Penulis
Intisari-Online.com – Ada yang bilang, inilah cara berbisnis paling menguntungkan. Tanpa modal besar atau kemampuan bisnis yang mumpuni, tingkat keberhasilan bisnis ini sangatlah tinggi. Namun, hal itu bukanlah tanpa risiko, lo.
--
Bisnis waralaba memang diklaim sebagai bisnis dengan risiko terkecil, apalagi yang sudah bertaraf internasional. Meski begitu, dalam bukunya Cara Gampang Bikin Bisnis Franchise (2008), Suryono Ekotama, seorang praktisi bisnis, mengingatkan, tanpa pengelolaan yang profesional, bisnis waralaba (franchise) juga punya risiko gagal yang sama dengan bisnis lain.
Itu sebabnya, sebagai langkah antisipasi, kini banyak pemilik waralaba (franchisor) yang menyediakan pelatihan atau training bagi si pembeli atau mitra bisnis waralabanya (franchisee). Tujuannya, agar bisnis yang dijalankan sama-sama berkembang. Franchisee bahkan boleh menyumbang ide dan masukan yang membangun.
Sayangnya, sering kali para franchisee malah terlena duluan. Kekuatan brand, umur bisnis yang panjang, riwayat profit penjualan yang tinggi, serta sistem manajemen yang sudah dibangun oleh franchisor dianggap jadi tolok ukur yang mampu menjamin keberhasilan bisnis ini. Padahal, meski kemungkinan gagalnya hanya 25%, bisnis waralaba yang tidak dijalankan dengan baik bisa juga merugi.
Tak selalu manis
Ignatius Heruwasto, Dosen Manajemen Univeritas Indonesia, sependapat bahwa waralaba merupakan alternatif bisnis yang aman bagi pebisnis pemula. Tanpa keahlian, pengalaman, merek, atau brand yang sudah terbangun, kita bisa langsung memulai bisnis. “Kita hanya perlu menyiapkan modal, sementara seluruhnya, mulai dari alat, sistem, bahkan pekerjanya sudah disediakan oleh franchisor, lengkap,” ujar dia.
Secara prinsip, bisnis waralaba bisa dikatakan sebagai kepanjangan tangan dari produsen. Tujuannya, untuk memperlebar jangkauan usaha dalam meningkatkan pangsa pasar dan penjualan. Skema sederhananya, seorang franchisee akan ditawarin untuk membeli sebuah sistem usaha yang sudah ada dan terbukti sukses, sepaket dengan konsep pemasaran, produk, dan lain sebagainya sesuai kesepakatan.
Dengan kata lain, si franchisee akan diberi lisensi oleh franchisor untuk memakai merek dagang, berikut keseluruhan sistem bisnisnya. Efeknya, sebagai seorang franchisee kita akan merasa seperti sudah punya bisnis dengan nama terkenal, produk yang diminati masyarakat, dengan risiko yang relatif minim.
Tentu saja, tak semua kisah tentang waralaba terasa manis. Sari, 45 tahun, salah satu franchisee makanan ringan jamur goreng crispy belakangan mulai khawatir. Bisnis waralaba yang dijalankannya sejak dua tahun lalu kian mandek dan tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Alih-alih untung, bisnisnya kini malah sepi peminat.
Soal penyebabnya, Sari Cuma bisa menduga-duga. Mulai dari lokasi yang dinilainya kurang strategis, karyawan yang terus berganti dan tak mumpuni, hingga faktor selera pasar yang cepat berubah. “Mungkin karena camilan jenis ini sudah enggak tren lagi,” begitu analisisnya.
Arta, 39 tahun, juga bernasib serupa. Rupanya ia punya pengalaman buruk membeli franchise camilan kebab. Tertarik dengan kepopuleran makanan khas Timur Tengah dan peluang bisnisnya yang tergolong besar, ia memutuskan menjadi franchisee makanan ini.
Namun ternyata belum sempat mencicipi rasanya jadi pengusaha, Arta malah kena tipu. Uang sudah dibayar, setelah ditunggu, malah tak ada kejelasan dari pihak franchisor. Bukannya untung, malah rugi. Uangnya lenyap, sementara si franchisor sulit dihubungi dan terus menghindar.
Bercermin dari dua kisah tadi, faktanya memang tidak semua waralaba akan menghasilkan keuntungan. Biasanya hal-hal ini terjadi pada usaha yang brand-nya belum terlalu kuat. Kenyataan ini menjadi peringatan bagi franchisee agar tidak sembarangan. Ada banyak kriteria yang wajib ditaati. Suryono Ekotama mengungkap, syaratnya antara lain: punya ciri khas produk dan sistem manajemen, simpel, mudah diduplikasi, serta tingkat pengembalian investasinya cepat.
Lalu bagaimana bila semua syarat sudah lengkap, namun bisnis tetap merugi? Dalam hal ini, jangan lupakan kondisi pasarnya. Siapa tahu, harga Bisnis produk atau jasanya terlalu mahal atau bahkan terlalu murah bagi pasar. Atau, bisa jadi produk atau jasa yang ditawarkan tidak begitu dibutuhkan oleh pasar.
Franchisee juga harus jeli dengan kondisi pasar. Apakah pasar bisa menyerap? Lokasinya tepat? Inovasi produknya bisa diterima? “Memilih franchise tapi tidak mempertimbangkan kunci keberhasilan dan pasar - sama saja bohong. Ujung-ujungnya, usaha pun akan jadi rugi juga,” Ignatius Heruwasto menambahkan.