Cimaja, Meniti Mimpi dari Sebilah Papan

Ade Sulaeman

Penulis

Peselancar cilik di Cimaja, Sukabumi.

Intisari-Online.com -Nama Cimaja mungkin asing di telinga banyak orang pada umumnya. Namun tidak demikian di kalangan peselancar. Desa yang terletak di Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini menjadi tempat bermain ombak favorit. Bahkan sempat dianggap sebagai salah satu site berselancar terbaik di Indonesia. Maka pemandangan turis yang berjalan atau naik sepeda motor membawa papan selancar, seperti di Bali, juga lazim di Cimaja. Apalagi, di saat musim kemarau antara April hingga Agustus. Beberapa dari mereka sudah menetap di sana, bahkan beristrikan penduduk setempat.

Bukan cuma turis bule yang nekat-nekat itu, belakangan warga sekitar juga ikutan meniti ombak. Terutama anak-anak usia ABG, terutama saat Minggu atau libur sekolah. Pagi mulai sekitar pukul 08.00 sampai 10.00 atau sampai air surut, dilanjutkan sore pukul 16.00 sampai 18.00. Untuk waktu yang ini, biasanya berselancar terhenti karena ada kewajiban lain, yakni mengaji. Syukurlah.

Risikonya memar

Olahraga selancar sebenarnya baru “mewabah” setelah Asep Fahruroji, Dede Suryana, beserta beberapa rekan seangkatan mereka mulai mengikuti kejuaraan dan meraih prestasi. “Sebelum itu, biasa-biasa saja,” tutur Asep yang punya nama keren, Apex.

Awalnya mereka belajar autodidak dari sekadar memelototi ulah para turis. Papannya pakai pohon pisang atau awi gombong (sejenis bambu yang besar). Untuk leg rope atau surfboard leash (tali pengaman) mereka buat dari pohon bakau yang tumbuh dipinggir pantai. Sehabis latihan, wajar jika pergelangan kaki membiru atau kemerahan karena memar.

Rasa sakit itu terbayar saat mereka mulai berprestasi. Bahkan Dede Suryana mendapat beasiswa plus kontrak dari salah satu produsen alat-alat selancar terbesar di dunia, di saat usianya masih 15 tahun. Dia pindah dan bersekolah di Bali. Peristiwa inilah yang memprovokasi gairah anak-anak untuk terjun ke laut.

Kini Cimaja sudah bertabur fasilitas untuk selancar, klub-klub terbentuk, dan juga atlet-atlet cilik. Ada nama-nama seperti Mulya Akmal, Dede Fauzi, Rian Hidayat dan kedua adik Mulya; Muldi dan Mulpi. Ada pula Andre Julian yang kini sudah tinggal di Bali. “Anak saya yang baru kelas 5 SD pun sudah bermimpi ingin tinggal di Bali,” ucap Asep Edom, orangtua dari salah satu peselancar cilik. Umumnya atlet yang mendapat beasiswa usianya 14-15 tahun.

Ancaman pendangkalan

Kawasan Pelabuhan Ratu memang surganya para peselancar. Ada pantai-pantai seperti Cimaja, Sunset Beach, Karang Haji, Ujung Genteng, Karang Sari, Samudra Beach, Batu Garam, Ombak Tujuh hingga Indicator. Masing-masing pantai memiliki sajian yang berbeda.

Cimaja tentu saja paling terkenal. Selain ombak yang tinggi hingga tiga meter, tipe ombaknya termasuk dalam point break atau pecah sebelum sampai di tepi pantai. “Ombaknya punya power,” jelas Apex.

Namun bagi pemula atau yang sekadar mau basah-basahan, tidak disarankan berselancar di sini. Sebab selain ombaknya kencang dan tinggi, pantainya terdiri atas batu-batu sebesar kepalan tangan hingga sebesar kepala. Pilihannya bisa ke Sunset Beach yang bersebelahan dengan Cimaja. Pantainya berpasir halus. Mau sekadar bengong untuk menikmati matahari terbenam, seperti namanya, juga boleh.

Turis bisa belajar berselancar dari klub-klub yang ada. Tinggal sewa papan, rata-rata sekitar Rp100.000,- per hari dan pemandu yang bayarannya “seikhlasnya”. Kalau cuma mau bermain-main dengan boogie, cukup Rp10.000,- per jam.

Sayangnya keasrian Cimaja sedang terancam. Kabarnya ombak yang datang sekarang semakin kecil dan tidak bertenaga. Menurut Apex, hal ini terjadi dikarenakan adanya pendangkalan di dasar laut sekitar Pantai Cimaja. Karena batu-batu di Sungai Cimaja diambil secara besar-besaran, berikut pasirnya, maka arus sungai semakin deras sehingga batubatu yang lebih kecil terbawa arus menuju muara. Dari sinilah lahir upaya penyelamatan: “Save Cimaja”.

Artikel Terkait