Penulis
Intisari-Online.com – Tiada pesta lebih meriah dari Lebaran bagi anak-anak kecil. Kolonel Tituler Drs. Bahrum Rangkuti tidak terkecuali. Sewaktu masih kanak-kanak di Medan, Lebaran baginya berarti memasang meriam bambu. Bambu diisi minyak tanah, diberi sumbu kain, dipasang dan buuummmmm, amat dahsyat suaranya! Sekali lagi, sekali lagi, sambil berlari dan menari kegirangan. Sebentar pulang makan lemang dan rendang, berlari lagi ke rumah paman dan bibi, mencium tangan dan menerima uang krincing.
Tersipu-sipu diamendengar bibinya memuji: "Bahrum, cakap benar kau dalam baju teluk belangamu yang baru ini ...! Tapi apakah pagi tadi kau ikut juga sembahyang di tanah lapang?"
la mengangguk sambil berlari. Itu berlangsung pada sekitar tahun tiga puluhan.
Lain lagi Lebaran tahun 1947 di Jakarta. Ada unsur pahitnya, yang justru membuat Idul Fitri tahun itu tidak akan terlupakan. Sudah dua bulan Bahrum harus mendekam di Penjara Glodok. Bersama beberapa kawannya dia ditahan Belanda, karena mereka tertangkap basah sewaktu melarikan jip ke Cikampek, untuk membantu pasukan Republik.
Pada waktu itu Bahrum anggota pasukan Tentara Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Supangkat. Di pasukan intelijen tersebut Bahrum ditugaskan membuat pamflet-pamflet propaganda dalam rangka perang urat saraf karena dia mahir dalam bermacam bahasa, termasuk bahasa Urdu. Dan waktu itu masih banyak serdadu Gurkha peninggalan Inggris, yang kebanyakan hanya bisa berbahasa Urdu.
Pencurian jip dari tangsi di dekat Jalan Kesehatan sudah dia lakukan dua kali. Sialnya, yang ketiga kalinya tertangkap di dekat Tambun. Untuk mendapatkan informasi dia berkawan engan banyak serdadu Gurkha. Malahan tentara Inggris pun ada yang suka minum teh ke rumahnya. Apalagi Bahrum cerdik, dia gunakan sebagai pancingan seorang bintang film cantik.
"Celakanya...," kata Bahrum menukas kisahnya, "bintang film tersebut akhirnya jatuh cinta kepada saya." Meledaklah ketawa kami berdua.
Banyak pamflet dibuatnya, satu yang masih diingatnya dengan baik, pamflet "Hindustani-Bhayon - Saudara-saudara orang India." Pamflet tersebut berhubungan dengan bantuan beras dari pemerintah Indonesia kepada India pada tahun 1947. Di dalamnya dia serukan: "Hai Saudara-saudara, kalian datang ke sini membawa peluru dan maut, sedangkan kami berikan beras kepada pemerintah Saudara. Kalau benar Saudara-saudara sesama bangsa Asia, bantulah perjuangan kemerdekaan kami. Tembaklah ke atas, kalau Saudara harus menembakl"
Pamflet tersebut dicetak di percetakan yang sekarang bernama Eka Grafika. Tetapi, apa hubungan pengalaman tersebut dengan Lebaran tahun 1947? Pada hari Lebaran kedua dia dibebaskan dari penjara. Sebelum pulang sempat dia menjawab pertanyaan Duyndam, pemimpin penjara yang suka mencemoohkan, "Sekali waktu keadaan akan berbalik, Tuan!"
Itu kenangan lama. Tetapi sekarang, apakah arti Idul Fitri baginya?
Sahutnya dengan suara bariton empuk, "Makna inti dari Idul Fitri sudah tercakup dalam Hari Raya. Fitri berarti fitrah, kembali kepada fitrah sejati."
Sebulan lamanya umat Islam yang menjalani puasa digodok, mengalami sendiri apa arti lapar dan dahaga. Dapat kiranya orang merasakan kelaparan yang diderita sesama. Maka pada hari itu orang memberikan zakat fitrah kepada sesama yang terlantar.
Sebenarnya, fitrah itu tidak hanya diberikan pada hari raya, melainkan sepanjang tahun, kepada sesama yang lebih menderita dari kita.
Keluarga Bahrum Rangkuti berasal dari Sipirok. Tatkala dia lahir tanggal 7 Agustus 1919, orang tuanya sudah tinggal di Galang, Sumatera Utara. Ayahnya bekerja sebagai pemegang buku pada perusahaan swasta. Kata Bahrum, "Ayah saya orang dunia, ibu orang agama, tertarik akan tasawuf. Kalau saya tertarik pada bidang keagamaan, kiranya warisan ibu."
Sewaktu kecil dia bersekolah di madrasah. Karena itu Bahrum mahir berbahasa Arab. Dalam bahasa ini, selama enam bulan dia berguru kepada Hamka di Medan. Dari voorklas (kelas yang mesti diikuti sejumlah siswa sebelum masuk kelas satu) MULO sampai ke HBS kelas 3, dia sekelas dengan H.B. Jassin. Di HBS pelajar Indonesia hanya tiga orang, dirinya, Jassin, dan A. Makmur Nasution, kini kepala Rumah Sakit Pematang Siantar.
Dari semula dia kuat dalam pelajaran bahasa dan sejarah, untuk mata pelajaran itu nilainya selalu 8 atau 9. Karena dia gemar sejarah maka yang diingatnya benar Meneer van der Meulen, seorang guru sejarah. Kalau Jassin teliti dan pendiam, Bahrum dengan suara baritonnya banyak gerak dan bercakap. la ketua Inheemsche Jeugd Organisatie, Organisasi Pemuda Pribumi, Jassin sekretaris.
Pada suatu hari perkumpulan tersebut berselisih dengan perkumpulan sinyo-sinyo. Terjadi perkelahian, Bahrum sempat menonjok anak Ir. Francken, Direktur HBS. Hukumannya, Bahrum dikeluarkan dari sekolah, tanpa ampun. Kata direktur kepadanya, "Tamatlah riwayatmu. Kau tak dapat diharapkan menjadi orang baik-baik."
Bahrum langsung menjawab, "Itu pandangan Tuan. Tetapi siapa bisa tahu masa depan?" Di samping itu dia juga dituduh menjadi agen rahasia Jepang.
Mula-mula Bahrum sedih, pintu-pintu sekolah tertutup rapat.