Find Us On Social Media :

Jangan Sepelekan Sesuatu Yang Kita Miliki, Mungkin Itu Serupa Surga Bagi Orang Lain

By Yoyok Prima Maulana, Selasa, 4 April 2017 | 20:30 WIB

Kisah Petani yang Serakah.

Intisari-online.com - Suatu pagi di salah satu sudut bumi Parahyangan, di sebidang tanah garapan yang tak terlalu luas.

Mang Dudung dan Mamat anaknya, pemuda tujuh belas tahunan, sedang bekerja.

Cres, cres, prah, cres, cres, prah. Sesekali berhenti untuk menyeka peluh yang bercucuran.

Wajah boleh sama-sama merona merah, bedanya pada pancaran wajah. Sambil bekerja, Dudung membayangkan panen cabai, wortel, dan sayur-mayur yang akan dipetiknya dalam kurun beberapa bulan ke depan.

Mamat meskipun menampakkan keperkasaan remaja, tapi ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhnya jauh dari bertenaga. Lunglai.

Sorot matanya sayu layaknya sorot pandang anak peminta-minta di perempat jalan di Jakarta.

Sejak setahun lalu ia berniat hengkang ke Jakarta, diajak beberapa teman.

Sayang Dudung berpikir lain. Kalau Mamat pergi, siapa yang membantu dia menggarap ladang?

Apalagi ia merasa peruntungannya baru saja terbuka, saat ia mulai bergabung dengan komunitas pertanian organik.

Mamat terus bekerja walau mulutnya terus cemberut. “Lama-lama siksaan ini serasa di neraka,” batinnya.

Cinta Suci Rahwana

Tiba-tiba terdengar suara orang bercengkerema yang makin mendekat. Dasar sedang jenuh, Mamat segera menemukan alasan. “Pak, aku ke kali dulu. Cuci muka!” teriaknya mencari alasan.