Find Us On Social Media :

Antara Sanro, Mallogo, Barongko, dan Soeharto, Inilah Kisah Masa Kecil BJ Habibie

By Ade Sulaeman, Selasa, 18 April 2017 | 08:35 WIB

Habibie Ingin Kembangkan Sekolah Tanpa Kertas di Indonesia

Intisari-Online.com - Bacharuddin Jusuf Habibie, begitu nama lengkap Habibie — lahir 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan, 155 kilometer dari Ujungpandang.

Habibie yang punya panggilan kesayangan Rudy, adalah anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardoyo, yang berasal dari Yogya.

Saat proses melahirkan Habibie di rumah, sang Ibunda tercinta dibantu oleh sanro, sebutan suku Bugis untuk bidan.

Di rumah yang terletak di Jalan Bau Massepe Nomor 5 Parepare itu, Habibie melewatkan masa balitanya.

Pada waktu pendudukan Jepang, keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie mengungsi ke Kampung Lanrae, Desa Nepo, Kecamatan Mallusetasi.

Tentu, Habibie yang waktu itu masih berusia 6 tahun ikut serta.

Nah, di Desa Lanrae itulah Habibie kecil senang berenang di sungai. Tak cuma sebentar tapi betah berjam-jam.

la juga sering memandikan kuda kesayangannya yang bernama La Bolong alias si Hitam.

Ia memang sangat gemar menunggang kuda, dan bertindak sebagai joki.

Bila sedang bosan menunggung kuda, Habibie kecil kemudian sibuk main layang-layang, kadang main kelereng atau juga mallogo (permainan daerah Bugis menggunakan tempurung kelapa berbentuk segitiga).

Manakala perut sudah keroncongan, aha, ia pun lalu melahap makanan kesukaannya.

Kalau tidak bubur Manado, ya Kue Barongko (semacam kue pisang).

Pindah terus

Habibie cilik tidak lama di Parepare.

Tugas sang Ayah sebagai Kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan membuat seluruh keluarga pindah ke Makassar.

Kebetulan saat itu Overste Soeharto bertugas sebagai Komandan Brigade III Garuda Mataram untuk menumpas pemberontakan Kapten Andi Aziz.

Markas pasukan Brigade III berada di depan rumah Habibie di Jalan Klaperlaan.

Overste Soeharto pun sering berkunjung ke rumah Habibie.

Suatu malam di tahun 1950, ayah Habibie meninggal dunia ketika tengah menjalankan sholat Isa.

Sedang ibunya sedang mengandung anaknya yang kedelapan.

"Ya, waktu itu saya yang baru berusia 13 tahun cuma bisa menangis," kenang Habibie. "Pak Harto memeluk saya, sembari berkata: sabar. Bib. Bapakmu orang baik, meninggal sewaktu sholat."

Sang Ibu pun bersumpah di sisi jenazah suaminya untuk terus menyekolahkan anak-anaknya.

Atas anjuran ibunya, Habibie berangkat ke Bandung masuk SMP 5 dan kemudian melanjutkan di SMA Kristen Jalan Dago.

Lulus dari SMA tersebut, Habibie sempat kuliah sebentar di ITB jurusan elektro.

Tahun 1955, Habibie mendapat bea siswa untuk belajar di Jerman Barat.

Tapi sungguh tak sia-sia ia menimba ilmu di mancanegara.

Berkat kecerdasannya yang luar biasa ia berhasil meraih gelar doktor di bidang konstruksi pesawat terbang dengan predikat summa cumlaude.

Hebat!!

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Bobo dengan judul BJ Habibie, Dari Jalan Bau Massepe ke Jalan Merdeka Selatan. Ditulis oleh Herry Gendut Janarto.)