Find Us On Social Media :

Tak Ingin Bahagia Sendirian, Bocah 6 Tahun Ini Membagi Mainan untuk Anak-anak Kurang Beruntung Lain

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 21 Februari 2017 | 12:00 WIB

Blake yang tak ingin bahagia sendirian

Intisari-Online.com - Malam itu Blake masuk ke kamar ibunya, Melissa. Tapi karena sudah waktunya tidur dan ia harus belajar mandiri, ibunya pun menyuruh Blake kembali ke kamarnya.

Tapi Blake benar-benar ingin bicara dengan ibunya. Lagian, ibunya pernah bilang kepadanya, “Jika kau tidak mendengarkan mereka bicara tentang hal-hal yang kecil, mereka tak akan memberitahumu hal-hal yang besar.” Melissa pun menyerah, ia mempersilakan Blake meringkuk di sampingnya.

(Seorang Bocah Tak Dikenal Memberi Kejutan pada 1.500 Temannya supaya Tak Kesepian di Hari Valentine)

Dalam obrolan malam itu, Blake bilang bahwa ia berencana membersihkan kamarnya. Ada begitu banyak kekacuan di dalamnya yang disebabkan oleh mainan-maiannya. Ia merasa frustrasi dan menyebut bahwa mainannya terlalu banyak.

“Aku kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mainan-mainan itu adalah anugerah, bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung ia yang punya banyak mainan. Bahkan ada yang tidak punya mainan sama sekali,” ujar Melissa, kepada Metro.co.uk.

Tak pelak, apa yang dikatakan Melissa itu benar-benar menyentuh hatinya. Blake sedih mendengarnya.

Dan … kesedihan itu memberinya ide.

Seketika itu ia mengutarakan apa yang ada di benaknya kepada ibunya. Ia akan mendirikan stan di depan rumah, lalu menawarkan mainannya, terutama bagi mereka yang membutuhkan.

“Ia tahu apa yang bahkan aku tidak tahu. Ia bilang padaku, ‘Mereka bisa memiliki barangku, Mam. Aku akan memberikannya pada mereka.’ Dari situlah ide itu kemudian dieksekusi,” terang Melissa.

Malam itu juga, Blake begitu bersemangat pergi ke kamar tidurnya. Ia kemudian membongkar mainan-mainannya supaya esok lebih siap untuk mengubah ide menjadi kenyataan. Ia memilih sendiri mainan mana saja yang akan ia berikan.

Keesokan harinya ia terbangun dengan wajah yang tampak lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya. Ia lalu memanggil ibunya, memintanya melanjutkan memilih mainan mana saja yang akan ia bagikan secara gratis.

Setelah beres memilih mainan, mereka bergeser ke depan dan melanjutkan membuat stan. Untuk menarik minat orang-orang, stan itu dilengkapi dengan tulisan: “Datanglah ke rumah Blake! Kami punya mainan gratis untuk kalian semua.”

Hari itu, Blake bersama ibunya menunggu stannya yang berada di taman depan selama kurang lebih enam jam—Blake bahkan menyeret sofa ruang tamunya supaya ia bisa duduk dengan lebih santai.

“Aku selalu menemaninya. Ketika ia hendak pergi, saya telah siap (menggantikannya). Selama ia duduk di sana, saya pun duduk di sana. Bersamanya. Ia tidak peduli dengan pujian. Pokoknya, ia hanya ingin memberikan mainan-mainannya,” lanjut Melissa.

Tapi sayang, hari itu tak satu pun orang mengunjungi stannya.

Blake bersedih. Ia mengadu kepada ibunya. Dengan melelehkan air mata ia meminta ibunya menuliskan sesuatu supaya para ibu yang tinggal di sekitar rumahnya tahu niat baiknya. Melisa pun ikut bersedih, ia tak tahu apa yang mesti ia lakukan untuk putranya itu.

“Ia benar-benar menginginkan ini dan aku menginginkan ini untuknya. Aku tidak tega bilang tidak. Jadi, satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menulis di situs cuci gudang lokal. Aku memohon para ibu-ibu datang, dan beberapa melakukannya,” cerita Mellisa.

Esoknya, Blake benar-benar dalam kesibukan. Orang pertama yang datang ke stannya adalah seorang kontraktor yang bekerja di seberang jalan, yang mengambil mainan untuk cucunya di Belize. Tapi alih-alih mengambilnya gratis, si kontraktor menebusnya dengan uang 5 dolar AS.

Karena sejak awalnya niatnya adalah membagikan mainannya itu secara gratis, Blake bersikeras akan menyumbangkan uang itu.

Setelah si kontraktor, datang seorang ibu bersama kedua anaknya. Mereka datang dengan membawa dua mainan pengganti untuk Blake, sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi mereka pencerahan. Blake menerima hadiah itu dan dengan senang hati mengarahkan dua bocah itu memilih mainan mana yang mereka suka.

Setelah itu datang keluarga lainnya, mengambil buku untuk bayi laki-lakinya. Dan yang terakhir datang adalah guru Blake. Bukan untuk mengambil mainan, melainkan memberi dukungan kepada muridnya itu. Tak mau melihat gurunya balik badan dengan tangan kosong, Blake memutuskan menyumbangkan sebagian mainannya untuk sekolahnya.

Blake bahkan hendak menyumbangkan topi Captain America favoritnya untuk sekolahnya itu.

Ia benar-benar sedih ketika melihat orang lain sedih, ia bersukacita ketika orang lain bersukacita. Ia akan memastikan semua orang di kelasnya memiliki apa yang ia sumbangkan. Meminjam istilah Melissa, satu kata yang pantas disematkan kepada Blake: kemanusiaan.