Penulis
Intisari-online.com—Masih ingat peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia? Atau yang baru-baru ini terjadi antara pengendara layanan transportasi online dengan pengemudi taksi? Kedua peristiwa ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Baik secara langsung yang dialami oleh korban di tempat kejadian dan secara tidak langsung bagi masyarakat yang terganggu aktivitasnya.
Memang, suatu peristiwa yang melibatkan orang banyak tidak dapat terjamin ketertibannya. Buktinya, banyak peristiwa kerumunan yang merugikan. Contohnya, saat pelaku pencurian/kriminal diamuk massa ketika ketangkap basah menjalankan aksinya. Atau aksi demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan besar sehingga kerumunan itu sibuk main hakim sendiri. Pertanyaannya, apa yang memicu tindakan tersebut? Adakah penjelasan rasionalnya?
(Baca juga: Demo Pilkada Tak Hanya Ada di Indonesia)
Saat peristiwa kerusuhan dan penjarahan terjadi di London tahun 2011, David Cameron menyebut menggambarkan tindakan massa itu sebagai keegoisan dan kecerobohan yang sebenarnya tidak ada artinya. Sebab akhirnya orang-orang berpikir dan bertindak tanpa akal. Kerusuhan adalah kejadian yang paling tidak diinginkan dari kerumunan massa.
Tindakan irasional dalam kerumunan massa sering disebut dengan “mob” dan “copycat riots”. Mob dan copycat riots merupakan kasus di mana orang hanya meniru apa yang mereka lihat tanpa berpikir. Teori psikologi yang mendukung adalah pada kerumunan orang tidak bertindak rasional berdasar pikirannya sendiri. Sehingga tindakan mereka dipengaruhi oleh identitas sosial, pemahaman kolektif, norma, dan nilai kerumunan itu. Kericuhan/kerusuhan dalam kerumunan umumnya terjadi ketika kelompok merasa bahwa konfrontasi merupakan satu-satunya cara untuk mengubah situasi.
Dalam psikologi massa (kerumunan) tindakan irasional dapat dijelaskan. Inilah jawaban mengapa orang mudah terprovokasi dan ricuh dalam kerumunan:
1. Anggota kerumunan cenderung tidak jadi diri sendiri
Perilaku massa dalam kerumuhan (khususnya aksi kerusuhan) biasanya tidak terduga dan terjadi spontan. Teori ini menyatakan bahwa dalam satu kelompok orang terpengaruh dan tanpa sadar melakukan hal yang berlawanan dengan norma pribadi. Di sini, emosi pemimpin kelompok yang menguasai. Orang banyak meniru tanpa berpikir.
2. Kerumunan mengutamakan solidaritas
Sebetulnya tindakan massa yang memicu kerusuhan belum tentu perilaku yang membabi buta. Ada juga yang masih memikirkan nilai dan norma pribadinya sendiri. Namun atas dasar solidaritas, mereka berpikir bahwa masalah yang mereka serukan itu adalah masalah banyak orang. Sehingga, mereka menuntut agar persoalan itu tidak diabaikan, namun diselesaikan.
Baca juga: Apa Yang Harus Dilakukan Agar Tidak Terprovokasi Saat Demo?
3. Dipandang negatif oleh orang lain di luar kerumunan
Dalam kerumunan, orang-orang bertindak berdasarkan satu pemahaman kelompok. Tapi sayangnya, tidak semua orang menerima pemahaman yang sama mengenai sebuah aksi itu. Istilahnya, ada perbedaan interpretasi.
Misalnya unjuk rasa damai dinilai oleh pihak kepolisian (pihak lain) berpotensi mengganggu masyarakat. Penilaian itu justru dapat menyulut emosi massa. Apalagi polisi berhak untuk menghentikan aktivitas demo dengan segala cara. Nah, kadang-kadang peserta demo berpikir bahwa hal ini adalah bentuk penindasan, sehingga mereka bereaksi dengan lebih keras.
Namun sayangnya, akibat perbedaan interpretasi tadi, pesan yang dikomunikasikan bisa ditanggapi berbeda, dan inilah yang memicu kerusuhan. Ada orang yang tetap pada tuntutan, namun ada pula yang melakukan penentangan dengan penjarahan bahkan kekerasan lainnya.