Harlah NU: Kecewa terhadap Masyumi, Nahdlatul Ulama pun Sempat Menjadi Partai Politik

Ade Sulaeman

Penulis

Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah jadi partai politik dan ikut pemilu

Intisari-Online.com -Salah satu kejutan yang terjadi pada Pemilihan Umum 1955 (pemilu pertama di Indonesia pascakemerdekaan) adalah melejitnya suara Nahdlatul Ulama (NU). Bukan sebagai organsasi kemasyarakatan berasis Islam, melainkan sebagai partai politik. Bagaimanapun juga, NU adalah pemain baru dalam bidang politik saat itu.

(Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah Mengharamkan ISIS)

Saat itu NU berada di posisi ketiga dengan 45 jumlah kursi, di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Sementara posisi keempat dan kelima adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Politik sejatinya bukan tujuan utama didirikannya NU. Ini bisa kita baca dalam Khittah 1926 (semacam AD/ART) yang digunakan sebagai pedoman NU menjalankan roda organisasinya. NU berdiri pada 31 Januari 1926.

Lalu kenapa NU akhirnya ikut berpolitik?

Soal ini ada baiknya kita membaca buku Greg Fealy berjudul Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa karier politik NU dimulai ketika NU secara resmi memisahkan diri dari Masyumi. Perpecahan ini tentu menjadi pukulan telak untuk Masyumi.

Situasi ketika Pemilihan Umum 1955

Bagaimanapun juga, waktu itu NU adalah organisasi islam yang mengakomodasi golongan islam tradisional paling besar. Ada banyak versi soal bagaimana NU dan Masyumi pecah. Ada yang mengatakan bahwa NU kehilangan tempat di menteri agama, ada pula yang bilang bahwa para ulama tradisional kurang diberi tempat untuk menyampaikan keputusan dalam Masyumi.

Lebih dari itu, perpecahan di tubuh Masyumi sendiri sangat kompleks. Yang paling menonjol dalam kasus perpecahan Masyumu-NU adalah pertentangan antara kelompok tradisional dengan kelompok modernis. NU adalah organisasi tradisional terbesar dalam tubuh Masyumi kala itu, sementara untuk golongan modernis diwakili oleh Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad.

Ketegangan antara NU dan Masyumi mencapai puncaknya pada awal tahun 1952. Saat itu kabinet Masyumi-PNI pimpinan Soekiman berakhir setelah berbulan-bulan mengalami kekacauan akibat perjanjian rahasia dengan Amerika. Pembentukan kabinet baru menghadirkan drama politik selama lima minggu dan mendorong NU benar-benar menarik diri dari Masyumi.

Dalam lobi awal Masyumi, sudah terlihat jelas bahwa upaya NU untuk mempertahankan jabatan Menteri Agama di kabinet yang baru mengalami banyak hambatan. NU tidak mempunyai calon yang kuat pascapernyataan Wahid Hasyim yang tidak bersedia lagi mencalonkan diri sebagai Menteri Agama.

Di sini kita bisa melihat pergolakan yang hebat di tubuh Masyumi dan NU. NU pun berusaha mati-matian agar jabatan Menteri Agama tidak lepas dari tangan NU. Selain itu dari kalangan modernis, Muhammadiyah, telah mengajukan calonnya untuk jabatan tersebut. Tak hanya itu, secara terpisah Muhammadiyah juga membuat pernyataan bahwa NU telah melakukan kesalahan dalam mengelola Departemen Agama dan lebih banyak memanfaatkannya untuk kepentingan kelompok daripada kepentingan umat pada umumnya.

NU pun semakin terpojok. Secara tidak langsung pernyataan itu menyulut keinginan yang begitu besar dalam diri NU untuk segera lepas dari Masyumi dan berdiri sendiri dengan mendirikan partai politik sendiri. Dengan cara ini NU berharap bisa duduk di parlemen dan mendapatkan jabatan yang ingin dipegang, yaitu Menteri Agama.

Dalam perjalanan selanjutnya, seperti dikutip dari Nu.or.id, NU merasa tidak nyaman berada di zona politik. Lalu pada 1984, ketika berada di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU mengumumkan tidak lagi menjadi organisasi/partai politik. NU telah kembali ke Khittah 1926 yang jadi pedoman itu.

Artikel Terkait