Tentang Dua Versi Diorama Supersemar yang Selalu Diributkan

Ade Sulaeman

Penulis

Diorama saat tiga jenderal menemui Soeharto yang tengah terbaring sakit. Mereka menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno.

Intisari-Online.com - Pria itu mengajak saya menuruni tangga menuju sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, di Monumen Nasional.

(Siapa Sangka, Makan Es Krim ketika Sarapan Bagus untuk Kesehatan Mental dan Kewaspadaan)

Ruangan itu berada tiga meter di bawah permukaan tanah. Dinding serta lantainya dilapisi batu marmer dan memiliki luas 80 x 80 meter.

Baru sebentar berjalan, ia berhenti sambil menunjuk ke sebuah kotak kaca.

Di dalam kotak tersebut terlihat diorama seorang pria paruh baya terbaring di atas kasur dengan memakai piyama hijau tua dan kain sarung motif kotak-kotak berwarna kuning.

(BJ Habibie: Didorong Soekarno Ditarik Soeharto)

Di sisi sebelah kanan tempat tidur, duduk tiga orang pria berpakaian dinas kemiliteran. Ketiganya mengarahkan tatapan kepada pria yang tengah terbaring, seolah mendengarkan arahan.

"Itu diorama yang selama ini selalu menjadi perhatian dan diributkan," ujar Nur Samin, staf Pelayanan dan Kehumasan Kantor Pengelola Kawasan Monumen Nasional, yang mendampingin saya siang ini.

Sehari-hari, dia menjadi pemandu para pengunjung yang mengunjungi Museum Sejarah Monas.

Di tempat itu, tersimpan 51 peragaan sejarah (diorama), yang mengabadikan periode kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia, masa perjuangan kemerdekaan, hingga masa pembangunan Orde Baru.

Menurut Nur Samin, diorama yang dikisahkannya merupakan penggambaran salah satu peristiwa terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Diorama itu mengisahkan tiga jenderal, yakni Basuki Rahmat, Amirmachmud, dan M Jusuf, mendatangi Soeharto yang sedang terbaring sakit di rumahnya di kawasan Jalan Haji Agus Salim, kemudian menyerahkan Surat Perintah 11 Maret dari Soekarno.

Sebelumnya, mereka bertiga menemui Soekarno yang pada saat itu sedang berada di Istana Bogor karena situasi genting di Jakarta.

Nur Samin menceritakan, seluruh diorama yang berjumlah 51 itu dikerjakan oleh tim ahli sejarah dan seniman di bawah pimpinan Nugroho Notosusanto.

Sementara, seniman yang membuatnya adalah Edhi Sunarso asal Yogyakarta.

Tim ahli sejarah dan tim seniman tersebut ditunjuk langsung oleh Soekarno untuk membuat diorama sejarah yang akan ditempatkan di Monas setelah monumen itu selesai dibangun.

"Sebanyak 26 konsep diorama di sesi 1 sampai 3 dibuat pada era Presiden Soekarno, sisanya pada sesi 4 konsepnya dikerjakan pada era Presiden Soeharto," kata Nur Samin, ketika ditemui, Senin (10/3/2016).

Menurut Nur Samin, sebagian konsep diorama selesai pada tahun 1960-an, sebagian lagi selesai tahun 1970-an.

Pengerjaan dan pemasangan diorama dilakukan pada tahun 1972 hingga 1978.

Terkait Supersemar, Nur Samin pernah mendapatkan cerita dari seorang asisten Nugroho Notosusanto bernama Saleh.

Menurut Saleh, ada dua diorama yang dibuat untuk menggambarkan peristiwa 11 Maret 1966.

Satu diorama terdapat di Museum Satria Mandala, yang menggambarkan peristiwa penyerahan Surat Perintah dari Soekarno kepada tiga Jenderal di Istana Bogor dan satu diorama lagi berada di Monas.

"Itu yang diceritakan Saleh kepada saya. Jadi saya tekankan sekali lagi bahwa yang ada di Monas ini adalah diorama Pak Soeharto bersama tiga Jenderal," kata Nur Samin.

Citra melalui diorama

Sementara itu, peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan, diorama tersebut justru menggambarkan peristiwa tiga jenderal bertemu dengan Soeharto sebelum berangkat ke Istana Bogor.

Diorama yang ada di Monas, kata Asvi, sudah dirancang pada tahun 1964, kemudian mengalami berbagai perubahan pada masa era Orde Baru tahun 1970.

"Diorama yang terkait Soekarno seperti lahirnya Pancasila 1 Juni, Dekrit Presiden 1959 dan Ganefo 1963 dihilangkan dan diganti dengan diorama Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Diorama Supersemar ditambahkan belakangan," kata Asvi, kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (6/3/2016).

Asvi menjelaskan, diorama Supersemar dibuat pada tahun 1976 dengan melakukan rekonstruksi terlebih dahulu di Jalan Agus Salim, kediaman Soeharto sebelum pindah ke kawasan Sendana.

Rekonstruksi itu dihadiri sendiri oleh Presiden Soeharto, Jenderal Amir Machmud, Jenderal Jusuf, Nugroho Notosusanto dan Edhi Sunarso.

Terjadi diskusi apakah Soeharto ingin digambarkan memakai seragam lengkap tentara atau memakai piyama.

Akhirnya digambarkan Soeharto sedang terbaring di tempat tidur, sedangkan tiga orang jenderal duduk di kursi di samping ranjang.

Menurut analisis Asvi, apabila Soeharto digambarkan memakai seragam, tampaknya kurang masuk akal.

Diberitakan, pada tanggal 11 Maret 1966 Soeharto tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.

Sebaliknya, jika memakai piyama akan tampak kurang berwibawa.

Melalui diorama tersebut, menurut Asvi, sebenarnya Soeharto ingin menyampaikan pesan bahwa ia adalah pihak yang pasif, sedangkan ketiga jenderal itu aktif pada masa-masa peralihan kekuasaan.

"Itu menurut keterangan dari Edhi Sunarso sendiri saat diwawancarai McGregor untuk bahan disertasi. Edhi Sunarso bilang diorama itu untuk memperlihatkan kepasifan Soeharto. Seakan ia tidak berniat apalagi bernafsu untuk mengambil kekuasaan," kata Asvi.

Artikel Terkait