Penulis
Intisari-Online.com – Atlet yang akan dan sedang berlaga sering kali dihinggapi ketegangan, rasa takut kalah, serta tak sanggup mengatasi gangguan dari luar. Beban mental seperti inilah yang acap membuat prestasi atlet lebih jelek dibandingkan ketika latihan.
(Baca juga: Jangan Bersaing, Salah Satu Langkah Awal Memulai Olahraga Lari)
Beberapa atlet top dunia mengaku melakukan latihan-latihan mental tertentu untuk mengatasi hambatan itu.
Michael Stich, petenis nomor dua dunia asal Jerman, biasanya dengan meregangkan tangan. Sementara Carl Lewis, sprinter asal AS, dengan bermeditasi.
Cara yang mereka lakukan memang macam-macam, tapi tujuannya sama: mengatur keseimbangan jiwa (mental) dan raga supaya mencapai prestasi prima.
Dengan keseimbangan itu apa yang sanggup mereka lakukan pada saat latihan juga bsia dilakukan pada saat bertanding.
(Baca juga: Harapan Seorang Anak terhadap Orangtuanya, Ketika Anak Kalah Bersaing dari Smartphone)
Untuk mencapai hal itu tentu dibutuhkan latihan, misalnya autogenen (latihan rileks untuk diri sendiri), zen, biofeedback, crtau yoga. Pokoknya, semua bentuk latihan untuk mencapai keseimbangan jiwa dan raga.
Sebab di luar faktor fisik, aspek mental bisa mempengaruhi teknik yang berperan penting dalam olahraga.
Walaupun sudah diakui manfaatnya di mana-mana, banyak atlet enggan mengakui dirinya menjalani latihan seperti itu karena mereka tidak mau dianggap “main belakang”.
Di antara beberapa atlet yang mau mengakuinya ialah Carl Lewis dengan memperlihatkan surat-surat dan percakapannya dengan Sri Chinmoy, guru meditasi asal Bangladesh yang kini bermukim di New York.
Lewis sering ditegur keras oleh Chinmoy seperti sehabis final lari 100 m di Olimpiade Seoul 1988, "Kemarin di final kamu tertinggal oleh Ben Johnson pada jarak 72 - 75- m. Kamu bukannya meneguhkan keinginanmu, malah melirik Ben Johnson. Tujuan kamu bukan lagi garis finis tapi Ben Johnson."
(Baca juga: Ketok Magic Ala Jerman Ini Siap Bersaing dengan Ketok Magic Ala Indonesia)
Yang dimaksud Chinmoy agar Lewis berkonsentrasi 100% pada tugas yang sedang dihadapi. Melirik ke arah lawan, walau cuma sekejap, itu tidak berguna dan mengganggu konsentrasi.
Dengan bahasa yang lain Hans Eberspacher, seorang psikolog, menyatakan, "Agar atlet mencapai prestasi yang optimal, dia harus menyelaraskan apa yang dipikirkan dengan yang dilakukannya."
Kalau itu berhasil, atlet akan mengalami apa yang disebut flow, suatu keadaan di mana orang berkonsentrasi penuh pada apa yang sedang dia lakukan. Dengan demikian atlet mampu mengendalikan gerakan dan menguasai situasi.
Pendeknya, jika ia seorang petenis, ia merasa raketnya sebagai perpanjangan lengannya. Atau jika ia seorang pembalap, ia menyatu dengan ' kendaraannya.
Namun, keselarasan yang optimal antara jiwa dan raga tidak datang begitu saja. Inilah persoalannya. Banyak atlet yang bermain bagus pada saat latihan, tapi bermain buruk pada saat bertanding.
Penguasaan gerak sangat penting, tapi itu saja tidak cukup. Kemampuan atlet akan buruk bila ia mempunyai beban mental, entah itu rasa takut, tegang, atau gangguan dari luar. Menurut para ahli, latihan mental bisa mengatasi semua itu.
