Find Us On Social Media :

Kisah Taipan Lepas dari Perompak Somalia

By Agus Surono, Kamis, 14 April 2011 | 15:42 WIB

Kisah Taipan Lepas dari Perompak Somalia

Akhir 2010, untuk pertama kalinya dalam 400 tahun terakhir, pengadilan Jerman menggelar sidang kasus perompakan. Duduk di kursi terdakwa, para nelayan Somalia. Kemiskinan telah membuat mereka yang polos dan jujur menjadi makhluk ganas di Teluk Aden. Kapal dagang dan pribadi pun jadi korban. Salah satunya yang diributkan di Tanah Air hari-hari ini, MV Sinar Kudus.

Melihat daftar kapal yang di sandera (28 kapal) seperti dilansir Kompas (13/4/2011) tergambar perompakan sudah menjadi "mata pencaharian" orang Somalia. Teluk Aden, Somalia, yang berada di mulut Terusan Suez memang menjadi jalur ramai kapal-kapal barang. Jika satu kapal dirompak oleh setidaknya 10 orang seperti cerita di bawah ini, berarti ada 280 orang perompak menyandera kapal-kapal itu. Tak semua kapal bernasib sial. Kapal Taipan termasuk beruntung lepas dari serangan perompak (Intisari Februari 2011).

Waktu itu, 5 April 2010, subuh, udara di perairan Arab agak gerah dan berkabut. Di Taipan, Kumar (29), awak asal Sri Lanka yang bertugas di anjungan berteriak lewat pengeras suara, "Kapten, ada perahu mendekat!" Kapten kapal Dierk Eggers lewat radar menangkap sebuah titik berkecepatan 22 knot tengah mendekat. Eggers langsung memerintahkan krunya mempercepat laju kapal. Namun apa daya, kecepatan Taipan mentok di 17 knot (sekitar 31,4 km/jam).

Di kejauhan, kapal berbendera India yang dijadikan kapal induk oleh Ahmed A, sang pemimpin perompak, dan Abdul S. beserta rekan-rekannya mulai mendekat. Kapal ini baru tiga minggu mereka kuasai. Sekejap saja, sepuluh pria bertubuh kurus tinggi, berkulit hitam, melompat dari kapal induk ke dua perahu cepat. Mereka membawa tali tambang, dua tangga, senapan laras tiga, telepon satelit, pemukul bola kriket, dua pisau, dua pistol, lima senjata otomatis, serta dua RPG-7.

Alarm pun berbunyi. "Ada kapal mendekat," suara Eggers lantang di pengeras suara. "Awak kapal diminta segera ke ruang perlindungan!" Mengenakan seragam biru-jingga, awak kapal berpacu ke ruang elektronik di dek utama serta ruang kontrol mesin yang berfungsi menjadi semacam panic room. Suasana begitu tegang. Begitu Eggers masuk ruangan, para awak mencopot gagang pintu bagian depan. Pintu sebelah dalam dipasang pengaman dengan pasak berpelat baja.

Sementara itu, para perompak mendekati Taipan sambil menembaki anjungan dengan senjata mesin. Taipan tidak melakukan tembakan balasan karena mereka dilarang menggunakan senjata. Namun, Eggers berhasil menembakkan dua roket sinyal tanda bahaya dari sayap kiri anjungan. "Mereka seperti militer," kesan Eggers saat menyaksikan sosok-sosok hitam dengan jaket dan topi hitam berdiri tegak di perahu cepat di samping kapal mereka.

Sinyal itu berhasil diterima sebuah armada HNLMS Tromp asal Belanda yang berada sekitar 50 mil dari Taipan. Kapten Hans Lodder (50 tahun), sang komandan dan anak buahnya yang berjumlah 195 orang, sejak Februari 2010 memang disewa untuk menanggulangi perompakan di sekitar perairan ini. Lodder memperkirakan, kapalnya yang berkecepatan 30 knot (sekitar 55 km/jam) akan mendekati Taipan dalam waktu 90 menit. Ia juga memerintahkan pilot Yvonne Veldhuizen menerbangkan helikopter dari kapal induk.

Saat berjarak sekitar 10 menit dengan Taipan, Lodder sempat pesimis. Ia menerima laporan, para perompak telah masuk ke kapal. Bila perompak telah menyandera awak kapal, Lodder tidak bisa berbuat apa-apa. Dia senang ketika Eggers mengirim berita radio dari ruang perlindungan, yang menjelaskan bahwa mereka dalam keadaan aman. Eggers juga dibertahu, ada 10 perompak di Taipan, lengkap dengan posisi dan senjata yang mereka gunakan.

Di ruangan perlindungan, Eggers masih bisa memanfaatkan radar, radio VHF, telepon satelit, dan kemudi kapal. Ketika tiba-tiba kapal bergetar, para perompak kelihatannya mengubah arah Taipan. Petugas radar melaporkan kapal mengarah ke Somalia. Eggers segera mematikan mesin, memutus aliran listrik. Taipan pun berhenti. Komunikasi dengan dunia luar ikut terputus.

Di saat genting itu, Lodder memerintahkan helikopter untuk kembali dan memerintahkan enam anggota Tim Penyergap Khusus Korps Marinir Kerajaan Belanda ikut bersamanya. Semua berlangsung cepat. Tromp tiba-tiba sudah terlihat dari Taipan. Dari anjungan, para perompak menembaki kapal perang tersebut. Lodder langsung memperlihatkan keahliannya sebagai penembak jitu.

