Penulis
Intisari-Online.com – Langit biru luas, sedikit cumulus yang terapung di atas barisan bukit-bukit gersang kecoklatan di pulau-pulau antara Labuan Bajo sampai ke Pulau Komodo, sempat menjadi mimpi yang selalu hadir dalam benak saya. Mei 2008, bersama empat orang sahabat, saya berkesempatan mewujudkan mimpi itu. Perjalanan sembilan hari ala turis backpacker, semakin menorehkan kekaguman saya terhadap kecantikan Nusa Tenggara Timur.
--
Kelimutu. Sudah banyak orang yang mendengar tentang kecantikan danau tiga warna itu. Tapi siapa yang mengira, keelokannya akan semakin sempurna manakala sang surya mulai muncul dan membagi sinarnya kepada tiga danau eksotis itu. Fenomena itulah yang saya saksikan, di hari ketiga perjalanan menyusuri Flores bersama para sahabat: Bitha, Jufe, Tegar, dan Marni.
(Menikmati Senja di Labuan Bajo)
Rasanya saya tak sanggup merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan wajah Kelimutu saat itu. Jadilah momen indah ketika rona jingga dan kuning sudah mulai muncul di balik gunung itu hanya terekam di kamera kami. Ketika langit semakin terang, semakin tampak jelas pancaran warna itu menjadi latar belakang dari dua danau kawah, yakni Danau Tiwa Ata Polo (yang airnya hitam) serta Danau Tiwa Nua Muri Koo Fai (airnya hijau).
Ketika Matahari mulai keluar, saya melihat Tegar dan Marni sudah sampai di tempat pemandangan tertinggi, di dekat Danau Tiwa Ata Mbupu. Di situ saya baru menyadari, posisi terbaik menyaksikan sunrise sebenarnya di dekat danau ketiga yang airnya terlihat merah itu. Rupanya saya salah perhitungan dan mengira dapat menyaksikan tiga danau sekaligus dalam satu rangkaian. Tapi ternyata saya berada di antara Danau Tiwu Ata Mbupu dan dua danau lainnya. Ah, tapi tak apalah, selama Kelimutu tetap ada di depan mata.
Bena membuat terpana
Dari Desa Moni, tempat kami menginap, esoknya sekitar pukul 12.30, kami meneruskan perjalanan ke Ende. Sebuah perjalanan yang menarik, karena diawali dengan lembah-lembah yang subur menghijau, lalu pemandangan berubah dengan tebing-tebing tinggi dan jurang yang dalam di kiri-kanan jalan. Sayangnya jalanan rusak, sehingga untuk jarak yang hanya 52 km harus ditempuh sampai dua jam.
Setelah sempat makan siang sate dan gulai kambing di Pelabuhan Ende, kami tidak langsung ke hotel. Perjalanan langsung dilanjutkan ke Blue Stone Beach, pantai indah yang letaknya di jalur ke arah Bajawa. Menuju tempat di mana kami akan bermain air itu, pemandangan masih menarik. Gunung Meja tampak di belakang kami. Dinamai begitu, karena puncak gunung itu seperti ditebas rata seperti permukaan meja. Sementara di sisi kiri jalan, pantai berpasir hitam dengan laut dan langit biru yang terbentang tanpa batas.
(Ketegangan Bidan Fifi Berpraktik di Sarang Komodo)
Blue Stone adalah pantai berbatu kerikil dan koral berwarna biru. Sebenarnya indah sekali. Tapi entah mengapa, hari itu saya merasa sangat malas dan hanya ingin rebahan saia berbantalkan batu. Foto-foto pun saya ambil dari satu titik saja. Kami puas bermain hingga Matahari terbenam.
Di Ende, kami menginap di Hotel Safari yang bertarif Rp 190 ribu untuk dua kamar. Dibanding Moni, sebenarnya kota ini tidak banyak memberi pilihan pemandangan. Karena itu kami bersyukur menghabiskan dua malam sebelumnya di Moni. Malam bulan purnama itu pula, menjadi acara perpisahan bagi Tegar dan Marni yang akan kembali ke Kupang. Perjalanan seterusnya hanya kami bertiga.
Setidaknya dua tahun belakangan, mobil travel telah menggantikan posisi bus sebagai alat transportasi antarkota di Flores. Perjalanan ke Bajawa juga kami tempuh dengan mobil jenis minibus itu. Jarak 135 km tarifnya Rp 50.000,- per orang. Lagi-lagi kami disuguhi pemandangan bukit-bukit hijau dengan lembah dalam dan sungai yang mengular di bawah sana. Terkadang lautan biru muncul di depan mata saat kami melintasi pesisir.
Bajawa yang kami masuki sekitar pukul 13.00, adalah kota yang dikelilingi bukit-bukit berhawa sejuk. Hotel Korina bertarif Rp 165.000,- untuk tiga orang, menjadi pilihan. Hotel yang sederhana, tapi dekat dengan restoran yang akhirnya membuat kami langsung bersantap siang. Beberapa turis bule juga terlihat sedang makan. Dibanding kota-kota lain, turis-turis asing lebih banyak di Bajawa. Kebanyakan dari Eropa, terutama Belanda.
Istirahat kami siang itu tidak lama, karena harus segera ke Kampung Bena. Ojek jadi pilihan transportasi. Tapi karena kurang gigih menawar, satu motor dihargai Rp 100.000,-. Perjalanan juga kurang bagus karena banyak turunan tajam dan tanjakan menikung. Di kejauhan tampak Gunung Inie Rie (2.245 m) yang kuning kecokelatan dengan sedikit saja nuansa hijau di puncaknya. Gunung ini unik karena tampak seperti sendirian saja, tumbuh dari permukaan bumi, sementara bukit-bukit dengan puncak-puncak lancip mengawalnya. Sekitar pk. 15.00 kami sampai.
Kampung Bena, desa peninggalan zaman megalitik itu segera membuat kami terpana. Anak-anak bermain di lapangan yang dipenuhi batu-batu berukuran raksasa. Beberapa ibu tampak tekun menenun di dalam rumah yang hasilnya langsung dipajang di beranda. Paduan batu-batu raksasa, rumah beratap jerami, tembok dari batu bersusun, Gunung Inie Rie, hutan yang seolah mengepung desa ini, serta penduduk yang ramah; langsung membuat saya jatuh hati. Suatu hari, saya harus kembali ke tempat ini.
Di bagian atas desa ini terdapat Gua Maria yang sangat indah, berhiaskan beraneka tanaman bunga di sekelilingnya. Dari gua inilah kita sekaligus bisa menyaksikan pemandangan seluruh kampung dan berlatar belakang Gunung Inie Rie. Awan mendung yang sore itu menggantung, semakin membuat Bena terlihat eksotis. Sayang sekali, kami harus segera pulang karena hari semakin gelap.