Find Us On Social Media :

Soegijapranata; Romo Kanjeng dari Solo, Uskup Pribumi yang Pertama

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 14 April 2017 | 06:00 WIB

Mgr. A. Soegijapranata

Intisari-Online.com – Biografi Soegija Si Anak Bethlehem van Java, yang dipublikasikan Penerbit Kanisius (2003), berkisah tentang perjalanan hidup Mgr. Soegijapranata.

Dari masa kanak-kanak dan remaja di Muntilan dan Yogyakarta, periode formasi menuju jenjang imamat di Belanda, hingga kiprah sebagai Vikaris Apostolik (Uskup) Semarang di zaman pendudukan Jepang. Buku ini diangkat dari disertasi Dr. Budi Subanar, SJ. untuk meraih gelar doktor ilmu misiologi di Universitas Gregroriana Roma.

Muntilan, awal abad ke-20, dijuluki Bethlehem  van Java oleh Pater Frans van Lith. Di kota kecil di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu tumbuh bibit-bibit generasi Katolik pertama pribumi Jawa. Mereka tak lain para guru alumni Kolese Xaverius, sekolah yang dirintis para   misionaris Katolik berkebangsaan Belanda yang dipimpin Romo van Lith.

Satu di antara sekian banyak alumnus hasil gemblengan Pater van Lith yang sangat menonjol adalah Monseqneur Soegijapranata, SJ. la kemudian menjadi uskup pribumi Jawa pertama yang memimpin Keuskupan Agung Semarang.

Ditentang orangtua

Lahir di Surakarta, 25 November 1896, Soegija adalah anak kelima dari sembilan bersaudara keluarga Islam Jawa. Ketika itu angka kematian bayi masih tinggi. Agar selamat dan tumbuh sehat, orok Soegija mesti menjalani ritus "pembuangan" di tempat sampah, sesuai ritual yang dianut kala itu.

Semasa kecil, Soegija, juga kakak-adiknya, mendapat tempaan semangat ajrih dan asih (hormat penuh kasih dan rendah hati) dari orangtuanya. la mendapat pendidikan seni kerawitan untuk mengolah rasa dari ayahnya, Karijosoedarmo, abdi dalem Keraton Surakarta, pengikut pujangga besar Jawa, Ranggawarsita.

Tembang yang tiap malam diajarkan sang ayah dipetik dari Kitab Wedhatama. Bunyi liriknya, "Anakku, kamu hendaknya rajin senantiasa melatih ketajaman hatil siang-malam siap  sedia/mengatur tabiat tingkah laku/menguasai keinginan indrawi/agar menjadi orang bennartabat." Tembang itu dilantunkan agar Soegija memiliki watak ksatria dan berbudi luhur.

Kendati gemar menonton pertunjukan tari sebagai ekspresi kehalusan perilaku, ia enggan belajar menari karena tak mau menjadi pusat perhatian. Dari ibunya yang berprofesi pedagang setagen (ikat pinggang kaum perempuan terbuat dari kain), ia mendapatkan latihan askese (mati raga) melalui kegiatan sesirik (berpantang) seperti ngrowot (seharian hanya menyantap sayuran), dan mutih (makan nasi putih).

Orangtuanya kemudian bermukim di Ngabean, Yogyakarta, wilayah tetangga Kampung Kauman, tempat tinggal K.H. Ahmad Dahlan, pendiri gerakan Islam modem, Muhammadiyah. Soegija berkarib dengan seorang kawan yang alim. Juga bergaul dengan anak-anak nakal. Itu sebabnya ia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak keturunan Belanda yang cenderung memandang rendah kaum pribumi.

Pengalaman berjumpa dengan kekristenan didapat Soegija saat bezuk ke Rumah Sakit Petronella. Di rumah sakit yang kini bernama Bethesda itu untuk pertama kalinya ia menyaksikan gambar penyaliban Yesus di Bukit Kalvari.

Soegija menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat di Ngabean, Wirogunan, dan Hollands Inlandsche School (HIS) di Lempuyangan, Yogyakarta. Hasratnya untuk melanjutkan belajar di sekolah Muntilan semula ditentang kedua orangtuanya.