Find Us On Social Media :

Perjalanan Haji pada 1800-an: Enam Bulan di Bawah Ancaman Kelaparan, Badai, Perompak, dan Wabah Penyakit

By Intisari Online, Rabu, 1 Agustus 2018 | 14:00 WIB

Intisari-Online.com - Perjalanan haji pada masa lalu menyimpan banyak cerita.

Pada masa itu, berhaji merupakan perjalanan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mapan secara ekonomi.

Perjalanan yang dilalui dari Indonesia menuju Tanah Suci juga tak mudah.

Jalur laut menjadi pilihan utama, karena perjalanan haji via udara baru berlaku tahun 1952, dengan tarif yang dua kali lebih mahal daripada dengan menggunakan kapal laut.

Baca juga: Detasemen 81, Pasukan Elit yang Lahir Setelah Luhut dan Prabowo Lulus Sekolah Antiteror Jerman yang Dikenal Sulit

Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 1800-an? Kala itu, sistem perjalanan haji diatur oleh pemerintah Kolonial.

Haji pada Masa Kolonial

Pada abad 18, sistem ibadah haji dikuasai dan dikelola oleh pihak kolonial.

Baca juga: Sering Dianggap Mitos, 'Naga' Ini Ditemukan di China dalam Bentuk Fosil

Pemerintahan kolonial melakukan pendataan terhadap seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji.

Selain itu, mereka melakukan kontrol terhadap sistem perhajian pada masa itu.

Dikutip dari buku " Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890" yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir, Gubernur Jenderal Daendles menetapkan bahwa demi keamanan dan ketertiban, para jemaah haji harus mengantongi dokumen perjalanan selama bepergian ke Tanah Suci.

Pada 1825, calon haji harus membeli sebuah paspor dengan harga 110 gulden di Kantor Bupati. Angka ini termasuk mahal pada masa itu.