Find Us On Social Media :

Miris, 75 Persen Perempuan Liberia Merupakan Korban Pemerkosaan

By Moh. Habib Asyhad, Selasa, 18 Oktober 2016 | 08:36 WIB

75 persen perempuan Liberia merupakan korban pemerkosaan

Intisari-Online.com - Miris. Mungkin itulah salah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi perempuan di Liberia. Menurut laporan terbaru disebutkan, hampir 75 persen perempuan Liberia merupakan korban pemerkosaan. Sebagian besar korban itu bahkan masih balita.

Meski tahun lalu sebanyak 800 kasus pemerkosaan dilaporkan ke aparat penegak hukum, hanya 35 kasus yang dibawa ke meja hijau. Aparat kepolisian di Liberia mengatakan, sebagian besar kasus pemerkosaan tak dilaporkan karena stigma buruk dan diskriminasi terhadap para korban pemerkosaan.

Sebuah laporan yang ditulis Misi PBB untuk Liberia dan Kantor Komisioner Tinggi HAM (OHCHR) mengatakan, pemerkosaan menjadi kejahatan serius nomor dua di negeri itu. Para penyidik PBB menemukan bahwa keadilan di Liberia terganggu akibat lemahnya institusi hukum serta korupsi yang dilakukan aparat pemerintah.

Laporan itu berbunyi:

Kombinasi sejumlah faktor inilah yang menciptakan budaya impunitas meluas untuk kekerasan terkait jender dan seksual, khususnya kasus pemerkosaan serta menempatkan perempuan dan anak-anak dalam risiko mengalami kekerasan seksual.

Dalam konteks Liberia, korban menghadapi tantangan setiap hari dalam proses ini jika mereka mencoba menyeret para pemerkosa ini ke depan hukum.

Banyak keluarga korban pemerkosaan yang dipaksa untuk menyelesaikan kasus ini secara damai, sementara sebagian besar pelaku adalah para pria yang dikenal baik keluarga korban.

Para pelaku ini biasanya adalah kerabat atau anggota komunitas yang sama. Artinya, para korban pemerkosaan ini takut dipermalukan secara sosial jika mereka melaporkan kasus ini ke aparat hukum. Para penyidik mengatakan, tingginya angka pemerkosaan di Liberia adalah akibat dua kali perang saudara di negeri Afrika Barat itu pada 1989 dan 2003.

Antara 61-77 persen perempuan dan anak-anak di negeri itu diperkosa pada masa konflik bersenjata. Demikian hasil laporan yang dibuat sebelumnya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Namun, sejauh ini tidak ada pertanggungjawaban apa pun terhadap para pelaku kejahatan perang di Liberia. PBB menambahkan, budaya dan mental patriarkhal semakin menghalangi investigasi terkait kasus-kasus pemerkosaan.

Berdasarkan data PBB, sepanjang tahun lalu hampir 80 persen korban pemerkosaan di Liberia berusia di bawah 18 tahun, termasuk setidaknya lima anak-anak di bawah usia lima tahun.

Meski demikian, para penyidik PBB mengatakan, statistik itu tak berarti anak-anak di Liberia secara khusus menjadi sasaran pemerkosaan. PBB merekomendasikan evaluasi terhadap undang-undang kriminal negara itu agar mencapai standar internasional dan mengusulkan pembuatan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dengan undang-undang ini, lanjut PBB, maka pemerkosaan dalam pernikahan bisa dikriminalkan dan bisa menjadi dasar pembentukan divisi kejahatan seksual di pengadilan.