Find Us On Social Media :

Bahrum Rangkuti; Sastrawan Muslim Pengagum Iqbal

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 25 Oktober 2016 | 14:42 WIB

Bahrum Rangkuti

Intisari-Online.com – Tiada pesta lebih meriah dari Lebaran bagi anak-anak kecil. Kolonel Tituler Drs. Bahrum Rangkuti tidak terkecuali. Sewaktu masih kanak-kanak di Medan, Lebaran baginya berarti memasang meriam bambu. Bambu diisi minyak tanah, diberi sumbu kain, dipasang dan buuummmmm, amat dahsyat suaranya! Sekali lagi, sekali lagi, sambil berlari dan menari kegirangan. Sebentar pulang makan lemang dan rendang, berlari lagi ke rumah paman dan bibi, mencium tangan dan menerima uang krincing.

Tersipu-sipu diamendengar bibinya memuji: "Bahrum, cakap benar kau dalam baju teluk belangamu yang baru ini ...! Tapi apakah pagi tadi kau ikut juga sembahyang di tanah lapang?"

la mengangguk sambil berlari. Itu berlangsung pada sekitar tahun tiga puluhan.

Lain lagi Lebaran tahun 1947 di Jakarta. Ada unsur pahitnya, yang justru membuat Idul Fitri tahun itu tidak akan terlupakan. Sudah dua bulan Bahrum harus mendekam di Penjara Glodok. Bersama beberapa kawannya dia ditahan Belanda, karena mereka tertangkap basah sewaktu melarikan jip ke Cikampek, untuk membantu pasukan Republik.

Pada waktu itu Bahrum anggota pasukan Tentara Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Supangkat. Di pasukan intelijen tersebut Bahrum ditugaskan membuat pamflet-pamflet propaganda dalam rangka perang urat saraf karena dia mahir dalam bermacam bahasa, termasuk bahasa Urdu. Dan waktu itu masih banyak serdadu Gurkha peninggalan Inggris, yang kebanyakan hanya bisa berbahasa Urdu.

Pencurian jip dari tangsi di dekat Jalan Kesehatan sudah dia lakukan dua kali. Sialnya, yang ketiga kalinya tertangkap di dekat Tambun. Untuk mendapatkan informasi dia berkawan  engan banyak serdadu Gurkha. Malahan tentara Inggris pun ada yang suka minum teh ke rumahnya. Apalagi Bahrum cerdik, dia gunakan sebagai pancingan seorang bintang film cantik.

"Celakanya...," kata Bahrum menukas kisahnya, "bintang film tersebut akhirnya jatuh cinta kepada saya." Meledaklah ketawa kami berdua.

Banyak pamflet dibuatnya, satu yang masih diingatnya dengan baik, pamflet "Hindustani-Bhayon - Saudara-saudara orang India." Pamflet tersebut berhubungan dengan bantuan beras  dari pemerintah Indonesia kepada India pada tahun 1947. Di dalamnya dia serukan: "Hai Saudara-saudara, kalian datang ke sini membawa peluru dan maut, sedangkan kami berikan beras kepada pemerintah Saudara. Kalau benar Saudara-saudara sesama bangsa Asia, bantulah perjuangan kemerdekaan kami. Tembaklah ke atas, kalau Saudara harus menembakl"

Pamflet tersebut dicetak di percetakan yang sekarang bernama Eka Grafika. Tetapi, apa hubungan pengalaman tersebut dengan Lebaran tahun 1947? Pada hari Lebaran kedua dia dibebaskan dari penjara. Sebelum pulang sempat dia menjawab pertanyaan Duyndam, pemimpin penjara yang suka mencemoohkan, "Sekali waktu keadaan akan berbalik, Tuan!"

Itu kenangan lama. Tetapi sekarang, apakah arti Idul Fitri baginya?

Sahutnya dengan suara bariton empuk, "Makna inti dari Idul Fitri sudah tercakup dalam Hari Raya. Fitri berarti fitrah, kembali kepada fitrah sejati."

Sebulan lamanya umat Islam yang menjalani puasa digodok, mengalami sendiri apa arti lapar dan dahaga. Dapat kiranya orang merasakan kelaparan yang diderita sesama. Maka pada hari  itu orang memberikan zakat fitrah kepada sesama yang terlantar.