Penulis
Intisari-Online.com – Luar biasa keberanian dan kecekatan wartawan yang berhasil menjepret foto seorang prajurit republiken dalam Perang Saudara Spanyol yang sedang ambruk kesambar peluru.
Suatu foto yang mungkin paling termashur di antara gambar-gambar perang.
Robert Capa, demikian nama wartawan itu — seorang pemuda miskin dari Hongaria yang selama Perang Dunia ke-2 menjelajahi Eropa tanpa bekal sepeserpun, bahkan pasporpun ia tidak punya.
Dengan jiwa petualangannya, ia mengembara ke medan-medan perang selama 18 tahun.
Tetapi dalam perang ke 5 jang dicovernya, di Indo-China ia menginjak ranjau darat dan hancurlah badannya.
Baca juga: CRAS, Sekolahnya Para Wartawan Perang. Harus Bisa Lolos dari ‘Pizza Maut’
Mudah luluhkan hati manusia
Banyak peristiwa yang menegangkan dan hal-hal yang menarik dalam kehidupan para wartawan perang dan sejarah kewartawanan perang pada umumnya.
Sementara orang menganggap bahwa mengcover perang tidaklah sukar bahkan paling gampang dibidang jurnalistik.
Foto-foto perang mudah menangkap hati manusia. Obyeknja sendiri sudah "sensasionil" dan penuh “horor".
Ini melayani selera akan ha-hal yang mengerikan, di samping mengetuk hatl manusia yang jijik melihat ribuan orang mencekam, serta membunuh sesama manusia dalam perang yang kejam.
Namun kewartawanan perang bakanlah kedudukan yang paling enak dan seringkali kurang mendapat penghargaan.
Baca juga: Lakukan Latihan Perang, Benarkah Jet Tempur J-16 China yang Supercanggih Itu Siap Menyerang Taiwan?
Banting tulang, mengemis makanan
"Tempat itu penuh jasad hidup membusuk. Belakangan ini saya tidur dalam suatu gubug yang sudah ambleg, di mana telah dikuburkan sebuah mayat."
"Hanya beberapa sentimeter tanah menjadi pemisah antara kepalaku dan kepalanya. Dan satu setengah meter dari pintu gubug terdapatlah kuburan dangkal tiga serdadu..”
Begitu cerita William Howard Russel tentang kondisi hidupnya sewaktu mengcover perang Krim (1853-56).
Perintis wartawan perang dari The Times itu harus berjuang mati-matian untuk mencapai medan perang.
Baginya tak ada pengakuan, tak ada status dikalangan tentara. Segalanya harus dia urus sendiri. Dari mencari kuda, kereta, sampan, kapal uap, senjata, atau makanannya sendiri.
Tetapi kisah-kisah yang didapatnya bisa mengimbangi jerih payahnya.
Sungguh mengharukan tulisannya tentang Rumah Sakit Rusia di Sebastopol, di mana orang-orang yang dalam sakratul maut dicampur saja dengan mayat-mayat.
Atau penderitaan prajurit-prajurit yang terluka, soal makanan, W.C., pengangkatan dan penguburan mereka yang gugur, itulah thema-themanya yang menggerakkan hati.
Tokoh perintis lain yang merasakan pahit getirnya wartawan perang adalah Archibald Forbes.
Ia berlayar ke Bulgaria ketika Russia menyerang negara itu dalam perang Rusia-Turki tahun 1877.
Sehari-hari, ia di atas pelana mengawasi jalannya perang. Untuk melaporkannya ia harus berhari-hari mengadakan perjalanan ke Rumania.
Pertama-tama ia berkuda ke Sungai Donau. Dari sana lewat jembatan jalan kaki berkilo-kilo meter diatas padang pasir untuk mencapai desa yang pertama.
Dari desa itu ia harus menempuh jarak 80 km dengan pedati kuda kemudian dengan kereta api sejauh 60 km ke Bukares.
Di sana badan kotor hampir tak bisa bergerak dan dalam keadaan itu ia mencoret-coretkan pensilnya. Setelah makan dan tidur, ia segera kembali keperang lagi.
Masih untung kalau tullsannya diluluskan oleh sensor Rusia. Bila tidak ia terpaksa mengirimkannya dengan kuda-ekspress ke pos tilgraf di Hongaria.
“Ini bukan main mahal ongkosnya" keluhnya.
Disebutparasit
Kecuali mengalami kehidupan yang tidak enak, para wartawan perang waktu itu kerapkali dicemoohkan dan disingkiri.
Orang Jerman memberi mereka julukan si lontang lantung dalam perang. Sedangkan tentara Inggris mencurigai mereka sebagai "parasit".
Sampai tahun 1870, tentara Perancis melarang wartawan keluyuran di medan perang, meskipun isteri-isteri dan para wisatawan mereka sambut dengan gembira.
Biasanya para wartawan perang kurang mendapat kepercayan. Mereka hanya dianggap "amatir" yang kurang mengetahui persoalan.
Majalah Observer misalnya pernah membuat kisah tentang pertempuran Waterloo yang ditulis oleh Duke of Wellington sendiri.
Di Sudan penguasa perang Kitchener tidak senang kepada wartawan-wartawan. Serombongan wartawan suatu hari menantinya diluar kemahnya.
Tetapi orang besar itu tidak mau keluar dan ketika melangkah dari pintu kemahnyapun ia membentak kasar, "Menyisihlah kalian orang-orang pemabuk".
Dan ketika Churchill mau ke Afrika sebagai wartawan, jendral itu mencoba menghalangi kedatanganyja.
Kalau ada wartawan perang yang dikagumi Kitchener, maka itu adalah karena orang itu pemberani dan bukannya karena ia cakap sebagai wartawan.
Misalnya, Hubert Howard dari The Times, yang meninggal karena pecahan mortir Inggris yang hampir menyasar ke tubuh jenderal itu.
Baca juga: Begini Sosok Muso di Mata Seorang Wartawan Antara: Lebih Cocok Jadi Tukang Kepruk
Menyabung nyawa
Kehidupan wartawan perang yang penuh petualangan itu memang menarik bagi kaum muda.
Tetapi pekerjaan itu penuh risiko dan bahaya. Lima orang gugur dalam Perang Turki-Serbia, lima orang di Sudan.
Dalam Perang Dunia ke-2, ada korban 20 wartawan Amerika dan 19 wartawan Commonwealth.
Larry Burrows, wartawan dari Life, ditangkap ketika ia pergi ke Konggo, dipukuli dan kehilangan kameranya sampai 4 kali.
Atau Eugene Smith mengambil foto seorang serdadu yang sedang sakratul maut dalam tahun 1945 di Okinawa, sesaat sebelum ia sendiri mendapat luka berat akibat pecahan mortlr.
Dalam pembrontakan Taiping di Tiongkok, seorang wartawan Times ditangkap dan ditembak mati.
Dan dl Korea, Ian Morrison, seorang wartawan yang sangat cermat, menemui tewasnya karena menginjak ranjau darat.
Dalam konflik Arab-Israel baru-baru ini seorang jurnalis foto, Paul Schutzer, yang bekerja untuk Life, mati tertembak dalam perjalanannya ke Gaza.
(Kisah tentang wartawan perang ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1968)
Baca juga: Dua Wartawan Perempuan Barat Ditembak di Afganistan