Kacaunya Suasana Operasi Lintas Udara Pertama AURI 17 Oktober 1947: Ada yang Enggak Jadi Terjun karena Takut, Ada yang Nyangkut di Pohon

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Meskipun tugas operasi Angkatan Udara di Kalimantan itu kacau balau dan gagal, tetapi kisah paratroop tersebut merupakan suatu peristiwa gemilang.

Intisari-Online.com -Tanggal 24 Oktober 1945 Pasukan Sekutu yang menduduki Kalimantan menyerahkan wilayah itu pada NICA.

Hal ini tentu memancing kemarahan rakyat Kalimantan Selatan yang berikrar setiap kepada Republik yang masih sangat muda itu, yang 14 hari sebelumnya baru saja membentuk Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Rakyat pun membentuk barisan untuk menentang keberadaan NICA. Tapi sial, bantuan yang diharapkan datang dari Jawa urung datang karena Belanda menjalankan blokade di laut.

Dus, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah jalur udara.

Tak mau menunda-nunda, Gubernu Kalimantan saat itu, Ir. Pangeran Mohammad Noor, lansung mengirim surat kepada KSAU Komodor Udara Surayadarma.

Baca juga:Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta Jadi Kocar-Kacir Akibat Serbuan Pasukan Siluman di Siang Bolong

Surat itu berisi permintaan bantuan agar AURI bersedia melatih pemuda-pemuda Kalimatan sehingga mereka bisa berjuang membantu saudara-saudaranya.

Sebagai respon, Suryadarma langsung mengadakan perundingan dengan Markas Besar Tentara dan sepakat membentu staf khusus yang bertugas menghimpun pasukan payung.

Untuk memudahkan tugas, Suryadarma dibantu oleh Mayor Tjilik Riwut yang asli Kalimantan. Saat ituTjilik merupakan perwira operasi yang ditempatkan pada staf Sekretaris KSAU Bagian Siasat Perang.

Tak butuh waktu lama, terpilihkan sekitar 60 pejuang dari Kalimanta, Jawa, Sulawesi, juga dari Madura. Yang jelas, mereka semua bersedia diterjunkan di Kalimantan.

Untuk penggemblengan, mereka ditampung di Asrama Padasan, Warungboto, di dekat lapangan udara Maguwo, Yogyakarta.

Sementara para pelatih dari AURI adalah Opsir Udara I SUdjono, dibantu Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Opsir Muda Udara II Soerojo, Sersar Udara Mispar dan Kopral Muda Udara Matjasir.

Lantara waktu yang amat mepet, para sukarelawan itu hanya mendapat latihan darat, meliputi latihan teori terjun dan cara melipat payung—dan tidak sempat dilatih terjun payung dari pesawat. Waduh!

Latihan pun hanya dilakukan dalam seminggu.

Nah, dari 60 peserta itu, terpilihlah 12 orang asli Kalimantan yang semuanya paham bahasa Dayak Kahayan, ditambah dua orang dari PHB AURI: Opsir Muda Udara I Hari Hadisumantri dari Semarang sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Soejoto dari Ponorogo yang bertugas menjadi juru radio.

Sebagai pemimpin, ditunjuklah Iskandar yang berasal dari Kabupaten Sampit, Kalimantan Selatan.

Baca juga:Kisah Ajaib di Balik Jatuhnya Pesawat Dakota AURI yang Ditembak oleh Pesawat Tempur Belanda pada Operasi Trikora

Sekadar informasi, operasi penerjunan ini bersifat rahasia guna membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha, untuk membantu perjuangan rakya setempat.

Operasi khusus ini juga ditujukan untuk membuka stasiun pemancar induk serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya.

Oleh karena itulah dua orang dari PHB AURI beserta pemancar yang mereka bawa diharapkan bisa menjadi pemancar strategis. Dengan begitu, perjuangan rakyat Kalimantan dapat dikoordinasikan dengan rakyat Jawa dan Sumatera.

Dalam operasi ini, pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 yang dipiloti Bob Earl Freeberg dan kopilot Opsir Udara III Makmur Suhodo, sementara operator penerjun dipercayakan kepada Opsir Muda UDara III Amir Hamzah.

Tjilik Riwut sendiri bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan.

Operasi pertama ini disertai dropping alat-alat perlengkapan dan perbekalan untuk bergerilya di hutan.

Hingga tibalah hari bersejarah itu.

17 Oktober 1947 dini hari, persisnya pukul 2.30, Dakota RI-002 berangkat dari Yogyakarta.

Tjilik sempat ragu apakah sudah sampai lokasi, tapi setelah yakin bahwa mereka sudah sampai, para pemuda itu mulai melakukan penerjunan—meski tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Seorang personel bernama Djarni batal meloncat karena takut, sementara 13 yang lain sukses—meski beberapa sempat ada yang tersangkut di atas pohon.

Setelah berkumpul semua tiga hari kemudian, mereka baru sadar tidak mendarat di Sepanbiha seperti yang direncanakan sebelumnya.

Mereka ternyata terjun di dekat Kampung Sambi yang berada di antara Sungai Seruyan di barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin.

Baca juga:Demi Cepat Dapat Suami, Anak Gadis di Mauritania Dipaksa Konsumsi 16 Ribu Kalori per Hari!

Selain itu, tidak semua parasut dapat ditemukan kembali, demikian juga persediaan amunisi, bahan makanan, alat perkemahan dan veldbed.

Kondisi ini diperparah dengan adanya pengkhianatan dari Albert Rosing, seorang Lurah Kampung Mayang, yang menyebabkan mereka masuk perangkap, setelah 35 hari di hutan.

Jika tidak, ada kemungkinan operasi ini berhasil.

23 November 1947 dini hari, ketika orang masih tidur nyenyak, di sebuah ladang tepi Sungai Koleh (anak Sungai Seruyan), mereka dihujani peluru oleh sepasukan tentara Belanda yang menyerang dari 3 jurusan.

Akibatnya tiga orang gugur seketika, yaitu Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri.

Suyoto tertawan, sedangkan Dachlan yang mengalami luka berat di leher, bersama Bachri, Ali Akbar, Mica Amiruddin dan yang lain sempat meloloskan diri.

Dengan tabah, sisa rombongan melanjutkan bergerilya, tetapi pengepungan pasukan NICA begitu ketatnya, sehingga akhirnya dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.

Mereka dibawa ke Banjarmasin, dan kemudian ditawan di Penjara Bukitduri, Jakarta.

Tidak lama di Jakarta mereka dibawa kembali ke Banjarmasin, setelah itu mereka dikirim lagi ke Jakarta, masuk Penjara Glodok, kemudian dipindah ke Penjara Cipinang, lalu dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan.

Pada waktu mendekati penandatanganan KMB di Den Haag, Belanda, mereka ditarik kembali ke Glodok dan akhirnya dikembalikan ke Yogya dengan status bebas.

Baca juga:Hilang 35 Tahun yang Lalu, Petugas Angkatan Udara AS Ini Ditemukan di California

Demikianlah operasi penerjunan pasukan payung ini dilaksanakan sekaligus merupakan operasi lintas udara (linud) pertama bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Meskipun tugas operasi Kalimantan itu kacau balau dan akhirnya gagal, tetapi kisah paratroop tersebut merupakan suatu peristiwa gemilang.

Ini membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan dalam keadaan serba darurat dapat membina kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh.

Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari Pasukan Khas Angkatan Udara.

Artikel Terkait