Sementara itu, helikopter yang mengangkut para marinir juga sudah berada di atas Taipan. Satu per satu marinir meluncur turun menggunakan tali. Dalam waktu empat menit, para marinir sudah tiba di atas geladak. "Angkat tangan!" teriak mereka saat bertemu para perompak. Lima perompak yang tak bersenjata segera menyerah, disusul tiga lainnya. Namun dua yang berada di anjungan masih membandel. Baru ketika diberi tembakan peringatan, mereka turun. Para marinir langsung memborgol mereka dan mengamankan kapal.

Kapten Eggers dan awaknya sendiri baru sekitar satu jam kemudian membuka pintu ruang perlindungan dan memanjat ke geladak. Akhirnya, mimpi perompak untuk mendapat uang tebusan pupus sudah. Yang terjadi mereka malah hadir di ruang persidangan.

Sebagian besar keluarga perompak Taipan berasal dari klan Darod-Majerteen, Galkayo-Utara, Puntland, Somalia Tengah, yang berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa. Di daerah ini, di sebuah kamar berdinding karton dan kertas kantong gula sumbangan, tinggal Kadan, istri pertama Abdi K, bersama kelima anaknya. Saat suaminya ditangkap, ia tengah hamil 9 bulan. Sehari-hari, ia bekerja di rumah pemotongan kambing dan domba dengan upah tidak sampai Rp 9.000,-/hari. "Saya pikir, suami saya bekerja sebagai nelayan di pantai Bosasso," bilang Kadan.

Sedangkan ibu Abdul W - pelaku lainnya, tinggal di sebuah rumah besar di Galkayo. Putranya, yang dijuluki Si Jangkung adalah pemuda kurus dengan tinggi 1,80 m dan berat 51 kg. Bukti berupa Akte Kelahiran menunjukkan putranya itu lahir pada 10 Maret 1997 alias masih berumur 13 tahun. Sudah tidak bersekolah dan bekerja di pabrik baja. Dia tidak tahu bagaimana putranya bisa sampai jadi perompak. "Pemuda itu bukan anak saya!" ujarnya saat Abdul W diadili di Hamburg.

Namun, menurut ahli penilai usia di Belanda, Abdul berusia di atas 15 tahun. Bahkan, menurut hasil analisis tulang tangannya oleh dokter ahli di pengadilan Hamburg, dipastikan Si Jangkung sudah berusia di atas 21 tahun!

Selain Galkayo, Eyl, dekat Hobyo, juga disebut-sebut sebagai "sarang perompak". Daerah ini dulunya kampung nelayan yang kini berkembang menjadi kawasan lumayan makmur. Eyl kerap menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal yang disandera. Begitu ada kapal bajakan mendekati pantai, hampir seluruh kaum pria di sana datang berbondong-bondong, ingin memastikan dirinya terlibat dalam "bisnis" ini. Ada yang mengawasi sandera, melayani katering, hingga bertelepon satelit - tawar-menawar harga tebusan dengan pemilik kapal.

Konon, pelaku perompakan di laut akan memperoleh 30% dari uang tebusan yang jumlahnya antara AS$ 1 - 2 juta per kapal. Sisanya: 20% masuk kantong bos pembajak, 30% untuk "kelompok pelindung", para perantara, para pemberi tugas di daratan, serta klan yang terlibat, dan 20% lagi untuk membeli persenjataan serta perahu baru.

Namun perihal uang hasil "bajakan" itu, ditepis para keluarga terdakwa. "Bila Ahmed memang perompak, harusnya kami tidak hidup semiskin ini," ujar ayah mertua Ahmed seraya menunjuk tempat tinggalnya: dua kamar berukuran kecil dengan lantai batu, tempat tidur, sebuah pesawat teve usang. "Anak-anaknya tidak bersekolah, karena tidak punya uang!"

Toh "Bisnis" ini sebenarnya bisa disebut bisnis kelas kakap. Makanya mereka rela berinvestasi membeli kapal baru, peralatan navigasi, dan radar mutakhir. Dengan kapal baru bermesin turbo, kapal angkut raksasa pun tak berdaya. Biasanya mereka mendekati mangsanya di tengah malam. Kadang dari belakang, di bawah radar dekat cerobong asap agar keberadaannya tidak terdeteksi.

Ada kalanya mereka mendekat dari depan, dengan dua perahu yang satu sama lain terhubung tali panjang. Ketika tali dilempar ke haluan kapal raksasa yang lamban, kapal akan menarik para perompak ke sisi panjang kapal. Secepat kilat mereka melemparkan tali bercantelan, dan dengan senjata di bahu mereka bergantungan pada tali dan naik ke dek. Biasanya ini berlangsung begitu cepat sehingga para awak kapal tidak bisa berbuat apa-apa.

Para perompak yang menamakan dirinya "penjaga pantai" meminta sejumlah uang. Dengan cerdik, mereka juga tidak begitu saja mempercayai janji pemilik kapal raksasa, juga mewaspadai uang palsu. Untuk menghitung uang pampasan, mereka memiliki mesin penghitung uang. Uang tebusan biasanya terdiri atas pecahan seratus dolar yang ditaruh dalam koper kedap air. Kadang ditaruh di karung goni yang dilempar dari sebuah helikopter.