Penulis
Intisari-Online.com – Selama 35 tahun menjadi sekretaris wapres RI yang pertama, Wangsa Widjaja boleh dikata merupakan salah seorang kepercayaannya.
Ia menceritakan pengalamannya kepada Intisari.
Mari kita simak kisah pengalamannya seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1990, dan ditulis oleh Muljawan Karim.
Wangsa Widjaja sebenarnya sudah bekerja untuk Bung Hatta sejak 1943, saat didirikannya Putera (Pusat Tenaga Rakayat).
Baca juga: Saat Bung Hatta Rela Melepas Jabatan Wakil Presiden dan Memilih Jadi Rakyat Biasa
Bung Hatta yang waktu itu menjadi salah satu pemimpinnya menariknya untuk membantu bekerja di sana.
Dalam organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang itu ia ditempatkan di bagian pers yang dipimpin oleh Mr. Sumanang.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan Bung Hatta menjadi wakil presiden, ia pun diminta mendampinginya sebagai sekretaris. Merasa tak pantas, Wangsa mulanya menampik.
"Sekretaris wakil presiden setidaknya 'kan harus seorang sarjana," kata Wangsa.
Namun, karena didesak, ia akhirnya toh menerima. Dengan surat keputusan pemerintah bertanggal 1 November 1945 ia pun secara resmi menjadi sekretaris wakil presiden.
Sejak itu Hatta dan Wangsa Widjaja boleh dikata tak pernah berpisah lagi. Di mana ada Bung Hatta, di sana pasti ada pria berbadan tinggi langsing bernama Wangsa Widjaja.
Pergantian jabatan yang dialami Bung Hatta, dari wakil presiden menjadi perdana menteri di tahun-tahun 1949 - 1950, tak mempengaruhi hubungan mereka.
Setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari kedudukan wakil presiden pada tahun 1956 — yang membuatnya kehilangan kekuasaan dan kembali menjadi warga negara biasa —, Wangsa tetap mendampinginya dengan setia. Sampai akhirnya ajal memisahkan mereka.
Baca juga: Dwitunggal yang Akhirnya Tanggal: Saat Bung Hatta Berpisah Jalan dengan Bung Karno
Anak petani
Dalam rentang waktu sekian lama, tak aneh kalau lambat laun Wangsa Widjaja berubah dari sekadar sekretaris menjadi salah satu orang kepercayaan Bung Hatta. Bukan hanya untuk urusan-urusan dinas, tapi juga untuk hal-hal yang amat pribadi sifatnya.
"Saya yakin ada hal-hal dan perasaan-perasaan tertentu yang hanya diungkapkan Ayah pada Pak Wangsa," kata Meutia F. Swasono, putri sulung Bung Hatta.
Wangsa dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat, 27 Februari 1911. Ayahnya seorang petani simpatisan Sarekat Islam. Karena itu, selulus dari Volkschool Wangsa yang bemama kecil Iding dimasukkan ke Schakelschool yang didirikan SI.
Setelah itu baru ia melanjutkan pelajaran di sekolah Belanda, Algemeen Nederland Verbond, setingkat SMTA sekarang, di Bandung.
Di Kota Kembang inilah Wangsa berkenalan dengan Turniah, wanita Jawa yang kemudian dinikahinya tahun 1934. "Saya bukan membanggakan, lho. Istri saya itu keturunan bangsawan. Ayahnya Asisten Wedana Gentan, Purwokerto," kenang Wangsa.
Turniah kini telah tiada. la meninggalkan empat anak dan empat belas cucu.
Anak-anaknya, Kurhiat, Tintin, Tato dan Sumarningsih, kini tentunya bukan anak kecil lagi. Kurhiat, yang bekerja di Pertamina, malah sudah pensiun. Maklum, Wangsa juga sudah lumayan sepuh.
Mahasiswa pribadi Bung Hatta
Waktu Jepang masuk, 1942, korannya malahan sampai dibredel. Ini gara-gara Wangsa memuat tulisan bernada antifasisme karangan Bung Hatta.
Wangsa pun jadi penganggur, setelah sepuluh tahun mengasuh Priangan.
Sementara itu, di Bandung Jepang menerbitkan Harian Cahaya untuk menjadi corong pemerintah pendudukannya.
Semua wartawan dikumpulkan untuk bekerja di surat kabar yang dipimpin oleh Otto Iskandardinata itu. Tapi Wangsa menolak bergabung.
Ia pergi mencari kerja di Jakarta dan menemukan lowongan di Surat Kabar Asia Raya. Wangsa lalu menjadi koresponden Asia Raya di Bandung.
Sampai Bung Hatta menariknya bekerja di Putera, beberapa bulan kemudian.
Di bawah bimbingan Bung Hatta, Wangsa kemudian benar-benar jadi orang politik. Ceramah-ceramah Bung Hatta memperluas cakrawala pengetahuannya di bidang sosial, ekonomi dan, terutama, dalam soal-soal politik.
Bahkan, setelah ia menjadi sekretarisnya, dua kali seminggu Wangsa mendapat kuliah privat dari Bung Hatta.
Kuliahnya tidak main-main, lengkap dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Termasuk tugas membaca literatur.
"Buku-buku ini saya kumpulkan dan baca menurut petunjuk beliau," jelas Wangsa sambil menunjuk buku-buku yang berderet rapi di rak yang menutupi sebagian dinding ruang kerjanya.
