Find Us On Social Media :

Depresi Pascamelahirkan Berbahaya Bagi Ibu dan Anak

By Moh Habib Asyhad, Jumat, 7 Oktober 2016 | 13:30 WIB

Depresi Pascamelahirkan Berbahaya Bagi Ibu dan Anak

Intisari-Online.com - Banyak yang belum memahami depresi si ibu pascamelahirkan. Jika tidak ditangani segera, depresi model begini bisa membayakan, baik bagi ibu maupun bagi anak. Seperti yang baru saja terjadi, di mana seorang ibu memutilasi anaknya sendiri karena dianggap depresi.

Pada ibu baru, ujar psikolog klinis Guy Wichh yang banyak menangani pasien depresi pascamelahirkan, depresi pasca-kelahiran umumnya terjadi dalam tahun pertama, empat minggu setelah melahirkan atau bahkan berbulan-bulan setelah melahirkan.

Umumnya ibu akan merasakan kepanikan tanpa sebab yang jelas, merasa tidak bahagia, merasa sedih terus-menerus hingga selalu menangis, gangguan tidur dan makan, hingga kehilangan kasih sayang untuk bayinya.

Bahkan, tak sedikit ibu yang mengalami depresi pasca-kelahiran berpikir untuk bunuh diri atau membunuh bayinya. Meski di sisi lain, sang ibu merasa sangat takut akan menyakiti bayinya. Sehingga, ia tak ingin melihat dan menyentuh bayinya. “Dalam tahun-tahun saya praktik, saya telah bertemu banyak orang sebenarnya menderita depresi, tapi mengira mereka hanya sedih biasa. Sedih dan depresi adalah dua hal yang berbeda dan tidak semua orang mampu membedakannya,” ujar Winch.

Kebingungan membedakan keduanya dapat menyebabkan kita mengabaikan kondisi serius yang memerlukan pengobatan (depresi) atau justru bereaksi berlebihan terhadap keadaan emosional yang normatif (kesedihan).

Inilah mengapa kita perlu membedakan antara dua kondisi mental tersebut. Jika kita atau orang yang kita cintai mengalami depresi, hal itu memiliki implikasi besar bagi kesehatan mental jangka panjang, kesehatan fisik, dan bahkan kelangsungan hidupnya.

Kesedihan adalah emosi manusia yang normal. Kita semua pernah mengalaminya dan kita semua akan kembali merasakannya. Kesedihan biasanya dipicu oleh peristiwa, pengalaman, atau situasi yang sulit, menyakitkan, menantang, atau mengecewakan. Ini juga berarti bahwa ketika situasi berubah, ketika sakit emosional kita memudar, ketika kita sudah menyesuaikan diri maka kesedihan pun ikut memudar.

Sedangkan depresi adalah keadaan emosi yang abnormal, penyakit mental yang memengaruhi cara kita berpikir, emosi, persepsi, dan perilaku. Depresi seperti bayang-bayang gelap yang meresap dan kronis.

Ketika kita mengalami depresi, kita merasa sedih tentang segala hal. Depresi tidak selalu dipicu oleh situasi sulit, tidak juga selalu dipicu oleh perubahan situasi dari menyenangkan atau biasa-biasa saja menjadi tidak seperti keinginan atau harapan kita. Bahkan, sering juga terjadi, tidak ada pemicu yang bisa dianggap cukup kuat, tapi reaksi orang yang depresi terasa begitu kuat.

Secara faktual, kondisi lingkungan baik-baik saja dan pasien depresi mengakuinya, tetapi mereka masih merasakan kesedihan yang mendalam untuk alasan yang tidak bisa selalu dijelaskan.

Depresi mewarnai semua aspek kehidupan penderitanya, membuat segalanya terasa kurang menyenangkan, kurang menarik, kurang penting, kurang dicintai, dan kurang berharga.

Depresi menguras tenaga, motivasi, dan kemampuan untuk mengalami sukacita, kesenangan, kegembiraan, kepuasan. Depresi merusak relasi kita dengan orang lain dan merusak pemaknaan kita terhadap kehidupan.

Depresi juga membuat ambang ketahanan emosional kita menjadi lebih rendah. Kita menjadi lebih cepat marah, frustasi dan meledak untuk kemudian baru mampu bangkit lagi setelah waktu yang lama.

"Berdasarkan pengalaman praktik saya, saya sering juga menemukan tanggapan awam yang salah terhadap orang depresi. Orang-orang sering mengharapkan agar orang yang depresi segera bisa bangkit keluar dari situasinya, dengan mengatakan: "Itu semua cuma ada di kepala Anda," atau "Anda harus memilih untuk menjadi bahagia!" jelas Winch.

Ketahuilah, tekanan seperti itu mencerminkan kesalahpahaman dalam memahami depresi dan hanya membuat orang dengan depresi merasa lebih buruk terhadap dirinya sendiri.