Hasil studi psikolog olahraga Rolf Frester dari Jerman menunjang pendapat itu. Dari hasil kuesioner yang disebarkan pada tahun 1993 didapatkan, 85% dari kelompok atlet top dari jenis olahraga yang memerlukan kelenturan menyatakan tidak dapat menerapkan dengan optimal kemampuan fisik dan teknik yang mereka miliki karena beban mental yang amat besar, misalnya didera rasa takut gagal.
Di kalangan atlet, hal itu sudah dipahami.
Jim Loehr, psikolog olahraga di AS, yang menempa mental Jim Courier dan Richard Krajicek (keduanya petenis top dunia), sejak awal 1970-an sudah didatangi banyak atlet yang minta bantuannya.
Walaupun usahanya banyak berhasil, tak seorang atlet pun yang mau mengungkapkan hal itu pada khalayak karena takut dianggap punya persoalan kejiwaan.
Penawaran latihan mental semakin meningkat dan permintaan juga tidak kurang. Baru 20 tahun terakhir ini dikembangkan metode latihan mental seperti latihan integral, atau latihan psychomuscular yang lebih khusus untuk olahraga.
Termasuk di antaranya biofeedback dan metode sugestif, semacam hipnotis yang sering dianggap sebagai “doping kejiwaan”.
Berdasarkan pengalaman, banyak atlet yang gagal karena pada saat yang menentukan mereka bukan memikirkan gerakan yang seharusnya mereka lakukan, melainkan memikirkan konsekuensinya.
Dalam situasi sulit, sering kali pelatih menasihati anak asuhnya untuk melakukan apa yang harus dan tidak harus dikonsentrasikan, karena mereka tidak mungkin berkonsentrasi pada dua hal sekaligus.
Siapa yang berkonsentrasi pada masalah A tidak dapat memikirkan masalah B pada saat yang sama.
Usaha untuk tetap berkonsentrasi bisa dilakukan dengan melakukan monolog atau berkomunikasi dengan diri sendiri. Semakin besar "gangguannya", semakin intensif-monolognya.
Menurut penelitian versi AS, atlet yang berhasil ' berbeda dengan beberapa teman sejawatnya yang kurang berhasil karena inti monolognya. Siapa yang mampu berbicara positif pada dirinya akan berhasil, sedangkan yang ragu-ragu akan gagal.
Seorang petualang yang mengarungi Samudera Atlantik dengan perahu tak bermotor menuliskan pengalamannya, bahwa monolog mampu mengubah segalanya sebelum orang menyerah.
"Kandasnya sebuah kapal membuat jiwa dan raga kita pasrah. Monolog merupakan strategi yang bisa membantu agar, misalnya, orang tetap waspada di tengah kejenuhan, memotivasi diri dengan memuji diri sendiri, dan meringankan pekerjaan yang sulit."
Pengendalian perhatian dan monolog adalah tindakan mental seperti halnya latihan autogen atau latihan peregangan otot.
Pengertian latihan mental dalam hal ini sebenarnya tidak sama dengan latihan mental pada umumnya, melainkan suatu metode yang definisinya: gambaran gerakan yang terencana dan dilakukan berulang-ulang yang sudah terekam dalam otak kita tanpa kita melakukannya.
Gambaran ini secara sadar ataupun tidak menentukan gerakan kita. Gerakan ini disesuaikan dengan gambaran yang diinginkan.
Masalahnya bukan mewujudkan prestasi maksimal secara tiba-tiba di luar kemampuan yang sebenarnya, tapi mengembangkan prestasi yang realistis.
Latihan mental bukan metode instan, melainkan harus dilakukan selangkah demi selangkah dan terus-menerus.
Syaratnya, bermain dengan santai, penuh semangat, dan tepat. Gerakan yang dilatih harus sudah dipahami dan dipraktekkan dengan tepat pada saat bertanding.
Tujuannya menguasai gerak secara optimal sebagai persyaratan untuk mencapai keadaan flow.
Kadang-kadang atlet terbantu dengan cara ini. Misalnya, saat Gabriela Sabatini mengalahkan Steffi Graf di Flushing Meadow dan memenangkan gelar grand slam-nya yang pertama.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, Sabatini tampak pesimistis dan tidak bergairah. Prestasinya yang tak terduga itu merupakan hasil kerja samanya dengan Jim Loehr, yang sudah ratusan jam mengamati tenis lewat video.