Baca juga: Des Alwi: Jadi Anak Revolusi Berkat Hatta & Sjahrir
Sering dicaci tamu
Waktu masih jadi sekretaris wapres, Wangsa berkantor di pavilyun gedung kantor wapres di Jl. Merdeka Utara, di samping Istana Merdeka.
Ia dibantu oleh W.I. Hutabarat, wakilnya yang berkantor di pavilyun rumah Bung Hatta, di Jl. Merdeka Selatan 13.
"Dia orang yang paling setia dan bisa dipercaya," Wangsa bercerita tentang koleganya yang ahli mengetik dan stenografi itu.
"Semua surat rahasia negara, dialah yang mengetiknya. Tak pernah ada yang bocor."
Hutabarat, yang juga terus mengabdi Bung Hatta hingga akhir hayatnya, kini telah tiada. Laki-laki yang setahun lebih tua dari Wangsa ini telah meninggal dunia.
Waktu Bung Hatta masih menjadi wapres merangkap perdana menteri, Wangsa paling repot.
Maklum, banyak urusan negara jadi tanggung jawab Bung Hatta kala itu. Sebagai sekretaris wapres, Wangsa pun ikut sibuk.
Baca juga: Mohammad Hatta: Biarlah Indonesia Tenggelam ke Dasar Lautan Kalau Tetap Dikuasai Penjajah
Ia membantu menyiapkan agenda acara sidang kabinet atau mengatur acara dengar pendapat dengan fraksi-fraksi di parlemen, yang rutin diadakan seminggu sekali di rumah Bung Hatta waktu masih di Yogyakarta.
Apa Wangsa juga ikut menyiapkan pidato-pidato Bung Hatta? "Tidak pernah. Bung Hatta selalu menyusun sendiri pidato-pidatonya," jawab Wangsa tegas.
Menyertai perjalanan-perjalanan ke daerah juga menjadi bagian dari tugasnya.
Menurut Wangsa, hampir semua kepulauan di Nusantara ini sudah pernah didatanginya, termasuk Pulau Miangas dekat perbatasan dengan Filipina.
Kalau pejabat-pejabat lain umumnya hanya pergi sampai ke ibu kota propinsi, Bung Hatta sering berkunjung sampai ke pelosok-pelosok. Wangsa sering harus meninggalkan keluarga karena ikut turne bersama Bung Hatta.
Namun, yang paling banyak memakan pikirannya adalah tugas menyeleksi tamu yang ingin menghadap Bung Hatta.
Wangsa diberi kepercayaan menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para tamu.
Hanya masalah-masalah yang sangat prinsipal yang dibawa dan diputuskan sendiri oleh Bung Hatta.
"Saya memang ketat menyeleksi tamu. Soalnya, jumlahnya sangat banyak. Orang atau organisasi yang datang hanya untuk minta sumbangan 'kan tidak perlu bertemu langsung dengan Bung Hatta," kata Wangsa sambil terkekeh.
Orang-orang yang mau mengerti tugasnya bisa maklum jika ditolak, tapi tak jarang Wangsa menerima cacian dari mereka yang tak berhasil menghadap Bung Hatta.
Setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wapres, tugas Wangsa tak banyak berkurang.
Walau tak lagi punya jabatan resmi, Bung Hatta tetap seorang negarawan yang banyak berhubungan dengan pejabat-pejabat dan tokoh-tokoh penting, baik orang Indonesia maupun asing.
Baca juga: Hatta & Buku: Koleksinya Boleh Dipinjam, Asal...
Uang pensiunnya Rp 200 ribu
Wangsa kini tinggal di Jl. Subang, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah yang ditempatinya sejak ia pindah lagi ke Jakarta dari Yogya pada tahun 1950 ini tadinya rumah dinas. Setelah dibeli dengan mencicil, kini sudah menjadi miliknya pribadi.
Waktu dikunjungi di rumahnya yang besar namun sederhana, Wangsa sedang asyik mengetik di ruang kerjanya. Ia tengah merampungkan buku tentang pengalaman dan kenangan pribadinya bersama Bung Hatta.
Buku berjudul Mengenang Bung Hatta tersebut kini sudah terbit.
Menulis bukan satu-satunya kesibukan Wangsa untuk mengisi hari tuanya. Ia juga masih aktif sebagai pengurus Yayasan Idayu dan Koperasi Pensiunan Pegawai Negeri.
Namun, Wangsa lebih banyak bekerja di rumah. Kalau sesekali harus keluar, ia diantar dengan mobil oleh supirnya.
Kondisi kesehatannya yang terus memburuk memaksa Wangsa tak bisa lagi seaktif dulu. "Tahun 1970-an saya masih biasa jalan kaki dari Taman Suropati ke Monas. Sekarang, shalat saja saya lakukan dengan duduk."
Terutama sakit di kakinyalah yang dirasa amat mengganggu. Adanya kelainan pada jaringan sarafnya, membuat kedua tungkai Wangsa kerap membengkak.
Wangsa kini hidup dari honor tulisan dan bukunya, serta tiga uang pensiunnya. Di samping pensiun sebagai pegawai negeri, ia juga menerima uang pensiun sebagai perintis kemerdekaan dan sebagai bekas anggota KNIP.
"KNIP itu 'kan sama dengan DPR sekarang. KNIP-lah yang mengesahkan UUD 1945, presiden dan wakil presiden. Pensiun anggota DPR 'kan besar. Bekas anggota KNIP kok cuma diberi Rp 200 ribu?"
Baca juga: Ketika 'Sang Proklamator' Mendekam Di Istal Kuda