Penulis
Intisari-Online.com – Sekitar 60 persen kanker yang menyerang anak adalah kanker darah. Serangan paling tinggi terjadi pada anak 2 – 6 tahun.
Belum lama ini, putri semata wayang Denada, Shakira Aurum didiagnosis menderita leukemia. Saat ini, gadis lima tahun itu sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura.
Kenali gejalanya, seperti ditulis oleh Nanny Selamihardja dan K. Tatik Wardayati dalam Majalah Intisari edisi Extra Keluarga Sehat 2013 lalu.
--
Domi, 1 tahun 5 bulan, mengalami demam hingga berhari-hari, dengan suhu tubuh mencapai 41,9oC. Obat penurun panas dari jenis parasetamol hingga ibuprofen sudah diberikan. Suhu badannya sempat turun sebentar, tapi ketika reaksi obat hilang, suhu tubuh pun kembali naik. Dan itu berlangsung hingga hampir seminggu.
Dokter lalu menyarankan untuk melakukan tes darah, apalagi ketika dilihat warna putih pada bola mata Domi tidak cerah. Hasil tes darah menunjukkan tingginya leukosit (sel darah putih) hingga 14.000 per μL. Dalam keadaan normal leukosit berada pada range 4.800 – 10.800 μL.
Dokter pun memberikan obat-obatan untuk domi dan harus kontrol setiap dua pekan selama enam bulan. Jika dalam enam bulan tidak ada perubahan, Domi harus melakukan transfusi darah pertama. Jangan sampai leukosit dalam darahnya mencapai 20.000 per μL, karena saat itulah si anak terkena leukemia.
Baca juga: Anak Denada Sakit Leukemia: Ternyata Pakaian dan Sepatu Bisa Picu Leukemia Lho
Gejala penyakit pada anak seperti diderita Domi patut kita waspadai. Sebab hampir 60% kanker yang dialami anak-anak adalah kanker darah atau leukemia. Sayangnya, ketika dibawa ke rumah sakit sebagian besar sudah dalam tahap akut. Oleh karena itu, orangtua harus mengetahui karakteristik dari leukemia pada anak-anak.
Leukemia paling umum terjadi pada anak usia 2 – 6 tahun. Tapi kanker ini juga bisa terjadi pada semua kelompok umur. Kelompok penderita terbesarnya adalah anak-anak dan orangtua di atas 50 tahun.
Pucat dan lesu
Leukemia merupakan penyakit ganas progresif pada organ pembentuk darah, akibat terjadinya proliferasi (invasi serta penggandaan) tidak terkendali dari sel induk darah yang ganas.
Gempuran serta penggandaan tidak terkendali pada sumsum tulang belakang tersebut dapat menyebabkan induk-induk sel darah sehat menjadi terdesak. Konsekuensinya, produk induk sel darah merah, sel darah putih maupun sel pembeku darah (trombosit) menjadi tidak cukup.
Baca juga: Bukannya Malu, Wanita Ini Malah Selamatkan Bocah Penderita Leukemia Gara-gara Salah Kirim Foto
Tidak heran kalau penderita mengalami gejala seperti pucat dan lesu karena kekurangan sel darah merah, mudah demam dan rentan terhadap infeksi karena kekurangan sel darah putih normal, serta mudah mengalami perdarahan karena kekurangan sel pembeku darah.
Bercak-bercak memar yang terjadi pada anak-anak menandakan sudah terjadinya perdarahan pada kulit. Anak-anak juga mengalami nyeri tulang akibat akumulasi abnormal sel-sel darah putih
Jika proliferasi pada sumsum tulang belakang tadi sudah demikian penuh, serangan beralih ke organ luar sumsum (infiltrasi), seperi limpa, hati, dan kelenjar getah bening. Maka pada organ-organ tersebut terjadi pembengkakan atau infeksi. Yang paling fatal kalau serangan sampai ke susunan saraf pusat.
Serangan pada induk sel darah merah, disebut leukemia darah merah. Kalau pada induk sel darah putih disebut leukemia sel darah putih. Gangguan pada induk mielosit disebut leukemia mielosit. Penyakit ini disebut dalam kategori akut kalau perkembangbiakannya rata, cepat, dan sekaligus. Disebut kronis bila perkembangbiakannya perlahan-lahan dan tidak teratur alias ngawur.
Baca juga: 6 Gejala Sederhana Ini Bisa Menjadi Tanda Anda Terkena Leukemia, Salah Satunya Sering Demam!
Kans sembuh anak lebih tinggi
Berdasarkan perjalanan penyakit serta jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah tepi, maka leukemia dibagi menjadi leukemia limfositik akut (LLA), leukemia mielositik akut (LMA), leukemia limfositik kronis (LLK), dan leukemia mielositik kronis (LMK). Pada umumnya leukemia terjadi pada anak-anak adalah LLA, sedangkan pada orang dewasa adalah LMA dan LMK.
Menurut pengamatan Prof. Dr. H. S. Moeslichan, Sp.A (K), Pelindung Yayasan Onkologi Indonesia (YOAI), walaupun pada anak sifatnya akut, kemungkinan untuk sembuh lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dewasa kronis, “Asalkan diupayakan pengobatan dengan segera, secara intensif dan tepat. Kalau tidak segera ditanggulangi, dalam tiga bulan pasien tidak akan tertolong jiwanya,” tegas Moeslichan.
