Intisari-Online.com – Dalam kondisi kemacetan total di jalanan, Zico iseng membaca stiker di bodi belakang bak kendaraan angkutan di depannya.
Gambar Presiden RI kedua Soeharto tersenyum simpul sambil melambai. Teksnya berbunyi: “Piye kabare? BBM mundhak meneh yo …! Penak jamanku to …? “ (Jw: Apa kabar? BBM naik lagi ya …! Enak zaman saya kan …?”).
Zico tak tahu harus tersenyum geli atau kecut. Ia ingin mengonfirmasi mencari tahu.
“Apa? Zaman Orde Baru lebih enak? Kata siapa? Tidak ada kebebasan bicara seperti sekarang, bla … bla … bla …” Om Bram yang pensiunan wartawan nerocos sambil menyeruput kopinya.
Baca juga: Kisah Menyentuh Nelson Mandela, Selalu Ada Sisi Lain di Balik Sisi Jahat Manusia
“Tapi Yang, coba deh, dulu zaman Pak Harto KB sukses, ibu-ibu dan keluarga di pelosok mudah lebih terjamin layanan kesehatannya,“ Tante Nus yang bidan itu menanggapi sambil melirik suaminya.
Zico mendengarkan sambil asyik berselancar di gadget-nya. Nelson Mandela meninggal. “Mandela … berkorban begitu banyak demi kemerdekaan dan kesetaraan, demokrasi dan keadilan,” kata Sekjen PBB Ban Ki Moon.
Namun, wilayah Alexandra di Johannesburg, tempat tinggal pertama Mandela pada tahun 1940 masih sama miskin dan compang-campingnya seperti 70 tahun lalu. Dalam 20 tahun terakhir, ketidaksetaraan makin menjadi-jadi. Warga miskin di Alexandra masih menantikan hasil kepahlawanan Mandela bagi mereka.
Bagaimana menilai kualitas seorang pemimpin? Termasuk menilai diri kita di “dunia” kecil kita?
Baca juga: Nelson Mandela, Pejuang Sekaligus Pemimpin Inspiratif dengan Sejuta Nama
Lalu Zico teringat ini: “Kalau tindakan Anda menginspirasi orang lain untuk lebih bermimpi, belajar, berbuat dan menjadi sesuatu, Anda adalah pemimpin luar biasa.”
Yang mengatakannya “hanya” seorang Dolly Parton. Ah, Dolly, penyanyi country itu. Idenya tentang kepemimpinan ternyata tak kalah seksi dari tampilan dan suaranya. (LW)
Baca juga: Fakta Menarik Seputar Negara Republik Tertua di Dunia, di Antaranya Punya 2 Pemimpin Negara!