Penulis
Intisari-Online.com -Selama akhir 1960-an hingga 1970-an, maskapai nasional Peru LANSA mendapat peringkat buruk karena beberapa kecelakaan yang menyebabkan kematian lebih dari 200 orang.
Pada 1966, Penerbangan LANSA 501 menabrak gunung.
Sebanyak 49 orang di dalamnya, termasuk enam awak, tewas.
Kurang dari empat tahun kemudian, Penerbangan LANSA 502 mengalami nasib yang sama.
Dari 100 orang di dalamnya, hanya ada satu orang yang selamat.
Maskapai ini mendapat reputasi yang semakin buruk, tetapi LANSA terus beroperasi karena menjadi moda transportasi utama dari satu kota ke kota lainnya di Peru.
Pada 24 Desember 1971, penerbangan LANSA 508, dijadwalkan dari Ibu Kota Lima ke Pucallpa di wilayah tengah negara itu.
Penerbangan itu membawa enam awak dan 86 penumpang.
Baca juga:Segera Tukarkan 4 Uang Kertas Ini, Sebab Ia idak Akan Berlaku Lagi di Tahun 2019
Di antara penumpang ada dua warga Jerman, ahli ornitologi Maria Koepcke dan putrinya yang berusia 17 tahun, Juliana.
Mereka menuju ke Pucallpa untuk bertemu dengan sang suami, Hans-Wilhelm Koepcke, seorang ahli zoologi yang sedang melakukan penelitian di hutan Amazon.
Hanya 40 menit setelah take-off, pesawat kecil yang mereka tumpangi disambar badai petir.
Baca juga:Dibeli Pangeran Arab Senilai Rp6 Triliun, Inilah Lukisan Termahal di Dunia
Sambaran petir menghantam tangki bahan bakar, menyebabkan sayap kanan lepas dari lambung pesawat.
Semua orang di kapal tiba-tiba sadar, kecelakaan tak dapat dihindarkan lagi.
Pesawat itu turun mendadak dan mulai hancur karena semakin dekat ke tanah.
Akhirnya, setelah jatuh bebas dari ketingggian 10.000 kaki, pesawat meluncur di tengah hutan Amazon.
Kurang dari satu jam usai musibah terjadi, Juliana menemukan dirinya sebagai satu-satunya yang selamat dari penerbangan LANSA 508.
Meski nyawanya selamat, dia terluka parah.
Tulang selangkanya patah, ada luka dalam di kakinya, dan dia menderita gegar otak parah.
Ketika pesawat itu hancur, gadis remaja yang masih terikat di tempat duduknya itu terjatuh ke tanah.
Dalam setengah sadar, dia memanggil ibunya, tetapi tak ada suara apapun.
Namun demikian, putri seorang ahli zoologi berpengalaman yang telah menghabiskan 1,5 tahun tinggal di sebuah stasiun penelitian hutan hujan, ingat pelatihannya.
Dia mencoba mengais-ngais makanan di reruntuhan pesawat tetapi hanya menemukan sebungkus permen untuk menahan rasa lapar.
Karena dia rabun dan kehilangan kacamatanya, sulit baginya untuk melihat ke mana dia pergi.
Selain itu, penglihatannya rusak karena dekompresi mendadak kabin pesawat.
Dia menyerah pada kenyataan jika ibunya selamat dari kecelakaan setelah dia menemukan beberapa mayat yang tersebar di sekitar hutan.
Juliane tidak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan melalui hutan hujan lebat, dengan harapan menemukan tanda-tanda peradaban.
Sadar daerah itu mungkin penuh dengan ular berbisa, dia melemparkan sandal di depannya, untuk menguji tanah.
Cara ini memperlambatnya cukup banyak, tetapi terbukti berguna karena dia tidak menemukan ular di sepanjang jalan.
Saat kelompok pencari sedang dalam perjalanan.
Namun, saking lebatnya hutan, keberadaan pesawat yang jatuh tak dapat terdeteksi.
Sementara itu, pencarian jalan keluar membawa Juliane ke sungai kecil.
Dia tahu jika menelusuri hilir akan membawanya keluar dari hutan sehingga remaja Jerman itu, meskipun terluka, terus berjalan selama 10 hari.
Dia berharap bertemu seseorang sebelum meninggal karena kelelahan.
Pada satu titik, Juliane Koepcke muda yakin dia tidak bisa berjalan lagi.
Namun kemudian, sebuah pemandangan muncul.
Awalnya dia yakin itu adalah halusinasi.
Di tepi sungai ada perahu motor kecil dengan sekaleng bensin.
Saat dia belajar dari ayahnya, bensin adalah senjata ampuh dalam melawan belatung pemakan daging.
Dia menerapkannya ke lengannya dan berhasil menarik 35 belatung keluar dari lengannya walau menyakitkan.
Satu jam kemudian, pemilik perahu yang merupakan penebang kayu lokal kembali.
Para penebang itu tampak ketakutan melihat kondisi Juliane dan mengiranya sebagai roh air dari cerita rakyat setempat.
Namun Juliane mampu berbahasa Spanyol dan menjelaskan kepada mereka apa yang telah terjadi.
Warga pun memberinya pertolongan pertama dengan menggunakan perahu selama tujuh jam ke desa terdekat.
Juliane pun dipindahkan dengan pesawat menuju rumah sakit di Pucallpa.
Di sana, dia akhirnya bersatu kembali dengan ayahnya serta mulai pulih dari luka dan trauma yang dia alami.
Berita tentang satu-satunya penumpang yang selamat dan melakukan perjalanan selama 10 hari di hutan menyebar dengan cepat dan wartawan bergegas mewawancarainya.
Ketika masih di rumah sakit, gadis itu diganggung oleh wartawan.
Bahkan beberapa di antaranya menyamar dengan berpakaian seperti staf medis untuk mendapatkan izin.
Juliane pun menjadi semakin tertutup.
Menurutnya, apa yang ia alami bukanlah sesuatu yang ingin dia bagikan dengan orang lain.
Dia kehilangan ibunya dan menyaksikan mayat yang seolah menghantui dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia melanjutkan hidupnya dan mengikuti jejak kedua orangtuanya.
Setelah belajar biologi di Jerman, dan menyelesaikan gelar PhD dalam bidang mamalia, Juliane kembali ke Peru di mana dia melakukan penelitian tentang populasi kelelawar Amazon.
Meski dia sudah pulih, tapi menurut sebuah wawancara pada 2010, trauma itu masih membekas.
“Saya mengalami mimpi buruk untuk waktu yang lama, selama bertahun-tahun, dan tentu saja, kesedihan tentang kematian ibu saya dan orang lain kembali lagi dan lagi."
"Pikiran mengapa saya satu-satunya yang selamat? Itu menghantui saya. Itu selalu akan terjadi. ” (Ambar Purwaningrum)
Artikel ini telah tayang di Tribuntravel.com dengan judul Kisah Juliane Koepcke, Satu-satunya Penumpang Selamat Usai Pesawatnya Jatuh dari Ketinggian 3.048 M
Baca juga:Bukan Danau Toba, Inilah Danau Terdalam di Indonesia, Ada Gua Tengkorak di Dalamnya