Find Us On Social Media :

Balita Ini Harus Habiskan 20 Jam Sehari di Bawah Lampu Terapi untuk Mengobati Penyakit Liver Langka

By Moh Habib Asyhad, Sabtu, 1 April 2017 | 10:30 WIB

Ismail harus menghabiskan 20 jam sehari di bawah lampu terapi

Intisari-Online.com - Bayangkan, bagaimana rasanya harus menghabiskan 20 jam sehari di bawah lampu terapi khusus? Itulah yang dilakukan Ismail Ali, seorang bocah empat tahun demi mengobati penyakit liver langka yang bersarang dalam tubuhnya.

Penyakit hati langka itu, dalam istilah medis, biasa disebut Chrigler-Najjar atau “penyakit kuning seumur hidup”—yang hanya menyerang sekitar seratus orang di seluruh dunia.

(Baru Beberapa Minggu Menjaga, “Babysitter” Ini Sudah Berikan Livernya)

Saban hari, bocah asli Luton—sekitar 52 km sebelah utara London, Inggris— itu harus duduk di tempat tidur yang sudah dipasangi lampu terapi khusus. Terapi ini sudah ia lakukan sejak ia masih berusia seminggu.

Ismail kehilangan enzim penting yang berperan memecah sel darah merah tua atau usang dalam tubuhnya. Dampak fatalnya, bisa tumbuh racun dalam hatinya.

Untuk mengatasi itu, terapi cahaya digunakan. Syaratnya, ia harus berdiam diri selama 20 jam di bawah lampu terapi itu—tanpa putus.

Karena terapi itu, ibunya, Shahzia Chaudhari (43) bilang bahwa Ismail melakukan segala sesuatunya di bawah lampu itu. Mulai dari makan, bermain laiknya anak kecil lainnya, tidur, dan lain sebagainya.

“Ia tidak punya pilihan lain, sebab jika kami membiarkan racun itu berkembang akan terjadi kerusakan pada otaknya dan ia bisa meninggal dunia,” ujar Shahzia.

Shahzia sadar, ia harus bisa beradaptasi dengan kondisi putranya itu. Ia tidak bisa pergi keluar untuk makan, ia tidak bisa pergi ke pernikahan sanak-keluarga, ia harus selalu siap-sedia berada di sisi ranjang Ismail putranya.

“Tapi kami sangat mencintainya dan itu tidak akan pernah berubah,” tegasnya.

(Olahraga Paintball Menyebabkan Kerusakan Liver?)

Sebenarnya ada alternatif pengobatan lain untuk Ismail, yaitu transplantasi hati. Namun Shahzia dan suaminya, Shazab Ali, takut itu bisa membunuh Ismail. Hal ini karena keluarga ini punya riwayat negatif saat bereaksi terhadap anestesi—ini pernah terjadi pada saudara perempuan Ismail, Saima (18).

Tapi jika Ismail berkata lain, mereka akan tetap mendukungnya. “Jika Ismail memutuskan untuk mengambil transplantasi itu nanti di kemudian hari, kami akan mendukungnya,” tambah Shahzia.

Saat ini, Shahzia dan suami hanya ingin memberi yang terbaik untuk Ismail. Seperti disebut di awal, Ismail mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit ini tak lama setelah dilahirkan pada 2013 lalu.