Berdasarkan data YOAI, setiap tahun ditemukan 650 kasus kanker baru di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta. Dan sebanyak 70% merupakan penderita leukemia. Pada tahun 2006, jumlah penderita leukemia rawat inap di rumah sakit di Indonesia sebanyak 2.513 orang. LLA pada anak-anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.
Jumlah anak penderita leukemia di salah satu rumah sakit di Jakarta, yaitu RS Dharmais, setiap tahun meningkat, yaitu 10 orang pasien (2006), 6 pasien (2007), 16 pasien (2008), 25 pasien (2009), 31 pasien (2010), dan 35 pasien (2011).
Sementara, pada tahun 2000, kurang lebih 3.600 anak didiagnosa menderita leukemia di Amerika Serikat, dengan insiden per tahunnya adalah 4,1 kasus baru per 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun.
Meski pada leukemia akut anak kemungkinan untuk sembuh cukup tinggi, Moeslichan menekankan betul pentingnya pengobatan yang sangat cermat dan hati-hati.
Strategi pertama, pelajari dulu secara teliti cara hidup sel kankernya. Kemudian sel kanker “ditembak” dengan obat suntikan sitostatika secara periodik selama enam minggu. Memang efek samping tidak bisa dihindari; sel-sel sehat ikut terkena, meski hanya sebagian kecil. Hal ini dapat ditolong dengan transfusi darah (tergantung sel darah mana yang kurang) serta obat antibiotik.
Dua tahun
Menurut Moeslichan, “sang musuh” terkadang suka bersembunyi dalam cairan otak (meningen). Kalau demikian kasusnya, obat harus sekali lagi dimasukkan ke dalam rongga otak.
Selanjutnya untuk mencegah agar tidak muncul lagi dalam jaringan otak, dilakukan radioterapi (penyinaran) selama 1,5 bulan. Masih ditambah lagi obat yang bersifat pemeliharaan agar sel ganas tidak kambuh lagi.
Umumnya, lama pengobatan yang dianggap aman berkisar dua tahun. Namun setelah itu tetap dilakukan pengontrolan serta imunoterapi dengan memperhatikan faktor gizi.
Agar anak sehat dan tumbuh normal, perlu diberi makanan yang cukup mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Tentang hal ini lebih baik meminta saran ahli gizi.
Tidak sedikit memang biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan leukemia ini. Partisipasi masyarakat, misalnya dalam bentuk dana melalui Yayasan Kanker Indonesia, sangat membantu penderita kurang mampu.
Ratusan ribu rupiah satu tablet
Sementara itu, pengobatan yang paling menjanjikan pada leukemia kronis adalah transplantasi sumsum tulang belakang. Namun, kesulitannya terletak pada usia, kondisi pasien yang tidak cukup sehat untuk menjalani transplantasi, tidak adanya donor yang sesuai, serta prosedur transplantasi sendiri yang berisiko menyebabkan kematian atau efek samping yang cukup serius.
Terapi lain dengan interferon-alfa atau obat-obatan sitostatika lain. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah memberikan persetujuan pemakaian ST1571 dari AS (nama dagang Glivec) melalui pendekatan molekuler, khususnya untuk menangani leukemia mielositik kronik semua stadium.
Obat ini diklaim mampu menghancurkan serta membasmi menghancurkan serta membasmi protein abnormal Bcr-Abl yang memicu perkembangan sel kanker.
Keunggulan obat ini hanyalah membunuh sel abnormal, sedang sel yang normal tetap tidak terganggu. Dalam satu bulan pasien memerlukan 120 tablet obat. Karena harga satu tabletnya cukup mahal yakni mencapai ratusan ribu rupiah, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita dari koceknya sungguh cukup dalam.
Baca juga: Mengharukan! Demi Pengobatan Anaknya yang Menderita Leukemia, Ayah Ini Rela Jadi Badut Jalanan
Meski mahal, bukan berarti tidak bebas efek samping. Artinya, penderita bisa merasakan mual, pembengkakan sekitar mata, kram otot, sakit tulang, dan muntah-muntah akibat minum obat ini.
Pada umumnya, penderita dewasa hanya bertahan 4 – 5 tahun. Semua pengobatan pun tetap didukung oleh faktor-faktor individual yang membantu penyembuhan, seperti pola hidup, daya tahan tubuh, dll.
Sel punca
Kini yang lebih populer adalah penggunaan sel punca dari darah tali pusat. Alih-alih dibuang atau dikubur, darah yang berasal dari tali pusat bisa disimpan dan kelak dipakai jika bayi menderita penyakit. Dalam darah tali pusat terkandung sel punca hematopoetic (HSCs) atau sel punca pembentuk darah.
Selain di tali pusat, HSCs sebenarnya juga ditemukan pada sumsum tulang belakang dan darah tepi. Sel punca dari tali pusat lebih muda dan murni. Karena sudah disimpan sejak awal, lebih mudah didapatkan jika diperlukan karena tak perlu donor.
Sel punca sudah banyak dipakai dalam mengobati penyakit kanker darah, seperti leukemia ini, bahkan sudah digunakan dalam 30 tahun terakhir ini. Demikian dilansir dari kompas.com.
Yang jelas, setelah keadaan pasien dinyatakan pulih, hendaknya jangan lupa untuk terus mengontrolkan diri serta menjalani pola hidup sehat, misalnya melakukan olahraga yang tepat secara teratur dan mengonsumsi makanan sehat.
Baca juga: Putra Pertama Farhan Meninggal karena Leukemia: Metode-metode Pengobatan Leukemia