujan-hujan untuk ikut menikmati acara-acaranya.

Bangunannya sendiri telah menjadi bagian dari sejarah Kota Tegal.

Bagi peminat sejarah, kunjungan ke kelenteng ini dapat dijadikan satu pilihan tujuan wisata budaya.

Asalkan dikelola dengan baik, banyak bangunan budaya dan sejarah yang sampai kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, dapat juga menjadi "milik bersama" komunitas di luar konteks keagamaan. Bukankah tak kenal maka tak sayang?

Artikel Terkait