Loehr berkesimpulan, perbedaan terbesar antara pemain terbaik dengan pemain lain bukan pada saat perpindahan bola; melainkan pada saat istirahat. Pemain-pemain top jauh lebih baik kondisinya karena pada saat istirahat mereka santai dan siap untuk berkonsentrasi pada game berikutnya. Rasa percaya diri mereka tetap kuat walau hasil perpindahan bola mereka jelek.
"Gerakan tubuh dipengaruhi oleh pikiran," ujar Loehr.
Emosi atlet tercermin pada gerakan tubuh: kalau dalam otak sang atlet sudah ada pikiran bakal kalah, ia akan tercekam rasa takut dan kikuk, lalu nadinya berdenyut kencang, otot-ototnya menjadi tegang, pembuluh darahnya menyempit.
Semua itu akan berakibat (buruk) pada prestasinya. Mereka yang berpikiran negatif tidak bisa bermain dengan baik. Ini memang bagaikan lingkaran setan. Jalan keluarnya bukan bermain dengan ngotot, karena ketegangan memperburuk kontrol motorik yang halus.
Menurut Loehr, permainan yang baik dan terkonsentrasi merupakan hasil alamiah dari keyakinan dan perasaan yang positif. "Atlet top meningkatkan kemampuan untuk menghadapi stres sehingga mereka boleh disebut ahli mengendalikan mental," kata Loehr.
Banyak juga atlet yang sudah mengembangkan trik ini secara intuitif. Jurgen Kolende, mantan penyelam top, selalu berkonsentrasi di pinggir kolam sebelum bertanding. Ia berdiri dan membenamkan diri di pinggir kolam.
Hal ini juga dilakukan oleh para pencari mutiara di Asia Timur. Sebelum menyelam/mereka duduk selama beberapa menit dengan mata terpejam dalam perahunya. Mereka melakukan itu tanpa ada yang mengajarkannya.
Akhir-akhir ini banyak psikolog merasa bahwa informasi yang bermacam-macam juga bisa menyesatkan. Jadi, silakan atlet memilih dan mencoba metodenya sendiri. Sebab jiwa dan kepekaan setiap individu berbeda, dan setiap olahraga mempunyai aturan permainan yang berbeda pula.
Pada jenis olahraga tertentu, misalnya yang berhubungan dengan alam, seperti ski, selancar angin, atau terjun payung, peraturan permainannya relatif lebih kompleks. Apa yang dipelajari bisa terganggu kalau atlet tidak memusatkan perhatian pada peraturan.
5 Langkah Menuju Prestasi
Berikut ini 5 langkah yang bisa dilakukan sendiri oleh atlet agar bisa mencapai prestasi yang diinginkan.
1. Lakukan monolog
Monolog akan memotivasi diri untuk melakukan hal-hal yang benar. Selain itu, hal negatif bisa dihindari, sementara hal positif terdukung. Jangan pernah berkata, 'Pukulan saya jelek.” Tapi, "Pukulan berikutnya akan lebih baik."
2. Instruksi diri sendiri
Ini merupakan perintah terhadap diri sendiri. "Saya mampu melakukannya" merupakan contoh perintah yang benar. Caci rnaki selama atau setelah pertandingan tidak ada gunanya.
3. Hilangkan sifat mutlak
Hal ini membantu mengurangi tekanan mental dalam pertandingan dan menerima kekalahan dengan positif. "Pada pertandingan yang berat, kedudukan nomor tiga juga tidak jelek!" Kalaupun kalah, jangan sedih.”
4. Realistis dalam berlatih
Bersikap realistis dalam berlatih mengasah keseriusan. Paling baik jika orang punya tujuan dan target yang jelas. Segala hal dianalisis. Berbagai kemungkinan dibuat realistis dan tak lepas dari kemungkinan gagal.
5. Santai
Sikap santai sangat penting demi menghindari ketegangan bertanding. Selain itu sikap ini bisa menghilangkan kejang.
(Ditulis oleh Werner Enzmann/Cis, dan dimuat di Intisari edisi Agustus 1994)