Penulis
Intisari-Online,com - Radio merupakan salah satu alat komunikasi utama dan bersejarah saat Bung Tomo membakar semangat bangsa untuk melawan penjajah. Namun, radio perjuangan Bung Tomo itu telah sirna.
Lahan bongkaran rumah di Jalan Mawar Nomor 10, Surabaya, itu masih ditutup rapat dengan seng, Kamis (12/1/2017) siang. Segel berwarna kuning berlabel Satpol PP Surabaya juga masih menggantung mengelilingi seng penutup berwarna hijau.
Di depan lahan tersebut, terparkir sejumlah kendaraan yang pemiliknya sedang makan siang di seberang jalan. Seakan terlupakan, bongkaran rumah tersebut menyimpan sejarah perlawanan bangsa Indonesia dalam perang melawan sekutu di Surabaya 51 tahun lalu.
Di salah satu ruang di rumah itu, pejuang asal Surabaya, Bung Tomo, mendirikan studio Radio Pemberontakan Republik Indonesia dengan pemancar portabel.
Studio itu terpaksa diciptakan karena RRI saat itu masih ragu dengan sepak terjang Bung Tomo.
Dari ruang itulah, perang 10 November kemudian berkobar. Dari ruang itu, ratusan ribu pejuang Surabaya tersulut semangatnya untuk mengangkat senjata berperang melawan penjajah pada 10 November 1945 hingga Surabaya dijuluki Kota Pahlawan.
Jejak sejarah itu kini benar-benar hilang. Pertengahan Desember 2016 lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya mengabulkan permohonan PT Jayanata, selaku pemilik lahan dan bangunan rumah, atas penghapusan surat keputusan (SK) cagar budaya bangunan bersejarah.
Liliek Eko Poerwanto, Ketua PTUN Surabaya yang sekaligus Ketua Majelis PTUN yang memutus perkara tersebut, menjelaskan, ada tiga pertimbangan hakim mengabulkan permohonan Jayanata.
Pertama, keterangan saksi dari dinas yang menangani masalah cagar budaya yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut sudah hancur tanpa bekas. Kedua, ada peraturan yang menyebutkan bahwa syarat terhapusnya cagar budaya ialah ketika bangunan dimaksud sudah hancur dan tidak ada wujudnya.
"Jadi, syarat sebagai cagar budaya sudah gugur karena obyek fisik bangunannya sudah hancur," katanya.
Alasan ketiga, kata dia, adanya fakta sebelum Jayanata mengajukan pencabutan SK cagar budaya ke PTUN, Jayanata sudah mengajukan permohonan yang sama ke Pemkot Surabaya, tetapi tidak ada respons hingga 10 hari kerja.
"Permohonan pencabutan SK tidak direspons selama 10 hari kerja sehingga permohonan dianggap dikabulkan," ujarnya.
Keputusan PTUN itu, menurut dia, sudah mengikat dan berkekuatan hukum tetap sehingga Pemkot Surabaya tidak bisa melakukan upaya banding ke pengadilan di atasnya.
"Perkara ini disebut permohonan fiktif positif, sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015," ujarnya.
Rumah cagar budaya yang berlokasi di Kecamatan Tegalsari itu ditetapkan melalui SK Wali Kota Surabaya No 188.45 Tahun 1998.
Mei 2016 lalu, bangunan tersebut dibongkar hingga rata dengan tanah. Kelompok pemerhati dan pelestari cagar budaya melaporkan aksi pembongkaran tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Trimoelja D Soerjadi, salah satu tim hukum yang melaporkan pembongkaran rumah bersejarah Bung Tomo, mengaku masih akan membahas keputusan PTUN Surabaya tersebut dengan anggota tim yang lain.
"Kami menyayangkan keputusan tersebut, tetapi kami belum ambil keputusan, masih akan dibahas bagaimana langkahnya," ujarnya.
Trimoelja dan beberapa rekannya termasuk Bambang Sulistomo, salah satu putra Bung Tomo, sangat getol mengadvokasi nasib cagar budaya tersebut. (Kompas.com)