Di Media Sosial, Ternyata Perempuan Lebih Misoginis Dibanding Laki-laki

Ade Sulaeman

Penulis

Perempuan lebih misoginis dibanding laki-laki

Intisari-Online.com -Ada yang ganjil dengan temuan studi terbaru yang dilakukan perusahaan monitoring media sosial Brandwatch. Temuan itu menyebutkan bahwa di media sosial Twitter, ternyata perempuan lebih misoginis dibanding laki-laki. Cuitan-cuitan bernada misoginistik yang dibuat perempuan persentasenya sekitar 52 persen, sementara laki-laki 48 persen.

Misoginis merupakan kebencian terhadap perempuan atau anak perempuan. Perilaku ini biasa diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti diskriminasi, pelecehan seksual, fitnah perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan.

Penelitian ini menggunakan dua metode: analisis data otomatis dan manual. Metode ini lalu digunakan untuk menganalisis sekitar 19 juta cuitan publik yang mengeksplorasi aneka kebencian terhadap perempuan. Dari 19 juta cuitan, ditemukan sekitar 4 juta cuitan yang berisi ujaran-ujaran misoginistik, dan yang paling banyak melakukan ternyata perempuan sendiri.

Fokus penelitian ini bukan pada terma-terma misoginistik untuk konteks netral seperti “bitch pleas”, tapi lebih pada ujaran-ujaran atau pidato kebencian yang sengaja untuk menyerang dan meremehkan perempuan.

Data yang menunjukkan bahwa perempuan lebih misoginis dibanding laki-laki.

Menurut penelitian ini, untuk menyerang perempuan lainnya, para perempuan misoginis kerap menggunakan terma-terma yang berkaitan dengan pergaulan sehari-hari, penampilan, dan nama-nama hewan. Seperti, jalang, sapi, kuda, ayam, dll. Sementara para lelaki, biasanya menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan anatomi, kecerdasan, dan seksualitas.

Meski demikian, para peneliti juga memberi catatan terhadap penelitian ini. Mereka sadar bahwa penelitian masih penuh dengan perdebatan. Bisa jadi, kalimat-kalimat yang oleh peneliti dianggap misoginistik, dipersipkan berbeda oleh pembaca lain. Tergantung konteks yang hendak disampaikan.

“Kami tidak ingin penelitian ini dilihat sebagai upaya menjelekkan perempuan. Ini murni penelitian. Kami tidak bilang bahwa perempuan ternyata membenci perempuannya lainnya,” ujar Ed Crook, pemimpin penelitian. Ia ingin menegaskan bahwa penelitian ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa bahasa-bahasa misoginistik “semakin dianggap normal.”

Lebih dari itu, Crook, yang juga manajer penelitian di Brandwatch, masih percaya bahwa kampanye kesetaran harus ditujukan kepada masing-masing laki-laki dan perempuan, bukan pada laki-laki an sich.

Studi yang dilakukan oleh Brandwatch ini bukan studi pertama yang menunjukkan peran perempuan dalam tindakan-tindakan misoginistik dalam media sosial. Pada penelitian sebelumnya, sebuah lembaga think tank bernama Demos juga menemukan bahwa ujaran misoginistik setengahnya berasal dari perempuan itu sendiri.

Artikel Terkait