Penulis
Intisari-Online.com -Koran Kompas merilis angka ekonomi Indonesia pada 2013 terus mengalami pertumbuhan. Mulai pendapatan per kapita masyarakat naik, juga ada indikasi jumlah penduduk miskin turun. Tapi tetap ada irono, kasus kurang gizi dan stunting pada 2013 terus meningkat.
Abdul Razak Thaha, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita Hasannudin, pada Selasa (31/12), mengatakan, ada semacam ironi, di beberapa negara lain, ketika ekonomi mengalami peningkatan biasanya akan diikuti oleh angka kesehatan, tapi itu tidak terjadi di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2013 menunjukkan, prevalensi gizi buruk 5,7 persen, lebih tinggi dibanding padad 2007 dan 2010 yang hanya 5,4 dan 4,9 persen. Sementara untuk gizi kurang, prevalensinya naik dari 13 persen pada 2007 dan 2010 menjadi 13,9 persen pada 2013.
Dari data yang diperoleh tersebut, Razak membuat indikator bahwa angka kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya semakin lebar, si kaya semakin menikmati hasil pertumbuhan ekonomi sementara si miskin nihil. “Yang paling bisa dilihat untuk menggambarkan ini adalah terus naiknya inflasi dan menurunnya nilai tukar rupiah atas dollar AS. Akibatnya, daya beli masyarakat menengah ke bawah semakin turun,” ujar Razak.
Di tempat lain, Direktur Kesehatan dan Gizi Millenium Challege Account-Indonesia (MCA-I), Minarto, menegaskan, kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan gizi buruk sejatinya bukan persoalan daya beli masyarakat saja. Lebih dari itu, pola asuh sangat keluarga juga memegang peran yang cukup signifikan. “Beberapa kali juga kita menjumpai kasus gizi buruk menimpa keluarga yang kaya raya,” ujar Minarto.
Yang juga menentukan adalah kualitas sanitasi dan ketersediaan air bersih. Oleh karena itu, berbagai instansi yang kompeten terhadap isu ini, termasuk MCA-I, tengah mempersiapkan program perbaikan pola makan bayi dan anak untuk mengatasi gizi buruk. Harapannya bisa dilangsungkan pada 2014 ini.