Find Us On Social Media :

Seperti Penyakit Menahun, Banjir Jakarta Sudah Ada Sejak Zaman Tarumanagara

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 21 Februari 2017 | 13:00 WIB

Inilah Peta Digital Banjir Jakarta Per 21 Januari

Intisari-Online.com - Tak usah kaget dengan banjir yang melanda Jakarta. Bagaimana tidak, banjir Jakarta sudah ada sejak zaman Tarumanagara. Tentu saja ini bukan excuse untuk Jakarta yang sampai sekarang masih terus banjir, namun sedikitnya ini suatu hiburan karena banjir bukan datang akhir-akhir ini saja, tapi sudah sejak zaman baheula.

Inilah sejarah banjir di Jakarta yang berhasil dikumpulkan oleh Siswadhi, dan dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982.

BANJIR atau genangan air dan berawa-rawa ini merupakan penyakit menahun bagi Jakarta sejauh ingatan orang, dan malah dalam masa yang sudah lama hilang dari ingatan Jakarta selalu diganggu oleh masalah air. Dari masa yang paling dini, semasa kerajaan Tarumanagara, prasasti Tugu sudah menyebutkan adanya banjir dan penanggulannya dalam abad ke lima Masehi.

(Bagi yang Ingin Keluar Rumah, Waspadai 54 Titik Banjir di Jakarta Ini)

Berabad-abad setelah Purnawarman, pendatang-pendatang asing mengunjungi bandar yang bernama Jakarta atau Jayakarta yang letaknya di muara Ciliwung. Kota ini seakan-akan terletak di rawa, terpisah dari teluk oleh gosong-gosong lumpur, yang pada waktu surut hanya digenangi oleh air hampir satu kaki.

Dalam musim hujan kota ini tak jarang digenangi oleh air limpahan Ciliwung atau Sungai Besar, sedang di musim air kemarau airnya sangat sedikit. Keadaan tata air di Jakarta dikatakan sangat buruk.

Itu kata pengamat Belanda,yang waktu itu masih berdagang dan kapal-kapalnya sering menyinggahi bandar itu. Tetapi tempat yang tata airnya buruk itu agaknya mempunyai daya-tarik besar. Buktinya mereka minta dan diberikan izin oleh penguasa Jayakarta untuk mendirikan gudang dan pangkalan di muara Ciliwung.

Gudang yang merangkap kantor itu didirikan pada 1612 di sebelah timur muara kemudian ditetapkan menjadi kantor pusat, tempat pertemuan kapal-kapal Belanda dan pusat perdagangan. Pilihan itu jatuh pada kota Jakarta karena letaknya di tengah jalur pelayaran ke Timur (Maluku) dan Barat. Dalam pertikaiannya dengan bupati Jayakarta, dan Inggris, akhirnya pada tahun 1619 Jakarta diserbu dan dibakar habis.

Belanda menggali parit

Di atas puing-puing Jakarta didirikan kota yang diberi nama menurut nama benteng tertua, yakni "Batavia". Kota itu dibangun menurut pola perencanaan sebuah kota Belanda. Terusan-terusan digali berhubungan dengan Sungai Besar (Ciliwung). Terusan yang memotong-motong kota dimaksudkan untuk drainase dan lalulintas air, sedangkan yang dibuat melingkungi kota tujuannya ialah pertahanan.

Karena sungai membawa lumpur dari pegunungan, maka kemudian terusan-terusan itu mengalami pendangkalan. Untuk mengatasi itu diadakan pengerukan-pengerukan. Pengembangan kota mula-mula ke arah Selatan dan Timur, kemudian juga ke arah Barat, jadi ke tepi kiri Ciliwung memerlukan perluasan sistem terusan ini.

Di dalam kota Batavia terdapat sejumlah enambelas terusan yang masing-masing diberi nama seperti Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht dan sebagainya.